AMLAPURA – fajarbali.com | Kabupaten Karangasem menduduki peringkat tertinggi kasus pernikahan dini. Dalam setahun, remaja Karangasem yang menikah belum waktunya ini mencapai 1.500 sampai 2.000 orang. Ironisnya, kasus pernikahan dini dipicu oleh kemajuan teknologi. Hal itu dikatakan Kepala Dinas Pengendalian Penduduk & Keluarga Berencana (DPPKB) Karangasem, I Ketut Wage Saputra, Kamis (27/2/2020) .
Dikatakan Wage Saputra, kasus pernikahan dini tersebar di beberapa kecamatan. Rata-rata, pernikahan dini terjadi direntang usia 15-17 tahun. Paling banyak, pernikahan dini terjadi wilayah dekat dengan pegunungan seperti, kecamatan Kubu, Abang, dan Bebandem. Pernikahan yang ideal menurutnya, untuk perempuan berusia diatas 21 tahun dan laki-laki beeusia 25 tahun. “Kemajuan teknologi, tapi tidak diimbangi dengan kemampuan menyaring, sehingga memicu terjadinya pernikahan dini,” ujar Wage Saputra.
Wage Saputra menyebut, pernikahan dini cenderung akan berdampak pada psikis pasangan, sehingga akan merembet ke bidang lainnya,seperti ekonomi, atau sosialnya. Selain itu, kata Wage Saputra, pernikahan dini juga berdampak pada kehamilan yang belum matang saat usia masih remaja. “Tentu dari sisi kesehatan juga yang harus dipikirkan, kematangan dalam berumah tangga sangat diperkukan,” ujarnya lagi.
Untuk menekan terjadinya pernikahan dini, pihaknya gencar melakukan sosialisasi dengan menekankan enam langkag untuk membangun keluarga ideal yakni dengan menikah diusia ideal, kembangkan hubungan sosial, rencanakan jumlah anak, atur jarak kelahiran anak 3 – 5 tahun, berhenti hamil diusia 35 tahun, serta rawat dan asuh balita dengan optimal. “Dalam sosialisasi, dan edukasi ke masyarakat, Petugas juga menekankan pembinaan ke remaja, danbpenjelasan terkait keluarga ideal,selain itu kami membentukan kampung keluarga berencana (KB) di Karangasem,” ujarnya lagi.
Sasaran sosialisasi dan edukasi, kata Wage Saputra, selain kalangan masyarakat umum, pihaknya juga menyasar remaja di Karangasem, siswa yang masih SMA / SMK. Selain itu,pihaknya juga minta orang tua siswa agar ikut memantau dan mengawasi pergaulan anak. Terkait penggangaran sosialisasi, DPPKB lebih banyak dari pemerintah pusat. “Kalau dari pemkab memang kecil, karena kami mempergunaka anggaran pusat,serta provinsi,” pungkasnya. (bud).