Lansia Kakak Beradik Buta, Mohon Uluran Tangan

Ni Nyoman Tunjung (70) dan adiknya Ni Ketut Jempiring (65), warga Dusun Pulasari, Peninjoan, Tembuku, Bangli  hanya bisa tidur dan makan di rumahnya yang tak layak huni.

BANGLI-fajarbali.com | Keduanya tak bisa melihat dunia. Ni Tunjung, buta karena faktor alami, sedangkan adiknya Ni Jempiring, buta lantaran matanya tertusuk bambu dan terusuk arit (sabit) saat masih muda.

Keduanya tidak menikah (bujang lapuk). Menempati rumah warisan kakaknya, I Nengah Reren (alm) dan kini sudah tak layak huni. Dinding rumah dari gedek, sudah bocor sana sini, sehingga mereka tidur kedinginan. Lantai lembab. Bangunan sudah sangat tua.

Lebih parah lagi, mereka tak punya pendapatan sepeserpun. Mereka tak kerja dan tak mampu bekerja lagi setelah matanya tak bisa melihat (buta), keduanya buta sejak 10 tahun lalu. Mereka mengaku tidak mendapat  bantuan beras miskin (raskin) dan tida mengantongi kartu miskin. “Ten taen tiang maan baas (tidak pernah saya mendapat beras miskin)”, ujar Tunjung diamini adiknya.

Tapi mereka mengaku jujur kini terus bisa punya beras, karena ada orang yang sangat peduli kepadanya. Seorang warga dari Desa Plaga, Badung katanya selalu memberikan beras, begitu beras habis diberi lagi. Tetapi dia tidak mampu menceritakan siapa orang itu dan kenal dimana. Bahkan pernah juga diberikan kasur (tempat tidur).

Kasur tiang icene (tempat tidur kami juga diberikan”,ujarnya. Ni Jempiring mengaku matanya buta karena saat usia muda tertusuk bambu dan arit. Sejak itulah tak lagi bisa bekerja (kerja serabutan). Demikian  juga Ni Tunjung, bahkan  saat muda kerja meburuh hingga ke Buleleng dan Jembrana, tapi kini hanya terkungkung di dapur yang sekaligus jadi tempat tidur berkuruan 3x2 meter itu.

Dia menuturkan dirinya bersaudara lima orang. Kakak yang sulung, Ni Wayan Srinangi sudah meninggal, kakaknya nomor dua, I Nengah Reren juga sudah meninggal. Tunjung anak ketiga dan Jempiring anak ke empat. Dan adiknya yang kelima, I Wayan Seken juga sudah meninggal, bahkan meninggal terjatuh dari pohon kelapa. Sehingga mereka hanya masih berdua, dan tidak menikah.

Meski punya keponakan justru sudah menikah jauh ke Jembrana. Ditanya siapa yang menanak nasi buat dirinya, dia jawab dirinya sendiri. Tetapi dia tak mampu untuk membuat lauk, karena buta.  

Tyang hanya bisa nanak nasi”, jelasnya. Keduanya berharap ada uluran tangan dari pemerintah baik pemerintah kabupaten dan provinsi. Dari mulut keduanya wanti-wanti muncul ungkapan minta uluran tangan, kepada pemerintah dan siapapun, sambil mengusap air matanya mengenang nasibnya.

Nunas tulung tyang pak, sapuniki nasib tyange,” ujar Tunjung menahan air matanya. Untuk sekadar diketahui, keadaan ekonomi keluarga besarnya cukup baik, ditandakan dengan suasana fisik, seperti ada mobil dan rumah-rumah permanen, Tunjung dan Jempiring tak mau menyinggung soal itu. Setiap Fajar Bali menyinggung soal keadaan ekonomi keluarga besar, pembicaraan selalu dialihkan. (sum)

Scroll to Top