https://www.traditionrolex.com/27 Ijazah Dahulu, Akta Nikah Kemudian! Kampanye Setop Perkawinan Anak’ - FAJAR BALI
 

Ijazah Dahulu, Akta Nikah Kemudian! Kampanye Setop Perkawinan Anak’

Kampanye serangkaian Hari Anak Nasional 23 Juli 2023

 Save as PDF
(Last Updated On: 13/07/2023)

FOTO: KAMPANYE bersama cegah dan setop perkawinan anak oleh LSM Bali Sruti, Kapal Perempuan, Dinsos Denpasar serta 10 lembaga lainnya, Rabu (12/7/2023).

 

DENPASAR – fajarbali.com | Institut KAPAL Perempuan, LSM Bali Sruti, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Ngurah Rai, Dinas Sosial, UPTD PPPA Kota Denpasar serta 10 lembaga pegiat perlindungan anak dan perempuan kampanye bersama mencegah dan menyetop perkawinan anak.

Kampanye serangkaian Hari Anak Nasional 23 Juli 2023 itu, digelar di Kantor RRI Denpasar dan disiarkan secara live, Rabu (12/7) siang, mengangkat tema “Raih Jjazah Sebelum Akta Nikah”.

Ketua LSM Bali Sruti Luh Riniti Rahayu, menjelaskan, pengaruh ekonomi dan lingkungan tidak dipungkiri membawa pengaruh terhadap kontrol orang tua di dalam mengawasi anak-anaknya.

Sejumlah persoalan yang dialami anak-anak, baik pernikahan di bawah umur, pelecehan seksual, hingga kekerasan terhadap anak memberi dampak psikologis dan dampak buruk terhadap masa depan anak.

Kondisi anak-anak tentunya harus diperhatikan setiap hari,  mengatakan meski tidak 24 jam mengawasi anak, tentunya langkah nyata untuk saling mendukung masa depan anak. Apabila anak sampai menikah dini, tentu hak-haknya sudah hilang untuk bermain dan mencapai cita-citanya.

“Orang tua bertanggung jawab di rumah, tetapi juga tidak bisa 24 jam. Di luar atau di sekolah juga akan diawasi guru, di lingkungan bermain anak-anak juga diawasi kawan-kawannya. Semua unsur masyarakat harus peduli dan ikut berkontribusi untuk perlindungan anak serta mencegah kasus perkawinan anak,” katanya.

Meski dianggap tidak ada data riil atas perkawinan anak, tetapi di Bali masih ada dan perkawinan anak dimaksud tidak didaftarkan dan diungkap.

“Di catatan sipil kita tidak akan pernah melihat perkawinan anak, yang ada hanya dispensasi, itu pun hanya beberapa saja. Yang melakukan perkawinan anak secara adat, itu banyak sekali karena mereka akan didaftarkan ke catatan sipil bilamana usianya sudah mencapai dewasa,” ujar Riniti. 

Akibatnya, anak yang dilahirkan dari anak ini, akan memiliki akta atas nama ibu, dan ha katas nama ayah akan hilang. Akhirnya anak yang dilahirkan oleh anak akan mengalami masalah yang besar. Rata-rata karena kehamilan yang tidak diinginkan, dan itu dikawinkan karena dianggap akan menghilangkan aib, padahal akan menimbulkan depresi baru.

Ketua Institut KAPAL Perempuan, Misiyah, mengatakan, seluruh pihak kini bertanggung jawab dan bersuara untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk perkawinan anak di bawah umur. Hal penting lainnya adalah pencegahan dari dalam keluarga, komunitas terkecil di desa, hingga nasional.

“Perkawinan anak merupakan perkawinan di bawah usia 18 Tahun, di mana telah diatur UU Perkawinan usia 19 Tahun. Jadi sebelum usia 19 tahun menikah, artinya melanggar perkawinan anak. Kalau penegakan hukumnya sudah ada, apalagi ini diatur dalam UU Perkawinan yang direvisi pada Tahun 2019, yaitu UU Nomor 16. Perkawinan anak ini juga merupakan salah satu tindak pidana atas kekerasan seksual terhadap anak UU TPKS,” tegasnya.

Tantangan mengenai perkawinan anak juga disinggung Misiyah, atas adanya dispensasi dari Mahkamah Agung (MA). Selain itu, adanya pandangan orang tua apabila si anak tidak lekas menikah, dikhawatirkan akan menjadi perawan tua (faktor budaya), termasuk pandangan kalau anak sudah menikah berarti sudah ada penanggung jawabnya padahal belum tentu demikian adanya.

“Ada laporan, seperti kepala desanya dilaporkan karena dia yang mengeluarkan surat (Perkawinan Anak), lalu tantangan terbesar adalah Hakim yang memutuskan dispensasi. Diketahui sudah diatur Mahkamah Agung (MA) bahwa untuk memberikan dispensasi, dinyatakan hamil harus hasil USG tidak boleh hanya sekadar bicara, lalu dispensasi dan dibiarkan boleh menikah,” tegasnya.

Sementara itu, Kadis Sosial Kota Denpasar I Gusti Ayu Laxmy Saraswati mengungkapkan dalam kondisi pandemi Covid-19 tidak dipungkiri sebelumnya banyak orang sibuk bekerja dan tidak mengawasi anak secara baik. Kedua, adalah faktor pergaulan, dan Ketiga faktor media sosial. Dominasi anak-anak korban kekerasan seksual dan semacamnya berasal dari luar Bali.

“Kebanyakan anak-anak putus sekolah dari daerah asal, itu menyebabkan mereka memiliki waktu luang, di mana mereka berkenalan dengan seseorang di media sosial sehingga terjadilah pencabulan, kekerasan, penganiayaan, hingga pengeroyokan,” katanya.

Data Dinsos Kota Denpasar mencatat; 1. Data anak terlantar Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) Tahun 2022 (210 orang); 2. Data disabilitas anak PPKS Tahun 2022 (124 orang); dan 3. Data anak berhadapan dengan hukum (65 orang). rl

 Save as PDF

Next Post

Bersaing dengan 75 Tim dari 25 Negara, Dua Wakil Smansa Denpasar Rebut Dua Medali di Jepang

Kam Jul 13 , 2023
Kompetisi karya ilmiah internasional ini diselenggarakan oleh World Invention Intellectual Property Associations (WIIPA)
SMANSA Dps

Berita Lainnya