Kehadiran buku ini bisa dikatakan kabar baik: memberikan informasi sahih, tidak saja menyangkut pemikiran tentang pembangunan Bali melalui program Bali Mandara pada masa kepemimpinan Made Mangku Pastika, tetapi juga menyajikan jelajah historis persoalan Bali dan dinamika politik kebudayaan. Jika ‘terminal’ akhir buku ini adalah anak muda, maka ada dua warisan kultural yang diterima: infrastruktur dan suprastruktur. Pertanyaannya, apakah warisan kultural ini berkesinambungan, atau tenggelam di tengah terbitnya fajar kepemimpinan baru?
Lompatan paradigmatik. Istilah ini saya rasa bisa mewakili terbitnya buku berjudul Bali Mandara Estafeta untuk Generasi Muda. Disebut lompatan paradigmatik, karena ada arah berpikir (paradigma) lain dari penerbitan buku yang digagas Bappeda Litbang Provinsi Bali ini. Biasanya, buku yang kontennya program pemerintah, hanya jadi konsumsi internal pemerintahan saja. Apalagi sudah menjadi anggapan umum, buku terkait program pembangunan pemerintah terkesan kaku dengan serakan data statistik, tata letak yang tidak luwes, tanpa peta persoalan dan perspektif yang jelas.
Buku yang ditulis oleh Arya Suharja ini sepertinya ingin ‘lompat’ dari ‘paradigma’ tersebut. Guratan pena Arya Suharja ini justru hadir untuk publik, khususnya generasi muda Bali – pelanjut estafet kepemimpinan Bali. Inilah sebab buku Bali Mandara dirancang lebih lentur, ditulis dengan bahasa mengalir, perspektif kebudayaan yang jernih, dan penyajian peta historis dinamika politik dan kebudayaan Bali secara periodik. Bahkan kabarnya buku ini akan go public. Meskipun di dalamnya, penulis lebih banyak memaparkan dimensi historis, filosofis, dan sosiologis-kultural dari program Bali Mandara tinimbang catatan kritis pelaksanaannya.
Jika dicermati, sejak Made Mangku Pastika terpilih menjadi Gubernur Bali melalui pemilihan langsung – dengan mengusung program Bali Mandara (Maju, Aman, Damai dan Sejahtera) ada dinamika internal dan eksternal. Seorang Mangku Pastika (selanjutnya disingkat MP), tidak hanya vis a vis dengan kultur birokrasi yang terbangun sebelumnya, tetapi juga harus mengalami benturan eksternal yang lebih bersifat kultural dan politik. Setidaknya, dengan mengutip studi Sastra Wingarta, Arya Suharja tidak memungkiri ada pergulatan Gubernur pada periode awal dalam mengatasi berbagai hambatan internal dan eksternal, bahkan perlawanan atas kebijakannya. (hal 18)
Apalagi, program Bali Mandara MP mengusung tagline dengan frase yang bisa dikatakan progresif seperti Bali dinamis, Bali yang maju. Istilah dinamis dan maju ini memang bertentangan dengan jargon kebudayaan Bali yang terbangun sebelumnya: Ajeg Bali. Penggunaan istilah Maju dalam akronim Bali Mandara sudah menunjukkan jika program ini out of the box Ajeg Bali.
Rumusan dan perspektif baru dalam tatanan pembangunan Bali yang ditawarkan oleh MP bukannya tanpa rintangan. Pada akhir di periode awal kepemimpinan, MP harus berhadap-hadapan secara langsung dengan tandemnya A.A Ngurah Puspayoga yang memilih berpisah dari paket Mangku Pastika. Pada saat itu, Puspayoga dicitrakan sebagai calon Gubernur yang Ajeg Bali oleh salah satu media massa mainstream di Bali.
Di sini ada dua wacana kebudayaan yang mengemuka yakni Bali yang Maju dan Bali yang Ajeg. Resiko yang harus ditanggung MP adalah ia harus melawan sebuah kekuatan media pro Ajeg Bali yang selama ini punya power besar mempengaruhi diskursus dan preferensi politik publik. Serangan wacana di media massa pun hampir setiap hari dicicipi MP ketika terobosan-terobosan pembangunan telah dilaksanakan. Bahkan, dari konstruksi wacana yang dibangun, sosok dan program kerja MP seolah dibenturkan dengan jargon Ajeg Bali. Sang jenderal bintang tiga ini dianggap calon pemimpin di luar frame Ajeg Bali.
Toh, MP tetap kokoh. Ia berhasil keluar dari lubang jarum politik tersebut. MP pun jadi pemenang dalam hajatan Pilgub. Artinya, jika dikalkulasi secara politik, setengah lebih masyarakat Bali memilih tagline Bali yang Maju daripada Bali yang Ajeg. Akhirnya, program Bali Mandara Jilid II pun berlanjut!
Dalam buku ini penulis belum secara detil menjelaskan benturan wacana kultural dan dinamika politik saat kepemimpinan MP. Termasuk bagaimana MP harus menghadapi konflik secara terbuka dengan media massa yang selama ini punya kekuatan hegemoni wacana publik Bali. Dinamika itu dihadapi MP hanya demi melanjutkan ‘proyek’ besar: Bali yang maju. Dalam buku ini, penulis lebih banyak memberi perspektif yang segar tentang paralelitas antara Bali Mandara dengan kebudayaan Bali. Setidaknya bisa dilihat dari penjelasan ini:
“Maju dan kemajuan adalah bagian dari karakter dasar kebudayaan Bali. Kreatifitas, akal, sehat, inisiatif dan keswadayaan tergambar dari pelembagaan pranata sosial yang rigid namun memiliki kelenturan dan daya adaptasi yang tinggi. Hal yang secara signifikan berbeda dengan makna konotatif kata ajeg yang cenderung menafikkan keterbukaan, dialog produktif dan dinamika kebudayaan. (hal 35). Kemajuan menjadi ciri menonjol dari kebudayaan Bali, yakni terbuka, dinamis, dan bercirikan dialog produktif, terbuka dan tiada henti.
Akhirnya Arya Suharja menegaskan: orang Bali sebenarnya menghayati kebudayaan sebagai kata kerja bukan kata benda. Mereka pewaris sah atas keunggulan dan semanggat kebudayaan yang unggul, namun mereka sekaligus adalah penerus atau subyek kebudayaan baru. Pada titik ini, Bali Mandara pun mendapatkan justifikasi kultural.
Dalam konteks itu, menurut saya, buku Bali Mandara ini ingin menegaskan bahwa kepemimpinan Made Mangku Pastika melalui program Bali Mandara ingin membangun pondasi baru, tatanan baru, dalam melihat Bali dan kebudayaannya. MP meletakkan dasar tranformasi kultural di Bali melalui program-program strategisnya.
Setidaknya, Arya Suharja merinci sepuluh transformasi yang dimaksud, baik yang berlangsung secara internal maupun eksternal. Namun yang paling kentara bisa saya sebut sebagai berikut; perubahan kultur birokrasi yang mengedepankan prestasi, keterukuran, penerapan reward and punishment, integritas, kedisiplinan. Di sini ada pembiasaan sikap aparatur pemerintahan agar sesuai dengan tuntunan otonomi dan kinerja berbasis prestasi.
Selanjutnya, pelaksanaan program yang bersifat pro growth pemerataan pertumbuhan ekonomi, pro poor – upaya pengentasan kemiskinan dengan cara ‘keroyokan’. Setidaknya ada beberapa program unggulan MP yakni Gerbangsadu Mandara yang bertujuan mempercepat pengentasan kemiskinan melalui pembangunan infrastruktur dan sosial ekonomi perdesaan, Bedah Rumah, pemberian Beasiswa Miskin, pendirian sekolah Bali Mandara yang syarat masuknya adalah siswa miskin.
Tak sampai disitu saja, gerakan ‘pemberantasan’ kemiskinan juga dilakukan melalui kewajiban SKPD menjadi bapak angkat untuk desa-desa miskin, celengan atau tabungan kolektif SKPD yang hasilnya banyak diarahkan untuk bedah rumah. Selain itu, MP juga selalu memberi respon cepat berita-berita kemiskinan baik di media cetak maupun online. Fast respon kepemimpinan MP membawa trend pemberitaan baru di media massa: kemiskinan! Bahkan MP juga memberi penghargaan kepada wartawan yang intens memberitakan kemiskinan. Tidak heran, jika ada wartawan yang sibuk blusukan mencari fakta kemiskinan. Hasilnya, angka kemiskinan di Bali menurun.
Dalam bidang pelayanan, pro people, perubahan bisa dilihat dari pelayanan publik, jaminan kesehatan dan pengembangan sistem transportasi umum, sementara pro environment melalui program hijau Bali Celan and Green. Yang lebih mendasar lagi, implementasi program Simantri dengan penerapan sistem pertanian terintegrasi yang arahnya mengembalikan unsur-unsur biotik yang menyebabkan kesuburan alamiah tanah terjaga. Melalui Simantri, Pemerintah Provinsi Bali ingin mengubah stigma tentang pertanian dan membuat masyarakat tertarik lagi pada bidang ini.
Selanjutnya, pro culture bisa dilihat dari upaya MP untuk memperluas ruang-ruang berkesenian melalui Bali Mandara Mahalango dan Bali Mandara Nawa Natya dan Gelar Seni Akhir Pekan. Di sini MP mewadahi seluruh aktivitas berkesenian generasi muda yang ingin menjelajahi media dan tema-tema baru dalam berkesenian. Seni tradisi/klasik, seni masa kini dan kontemporer mendapatkan ruang pementasan tanpa ada yang menjadi ‘anak tiri’ – meminjam istilah Arya Suharja. Rumusan dan ruang baru kreativitas kesenian selain PKB ini menunjukkan kontektualisasi dari tagline Bali Maju tersebut.
Dalam bidang infrastruktur, sejak masa kepemimpinan MP, jalan Tol Bali Mandara (Tol di atas Perairan) yang menghubungkan Benoa, Bandara Ngurah Rai, dan Nusa Dua sepanjang 12 Km berhasil terwujud. Setidaknya babak baru pembangunan infrastruktur melalui penyertaan saham senilai 200 miliar rupiah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Badung. Meskipun, dalam proses pembangunan Jalan Tol, menuai penolakan kelompok masyarakat, toh jalan tol rampung dikerjakan dan sudah beroperasi.
Terobosan menarik lain adalah pembukaan ruang-ruang diskursus dan komunikasi baru untuk transparansi dan penyerapan aspirasi masyarakat. Selain agenda Simakrama, MP membuka ruang publik yang lebih berani berupa Podium Bali Bebas Bicara Apa Saja di Lapangan Renon. Di sini masyarakat bebas mengeluarkan unek-unek, pandangan dan keluhan kepada pemerintah.
Pada setiap pelaksanaannya, MP bahkan hadir mendengarkan langsung kritikan tersebut. Pada titik ini, MP melakukan transformasi dalam tataran diskursus publik di Bali. Ini buah dari pengalamannya menghadapi hegemoni wacana media massa. Pembukaan ruang-ruang publik dirasa sangat perlu untuk mengatasi ketersumbatan komunikasi tersebut. Resiko yang sudah siap diterima seorang Gubernur adalah digugat, dikritik, dan dicaci maki!
Resiko ini tidak mungkin siap ditanggung oleh seorang Gubernur yang hidup di kultur feodalistik – anti kritik.
Sampai di situ, penulis bisa dikatakan cukup berhasil menarik benang merah antara Bali Mandara dan ‘api’ kebudayaan Bali, termasuk memetakan tranformasi kultural melalui program strategis. Struktur dan konten buku menunjukkan penulis mengawali buku ini dengan tabuh baleganjur dan diselesaikan dengan gegenderan. Pada bagian akhir buku, penulis merasa perlu membuat ‘kopi manis’ dalam bentuk epilog.
Kesannya memang, buku ini lebih banyak membangun basis dan ‘legitimasi’ kultural program Bali Mandara melalui kacamata historis, filosofis, dan sosiologis, sehingga ruang-ruang kritik publik cukup sempit. Padahal, seperti disampaikan penulis – karya ibarat kopi, pahitnya bisa membuat pembaca terjaga. Pelaksanaan program Bali Mandara di lapangan pun bukan tanpa masalah.
Jika memang buku ini warisan untuk generasi muda, maka ‘pahit’ kopi sangat penting diisi sehingga mereka bisa terjaga. Selain itu, kekurangan dan kelemahan dalam implementasi program perlu disampaikan untuk memberi ruang perbaikan bagi pelanjut estafet kepemimpinan. Apalagi kritik tidak melulu destruktif. Saya kutip pandangan Ananda Comaramswami – penulis estetika Timur – yang menyatakan kritik adalah reproduksi sekaligus penciptaan kembali. Andai saja itu dilakukan, maka generasi tak hanya mewarisi kopi manis dan asem, tapi juga kopi pahit! Bukan begitu?
Terlepas dari soal itu, buku ini tetap terobosan yang mesti disambut. Pemikiran strategis untuk pembangunan Bali harus berlanjut – dan ini merupakan kewajiban kolektif. Pemikiran strategis dalam Bali Mandara yang sudah terbukti manfaatnya jangan sampai lenyap dilahap ego politik.
Siapapun menduduki kursi Gubernur nanti, pemikiran dan program yang baik harus tetap dilanjutkan – bila perlu dimantapkan. Seperti adagium orang Bali: melah duduk, ane jele kutang. Setidaknya, apapun kemasannya, perlu kesinambungan dalam program strategis Bali. Kehadiran buku ini juga bermanfaat untuk evaluasi dan bahan kebijakan pemimpin selanjutnya. Buku ini bisa menjadi penuntun – seperti filosofis cover. Jangan sampai generasi kehilangan momentum perubahan yang telah diletakkan pemimpin sebelumnya, seperti sajak Chairil: Sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.
Penulis: A.Paramita
Wartawan/Pengajar di Unhi