Pentingnya Sinergi Pemerintah, Masyarakat, dan Media Dalam Menanggulangi Kekerasan Seksual

(Last Updated On: )

Lokakarya Media ‘Jurnalistik Pemberitaan Kekerasan Seksual Yang Berimbang dan Berpihak Pada Korban’ yang diselenggarakan Grab Indonesia, Jumat (15/9) di Badung, Bali. (Foto: Tha)

 

MANGUPURA-fajarbali.com | Belakangan ini masyarakat dibuat geram dengan banyaknya pemberitaan kasus pencabulan atau kekerasan seksual terhadap anak maupun perempuan di Indonesia termasuk juga di Provinsi Bali. Anak-anak dan perempuan yang semestinya mendapatkan perlindungan, malah menjadi korban kekerasan seksual. Ini menyebabkan anak dan perempuan sebagai korban menderita lahir batin serta terampas masa depannya.

Sekretaris Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Bali I Gusti Putu Widiantara, SE, M.Si, mengaku prihatin dan menyesalkan terjadinya kasus kekerasan seksual yang kerap terjadi dengan melibatkan anak dan perempuan sebagai korban utamanya. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah maupun penegak hukum dapat menjerat pelaku kejahatan dengan hukuman yang semaksimal mungkin atau seberat-beratnya.

“Terlebih jika dampak yang ditimbulkan menyangkut masa depan dan psikologis anak-anak tersebut. Banyaknya jumlah korban juga harus menjadi pertimbangan yang memberatkan hukuman. Selain itu, pentingnya sinergitas antara pemerintah, penegak hukum, masyarakat, dan peran aktif media dalam menanggulangi atau mengentaskan kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan tanpa harus mempublikasikan secara luas identitas korban serta pemberitaan diharapkan dapat berimbang dan berpihak pada korban,” ungkap Widiantara saat Lokakarya Media ‘Jurnalistik Pemberitaan Kekerasan Seksual Yang Berimbang dan Berpihak Pada Korban’ yang diselenggarakan Grab Indonesia, Jumat (15/9) di Badung, Bali.

Widiantara dalam kesempatan tersebut menambahkan, media memiliki peranan yang cukup besar dalam menyebarkan informasi terkait bahaya serta dampak kekerasan seksual. “Oleh sebab itu, saya ingin etika jurnalistik dapat diterapkan dengan baik oleh seluruh jurnalis atau wartawan di Bali ketika melakukan peliputan kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak maupun perempuan,” tegasnya.

Kepala UPTD PPA Provinsi Bali, Luh Hety Vironika, S.E, M.M., dikesempatan yang sama menyebutkan bahwa kasus kekerasan yang terjadi di Bali selama tiga tahun terakhir (2021-2023) masih cukup tinggi. Ia menjabarkan bahwa kasus kekerasan di tahun 2021 mencapai 439 kasus, 2022 mencapai 516 kasus, dan per September 2023 mencapai 185 kasus.

“Untuk tiga besar kasus kekerasan yang kita tangani di UPTD PPA Provinsi Bali diantaranya kekerasan fisik, psikis, dan seksual dengan rincian kasus kekerasan fisik pada 2021 mencapai 108 kasus, 2022 mencapai 108 kasus, dan per September 2023 mencapai 80 kasus. Sementara kasus kekerasan psikis di tahun 2021 mencapai 155 kasus, 2022 mencapai 176 kasus, dan per September 2023 mencapai 83 kasus. Sedangkan untuk kasus kekerasan seksual di tahun 2021 mencapai 83 kasus, 2022 mencapai 116 kasus, dan per September 2023 mencapai 45 kasus,” bebernya.

Dalam upaya menanggulangi meningkatnya jumlah kasus kekerasan seksual, Hety mengaku telah rutin melakukan sosialisasi diberbagai kegiatan di tengah-tengah masyarakat seperti melakukan sosialisasi di sekolah-sekolah dengan melibatkan Forum Anak Daerah. Dimana dalam forum tersebut anak-anak yang dipilih kemudian dididik dan dijadikan narasumber dalam memberikan kampanye kepada murid-murid di sekolah baik di perkotaan maupun di desa.

“Kita juga telah berkolaborasi bersama Majelis Desa Adat (MDA) dalam mengentaskan kekerasan seksual di desa-desa. Sinergi ini penting dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tetap mewaspadai dan mengetahui jenis-jenis kekerasan yang bisa saja mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, kita juga harapkan kepada masyarakat khususnya anak dan perempuan yang mengalami kekerasan seksual maupun fisik agar dapat segera melaporkan kejadian tersebut ke UPTD PPA Provinsi Bali untuk kemudian diberikan perlindungan dan difasilitasi apabila ingin mendapatkan perlindungan secara hukum,” terang Hety didampingi Psikolog UPTD PPA Provinsi Bali, Ni Ketut Mila Puspitasari S.Psi,MPsi.

 

Sementara itu, Chief Communications Officer Grab Indonesia, Mayang Schreiber mengatakan, Lokakarya Media ini merupakan bentuk komitmen Grab Indonesia dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual di masyarakat sekaligus sebagai wadah bertukar pikiran agar kedepannya pemberitaan kekerasan seksual lebih berimbang dan berpihak pada korban.

“Kami juga sudah melaksanakan program pelatihan secara offline untuk seluruh Mitra Pengemudi Grab di Bali yang menjangkau puluhan ribu Mitra. Sementara untuk seluruh Indonesia, pelatihan keamanan termasuk anti kekerasan seksual ini menargetkan ratusan ribu mitra yang sudah dimulai di lima kota seperti Bandung, Surabaya, Medan, Bali, dan Jakarta. Semoga apa yang telah kami lakukan dapat membantu meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman kekerasan seksual,” ujarnya.

Korwil Bali Utara AJI Denpasar, Eka Prasetya mengatakan, seorang jurnalis harus memiliki kemampuan untuk memilah informasi yang sifatnya sensitif seperti halnya kasus kekerasan seksual. Ia mengaku jika menulis tentang kasus kekerasan seksual memang sangat rawan dan harus penuh pertimbangan. “Hingga saat ini masih banyak pemberitaan mengenai kekerasan seksual di Bali yang masih belum memenuhi kaidah etik jurnalis. Masih ditemukan pelanggaran, seperti mencampurkan fakta dan opini, mengungkapkan identitas korban, menggunakan diksi yang bias, hingga media yang menggiring opini pembacanya untuk membuat persepsi dan menghakimi korban. Untuk meliput dan menulis tentang kasus kekerasan seksual yang baik, jurnalis harus memahami apa itu kekerasan seksual,” sebutnya.

Eka menambahkan, dalam menulis kasus kekerasan seksual, jurnalis harus melindungi identitas korban dan tidak boleh sembarangan menyebutnya. Identitas itu bisa berupa nama, foto, alamat rumah, nama sekolah, nama keluarga terkait, dan informasi pribadi yang tidak dibutuhkan dalam pemberitaan. “Saat meliput dan menuliskan berita, jurnalis harus mempertimbangkan kondisi korban dan mendapatkan persetujuannya,” pungkasnya. (Dartha/Fajar Bali)

 Save as PDF

Next Post

Dua Maling Motor Ditembak, Seorang Residivis Dua Kali Keluar Masuk Lapas

Jum Sep 15 , 2023
Coba Melawan dan Kabur
IMG_20230915_180046

Berita Lainnya