Foto : Penyerahan sertifikat kompetensi Pendamping Lokal Desa Bali oleh Ketua LSP (ist).
Oleh : Jero Kadek Suardika
Pendampingan tidak boleh bersifat apolitik, tapi berorientasi politik. Pendampingan apolitik hadir dalam bentuk pengembangan kapasitas tenokratis dalam pembangunan desa, termasuk pembentukan keterampilan berusaha, tanpa menyentuh penguatan tradisi berdesa dan penguatan kekuasaan, hak dan kepentingan warga. Penguatan teknokratis sangat penting tapi tidak cukup memperkuat desa. Karena itu pendampingan harus bersifat politik.
Politik dalam kontrak ini bukan dalam pengertian perebutan kekuasaan, atau kepala desa menjadi kader partai politi, melainkan penguatan pengetahuan dan kesadaran akan hak, kepentingan masyarakat agar terbentuk masyarakat yang berpemerintahan, pembangunan yang berbasis masyarakat. Pendekatan pendampingan yang berorientasi politik ini akan memperkuat kuasa rakyat sekaligus membuat sistem desa menjadi lebih demokratis.
Para pendamping bukan hanya memfasilitasi pembelajaran dan pembangunan kapasitas, tetapi juga mengisi “ruang- ruang kosong” baik secara vertikal maupun horizontal. Mengisi ruang kosong identik dgn membangun ” jembatan sosial” dan jembatan politik.
Misal pada ranah desa ruang kosong vertikal kekosongan interaksi dinamis antara warga dengan pemerintahan desa dan lembaga lainnya, kekosongan, ketidak jelasan hubungan desa dengan supra desa. Sehingga pendamping perlu fasilitasi hubungan antar warga dengan pemerintahan desa agar terbentuk bangunan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum . Demikian juga hubungan desa dengan supra desa perlu duduk bersama membahas kewenangan sehingga akan memperkuat kedaulatan desa.
Ruang kosong horizontal perlu diisi membangun hubungan desa dengan desa adat dengan subak aga terjadi dualitas dan trinitas desa sehingga desa bisa bertenaga secara sosial dan spiritual dalam perspektif Bali. (rl)