FOTO: Dr. Kadek Adyatna Wedananta, S.Pd., M.Pd., didampingi kedua orangtuanya.
DENPASAR – fajarbali.com | Senin 26 Juni 2023 menjadi momen bersejarah dalam kehidupan Kadek Adyatna Wedananta. Hari itu, Weda–sapaan karibnya, tiba di puncak pendakian akademik tertinggi.
Weda berhak menyandang gelar Doktor (Dr) setelah sukses melewati Ujian Disertasi Terbuka Promosi Doktor pada Program Doktor Pendidikan Bahasa Konsentrasi Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha).
Dosen muda pengajar Bahasa Inggris di Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) itu sukses mempertahankan disertasi berjudul “Language Use Among Youths In The Instagram: The Emergence of Ethnotech-Pragmatics” dihadapan Dewan Penguji/Penyanggah.
Ditemui Fajar Bali di Denpasar, Senin (3/7), Weda seolah belum percaya pada capaiannya ini. Dia siap menerima konsekuensi jika ada pihak yang menganggapnya “lebay” atau berlebihan.
Namun bagi dirinya sendiri dan orang-orang terdekat yang tahu asam garam perjuangannya, pasti menganggap wajar rasa bangga itu. Lahir dari keluarga sederhana, ditambah gejolak jiwa mudanya, perjalanan pendidikan Weda penuh kerikil tajam.
Dia tidak berhasil menyelesaikan studi di salah satu perguruan tinggi di Thailand tahun 2018 silam karena faktor teknis dari internal kampus negeri Gajah Putih itu. “Jika saya tidak kuat mental, saya sudah gila di negeri orang,” kenang Weda.
Keputusan melanjutkan studi doktoral di luar negeri, lanjut Weda, merupakan komitmennya meningkatkan kompetensi diri. Namun perjalanan hidup berkata lain, meski dosen yang masih betah melajang ini sudah berusaha sekuat tenaga.
Bukannya kapok atas nasib tragisnya. Weda kembali mencoba melamar di perguruan tinggi lain di Thailand. Kali ini, ekspetasinya seperti sebelumnya. Pengalaman membuatnya lebih bijak. Setelah berhitung, dia memutuskan memilih studi S3 di dalam Negeri, Undiksha, almamaternya saat S2.
“Saya sadar punya keterbatasan biaya. Saya sampai pinjam biaya waktu kuliah S2 dan S3 di Thailand,” kata anak kedua dari I Wayan Jimbaran dengan Ni Ketut Sutarni ini, sembari mengatakan ia mulai mendaftar di Program Doktor Pendidikan Bahasa Undiksha tahun 2019.
Kembali ke disertasinya. Weda menguliti soal penggunaan bahasa “gaul” khas anak muda di media sosial, Instagram. Seperti diketahui, pengguna Instagram yang didominasi Gen Z itu, dipenuhi bahasa campur sari sebagai alat komunikasi mereka.
Jika sesama Gen Z, lanjut Weda, mereka dengan mudah memahaminya karena lahirnya sebuah kata gaul itu berdasarkan kesepakatan mereka. Padahal dari sisi edukasi kata-kata baku sesuai Ejaan yang Sempurnakan (EyD) kebiasaan anak muda ini boleh dikatakan mengkhawatirkan.
Ia mencontohkan, kata “share” atau “download”. Padahal dalam bahasa Indonesia baku, kedua kata ini berarti membagikan dan mengunduh. Tapi Gen Z lebih familiar dengan “share” dan “download”. “Jadi buat apa saya cari bentuk bakunya lagi? Toh udah ngerti maksudnya. Kira-kira begitu mindsetnya,” jelas Weda.
Kata lain yang disorotinya adalah “woles” (slow dibalik) yang mengandung makna santai. Kata ini pernah hidup subur di zamannya. Tapi kini kian menghilang diganti dengan istilah lain yang disepakati. Sebab, bahasa layaknya mahluk hidup. Ia lahir, hidup dan mati.
Demikian pula dengan kata beb (baby), say (sayang) bro (brother) dan sebagainya. Ditulis tidak utuh, tapi maknanya ditangkap dengan jelas oleh penggunanya. Dari sisi substansi, contohnya kata beb, juga mulai bergeser.
“Kalau dulu beb yang berasal dari kata baby (bayi) itu khusus panggilan untuk pacar. Tapi sekarang lebih untuk bestie (teman dekat),” ujar Weda.
Fenomena dalam penelitiannya ini bisa berdampak pada relasi sosial secara luas pada semua sektor kehidupan. Contohnya di setiap perusahaan, pasti terdapat karyawan dari Gen Z (kelahiran 1995-2012). Sedangkan atasannya kemungkinan dari Baby Boomber atau Gen Y (1980-1995).
“Jika antar-keduanya tidak saling memahami bahasa masing-masing, bisa melahirkan masalah. Ini pesan yang terpenting dalam penelitian saya,” tambahnya.
Weda berharap hasil penelitiannya bermanfaat bagi masyarakat luas. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih atas dukungan Ketua Perkumpulan Pendidikan Nasional (Perdiknas) Denpasar dan pimpinan Undiknas atas segala dukungan hingga ia berhasil menuntaskan studinya.
FOTO: Musik menjadi penawar kejenuhan.
Di sela aktivitas mengajar, Weda juga aktif bermain musik, menciptakan lagu dan menulis karya sastra fiksi. Dia berusaha menyelaraskan hobi dan tugas utama.
“Bagi saya, semangat bukan lagi motivasi, tapi sebuah kewajiban. Saat kita mempunyai orang-orang yang kita cintai, kita menjadi lebih kuat. Karena ada alasan untuk berjuang,” kata Weda memungkasi.
Adapun promotor dalam disertasinya, yakni Prof. Dr. Ni Nyoman Padmadewi, M.A., Ko-Promotor I Prof. Dra. Luh Putu Artini, MA., Ph.D. dan Prof. Dr. I Gede Budasi, M.Ed., selaku Ko-Promotor II.
Ketua Perdiknas Dr. AA Ngurah Eddy Supriyadinata Gorda mengucapkan selamat dan sukses kepada Weda yang notabene putra dari salah satu karyawan Undiknas yang telah purna tugas. “Semoga menjadi motivasi bagi dosen lain,” kata pemilik sapaan akrab Gung Eddy. (Gde)