Dua Pentinggi BPR Bali Artha Anugrah Dituntut 8 Tahun Penjara

1000079502
Ida Bagus Toni Astawa bersama sama dua terdakwa usai jalani sidang di Pengadilan Denpasar.foto/eli

Loading

DENPASAR-Fajarbali.com|Dua petinggi PT BPR Bali Artha Anugrah (BAA), Ida Bagus Toni Astawa (55) yang menjabat sebagai Direktur Utama dan I Nengah Sujana (63) selaku Direktur Operasional yang terjerat kasus perbankan, dituntut sama rata, 8 tahun penjara. Sementara satu terdakwa lagi atas nama yaitu I Gede Dodi Artawan selaku Kepala Bagian Kredit dituntut 6 tahun penjara.

Dalam sidang, Selasa (29/4/2024) ketiga terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Putu Oka Bhismaning dan Komang Swastini menyatakan para terdakwa tebukti dengan sengaja membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Pasal 49 ayat (1) huruf a dan Pasal 49 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

"Memohon kepada majelis hakim untuk menghukum para terdakwa adengan pidana penjara masing masing-masing 8 tahun dan 6 tahun, " sebut Jaksa yang bertugas di Kejaksaan Negeri Denpasar itu di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar pimpina Sayuti. Selain itu, Ida Bagus Toni yang pernah menjabat sebagai Ketua KONI Denpasar itu juga dituntut hukuman denda Rp 10 miliar.

Atas tuntutan itu para terdakwa melalui kuasa hukumnya menyatakan mengajukan pembelaan pada sidang selanjutnya. Seperti diketahui, Terdakwa Ida Bagus Toni Astawa saat diperiksa di muka sidang mengungkap, dari 635 fasilitas kredit fiktif sebagian besar dia yang mengatur nasabahnya. Sementara sebagian kecil ada yang bawa oleh terdakwa Sujana.

Terungkap pula, awalnya mantan Ketua KONI Denpasar itu membantah tudingan juga kredit fiktif senilai Rp Rp 325,47 miliar yang dibuat itu semua untuk menutupi para nasabah yang kreditnya macet. "Jadi kredit fiktif itu untuk menutupi kredit macet. Jadi tidak ada yang masuk ke kantong pribadi saya" ungkap Toni Astawa.

Selain itu terdakwa Toni Astawa juga mengatakan jika beberapa nasabah bank ada yang mengetahui jika namanya "dipinjam" untuk pengajuan kredit fiktif."Kita berita tahu kepada nasabah bahwa namanya kita pakai untuk pengajuan kredit, hanya saya nasabah itu tidak menerima uang, " ujarnya.

BACA JUGA:  Program Rehabilitasi Pecandu Narkoba Meningkat, Diminati Usia Produktif 21 Hingga 30 Tahun

Sementara menyinggung soal peran terdakwa I Nengah Sujana (63) selaku Direktur Operasional, selain menawarkan beberapa nasabah untuk dipinjam nama, juga bertugas menjalankan perintah terdakwa Ida Bagus Toni dalam membuat kredit fiktif.

Dan ini pun diakui oleh I Nengah Sujana. Tapi Sujana mengaku tidak mendapatkan uang sepeser pun dalam menjalankan perintah itu. Meski terus mengelak dan berdalih tidak menerima uang dari 635 kredit fiktif itu, Toni Astawa akhirnya menyerah saat ditanya soal adanya pencairan uang milik BPR Bali Artha Anugrah yang disimpan di Bank BJB sebesar kurang lebih Rp 500 juta.

Sudara Toni Astawa mengetahui ada penarikan uang di bank BJB senpai Rp 500 juta lebih,?," tanya Jaksa Swastini yang dijawab jika dia mengetahuinya. Dia mengatakan jika uang yang diambil di bank BJB itu digunakan untuk membeli mobil toyota Alphard yang kemudian disewakan (rental)) dan hasil rental mobil itu terdakwa Toni Astawa Gunakan Sendiri.

"Tapi pada saat Covid-19 melanda mobil itu dijual, " ujar Toni Astawa tanpa menyebut uang hasil penjualan mobil itu masuk ke rekening bank atau masuk ke kantong pribadinya.

Seperti diketahui, Kedua terdakwa diduga melakukan tindak pidana perbankan dengan modus pencatatan palsu dalam laporan keuangan. Akibat perbuatan mereka, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya mencabut izin usaha bank tersebut pada 4 April 2024.

Dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Putu Oka Bhismaning dkk, dijelaskan, dalam kurun waktu 23 Februari 2017 hingga 27 Juni 2023, terdakwa Ida Bagus Toni Astawa  dan terdakwa I Nengah Sujana, bersama dengan saksi I Gede Dodi Artawan selaku Kepala Bagian Kredit, melakukan manipulasi data kredit di BPR yang terletak di Jalan Diponegoro No. 171, Dauh Puri Kelod, Denpasar Barat.

BACA JUGA:  Mabuk Arak, Dua Buruh Bangunan Berkelahi, Satu Sekarat Ditusuk Pisau

Mereka membuat kredit fiktif total sebanyak 635 fasilitas kredit menggunakan 151 nama debitur, dengan total plafon mencapai Rp 325,47 miliar. Kredit fiktif ini digunakan untuk menutupi tingginya Non-Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah di bank tersebut agar tetap berada di bawah 3%.

“Dengan demikian, laporan keuangan seolah-olah menunjukkan kondisi keuangan bank yang sehat,” ungkap JPU.

Proses rekayasa ini dilakukan dengan berbagai cara, seperti menggunakan data debitur lama yang telah melunasi pinjamannya atau debitur yang sedang menunggak sebagai pemohon kredit baru. Mereka juga menggunakan agunan yang sama untuk beberapa kredit berbeda atau bahkan menentukan sendiri agunan tanpa verifikasi.W-007

Scroll to Top