Ajukan Pembelaan, BT Sebut Dikriminalisasi, Malah Dirugikan Rp 24 Miliar

u5-IMG-20251203-WA0099_copy_1024x633
Budiman Tiang didampingi kuasa hukumnya saat sidang agenda pembelaan.Foto/eli

DENPASAR-fajarbali.com|Usai dituntut 3,5 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) karena dianggap terbukti melakukan tindak pidana penggelapan, Budiman Tiang (BT) akhirnya diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan pada sidang, Selasa (2/11/2025).

Dalam pledoi, tidak hanya kuasa hukum terdakwa yang mengajukan, terdakwa sendiri juga mengajukan secara tertulis. Nah, dari pembelaannya, terdakwa mengungkap bahwa sebenarnya dalam perkara ini dialah yang dirugikan.

Tak tanggung-tanggung terdakwa menyebut nilai kerugian yang diderita mencapai Rp 24 miliar, namun malah dijadikan pesakitan. Ini tentu memunculkan pertanyaan apakah BT menjadi korban kriminalisasi dalam sengketa properti.

Dalam pledoi yang dibacakan, terdakwa menegaskan bahwa seluruh unsur yang digunakan JPU untuk menjerat BT dengan Pasal 372 KUHP mengenai dugaan penggelapan dinilai gugur satu per satu berdasarkan fakta persidangan.

Penasihat hukum BT menyampaikan bahwa tidak terdapat bukti yang menunjukkan terdakwa pernah menguasai atau menikmati barang maupun dana secara melawan hukum sebagaimana dituduhkan.

Sebaliknya, fakta persidangan mengungkap bahwa bangunan senilai Rp 170 miliar yang dijadikan dasar tuduhan penggelapan saat ini berada dalam penguasaan pihak lawan, bukan BT.

“Unsur penggelapan gugur semuanya. Tidak ada satu pun unsur yang terbukti secara terang dan jelas,” ungkap Gede Pasek Suardika, S.H., M.H. dari Berdikari Law Office selaku Panasehat Bukum BT.

Dalam pledoi pribadinya, BT menguraikan sejumlah poin penting yang menurutnya menunjukkan bahwa dakwaan JPU tidak memenuhi syarat formil maupun materil.

Di mana JPU tidak pernah menjelaskan secara tegas apa objek penggelapannya: tanah, bangunan, dana kerja sama operasional, atau uang sewa. Menurutnya, dakwaan menjadi kabur dan tidak memenuhi asas kepastian hukum.

BT menegaskan tanah dan bangunan yang dipersoalkan berada di bawah Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) miliknya sendiri. Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung, seseorang tidak dapat dipidana karena menggelapkan barang miliknya sendiri.

BACA JUGA:  Bersaksi, Cameron Ungkap Fakta 'Hilangnya' Kedua Balita dari Arena Bermain Hotel

JPU mendalilkan adanya kerugian dari pembayaran yang dilakukan warga negara asing, Nicholas Laye.

Namun, persidangan mengungkap bahwa Laye tidak pernah diperiksa di tingkat penyidikan, tidak pernah hadir di sidang, serta tidak pernah memberikan keterangan di bawah sumpah.

Dana Rp 20 juta yang disebut-sebut dalam perkara juga tidak digunakan untuk kepentingan pribadi BT, melainkan untuk operasional perusahaan.

Tak hanya itu, ia menilai direksi pelapor tidak menyusun laporan keuangan, tidak diaudit, dan diduga menyembunyikan sejumlah transaksi. Karena itu, terdakwa menilai perkara ini merupakan sengketa korporasi, bukan tindak pidana.

BT juga menyatakan JPU tidak dapat menjelaskan secara pasti siapa yang dirugikan, besaran kerugiannya, maupun mekanisme kerugian tersebut terjadi. Tanpa adanya kerugian nyata, unsur penggelapan tidak terpenuhi.

Sejumlah kesaksian pelapor dinilai tidak berdasarkan pengalaman langsung, melainkan informasi dari pihak lain. Dalam KUHAP, kesaksian semacam ini harus dikesampingkan.

Apalagi, jika mengutip putusan Mahkamah Agung yang secara konsisten menegaskan bahwa perselisihan bisnis dan perjanjian keperdataan bukan merupakan ranah pidana.

Selain itu, ia menegaskan tidak ada barang milik orang lain, tidak ada penyalahgunaan wewenang, tidak ada kerugian nyata, serta tidak ada niat jahat.

JPU menggunakan pembayaran Nicholas Laye sebagai dasar konstruksi kerugian. Namun, tidak ada satu pun bukti hukum yang dapat diuji karena Laye tidak diperiksa penyidik, tidak hadir di persidangan, tidak diperiksa di bawah sumpah, dan tidak jelas aliran dananya.

Tidak ada pula bukti bahwa BT pernah menikmati dana tersebut. Kondisi itu membuat narasi kerugian tidak memenuhi asas due process of law.

Paling telak adalah JPU turut menuduh BT merugikan konsumen dalam pengelolaan proyek kerja sama. Namun, selama persidangan berlangsung tidak satu pun konsumen hadir untuk memberikan keterangan; tidak ada yang mengaku mengalami kerugian; tidak ada bukti kerugian nyata; serta tidak ada saksi fakta yang memperkuat dakwaan.

BACA JUGA:  Diduga Dirikan Tiang Provider Tanpa Izin Pemilk Lahan, Telkom Disomasi

"Bagaimana mungkin menuduh Terdakwa merugikan konsumen, jika tidak ada satu pun konsumen yang dihadirkan di persidangan?” sentil GPS terkait dengan dakwaan JPU.

Tim kuasa hukum BT menilai klaim JPU semata-mata bersandar pada Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang seluruhnya telah dipatahkan dalam sidang.

"Fakta persidangan, kerugian justru ada pada terdakwa. Di mana dalam persidangan terungkap bahwa BT justru yang menderita kerugian," tegasnya.

Kerugian itu di antaranya bahwa fuo Rusia Igor dan Stanislav memiliki hutang kepada BT sebesar Rp 24 miliar yang tidak pernah dibayar; Modal dan aset BT berupa 4 SHGB yang digunakan dalam proyek tidak pernah diganti; Igor dan Stanislav yang menikmati keuntungan proyek tersebut.

"Fakta Persidangan ini membongkar bahwa tidak ada unsur “menguntungkan diri sendiri”, melainkan BT yang dirugikan," ingatnya lagi dalam sidang tersebut. “Ini kriminalisasi. Ketika penipuan tidak terbukti, pasal penggelapan dipaksakan,” tambah dia.

Untuk itu GPS mengingatkan pentingnya integritas dalam peradilan. “Tinggal keberanian hakim untuk memilih keadilan, atau takut bayang-bayang orang besar yang bermain di belakang perkara ini,” tukasnya.

Kasus yang menyeret BT memang menarik perhatian banyak pihak. Selain "korban" menjadi terdakwa, dalam hal ini juga melibatkan pihak asing. Di mana untuk diketahui bersama situasi investasi asing di Bali belakangan banyak diwarnai beragam kasus.

Apalagi, dalam sidang juga terungkap dua warga Rusia yang mengklaim diri sebagai investor disebut sebenarnya hanya berprofesi sebagai sales properti, sementara sejumlah proyek Magnum di Berawa dan Sanur diduga tidak memiliki izin lengkap.

Situasi ini menimbulkan kekhawatiran kriminalisasi pelaku usaha lokal dalam sengketa bisnis dengan warga asing.

Selain perkara pidana, BT juga mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Nomor 1183/Pdt.G/2025/PN.Dps terhadap Kapolda Bali dan Komandan Brimob-atas nama pribadi bukan pejabat Polri.

BACA JUGA:  Sambut HUT IKAHI, PN Denpasar Gelar Berbagai Kegiatan Sosial

Persidangan terakhir digelar pada 26 November 2025 dengan agenda penyerahan bukti awal terkait kewenangan absolut PN Denpasar.

Sidang akan berlanjut pada tahap pembuktian dalam persidangan berikutnya. Sedangkan sidang pidana akan berlanjut pada Selasa, 9 Desember 2025 dengan agenda pembacaan replik atau tanggapan JPU terhadap pledoi terdakwa.W-007

BERITA TERKINI

TERPOPULER

Scroll to Top