UNR Serap Aspirasi untuk Rancangan KUHAP Demi Tegaknya Keadilan 

IMG-20250301-WA0005
Program Studi Magister Hukum, Program Pascasarjana Universitas Ngurah Rai (UNR) menggelar Seminar Nasional “RKUHAP: Reformasi Hukum Acara Pidana Menuju Keadilan yang Berkeadilan”, bertempat di Auditorium Universitas Ngurah Rai Jumat (28/2/2025).

DENPASAR-fajarbali.com | Program Studi Magister Hukum, Program Pascasarjana Universitas Ngurah Rai (UNR) menggelar Seminar Nasional “RKUHAP: Reformasi Hukum Acara Pidana Menuju Keadilan yang Berkeadilan”, bertempat di Auditorium UNR, Jumat (28/2/2025).

Seminar nasioal ini menghadirkan nara sumber; Prof. Dr. Gde Made Swardhana, S.H., M.H. (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana), Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III, S.E (M.Tru), M.Si. (Anggota Komite I DPD-RI), Gede Pasek Suardika, S.H., M.H. (Advokat) dan

Dr. I Wayan Putu Sucana Aryana, S.E., S.H., M.H., CMC. (Dekan sekaligus dosen di Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas Ngurah Rai). 

Bertindak selaku moderator, Kaprodi Magister Hukum Pascasarjana UNR Dr. Cokorde Istri Dian Laksmi Dewi, S.H., M.H. Turut mengundang Kapolda Bali, Kajati Bali, Kepala Pengadilan Tinggi. 

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali, Kepala Kantor Wilayah Bea Cukai Bali Nusra, Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Bali.

Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Kepala Kantor Balai Karantina Pertanian I Denpasar, Kepala Imigrasi Denpasar, Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia Bali, Ketua Kongres Advokat Indonesia, Kepala Lembaga Bantuan Hukum Gendo, serta pimpinan perguruan tinggi swasta dan mahasiswa jurusan hukum dari berbagai perguruan tinggi.

Rektor UNR Prof. Dr. Ni Putu Tirka Widanti, MM., M.Hum., berharap seminar nasional ini menjadi ajang diskusi yang produktif dan memberikan wawasan yang mendalam bagi semua peserta dan berimbas ke masyarakat luas. 

Prof. Tirka melanjutkan, reformasi hukum acara pidana di Indonesia merupakan topik yang sangat penting dan mendesak. Sejak disahkannya KUHAP pada tahun 1981, perubahan dalam sistem peradilan pidana menjadi kebutuhan yang tidak bisa dihindari, terutama dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan prinsip-prinsip hak asasi manusia. 

BACA JUGA:  Sidang Zainal Tayeb, Jaksa Hadirkan Ahli Hukum Pidana

"Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) hadir sebagai jawaban atas tantangan tersebut, dengan mengedepankan aspek transparansi, akuntabilitas, serta keadilan yang lebih berkeadilan bagi semua pihak yang terlibat dalam proses hukum," jelas Guru Besar Bidang Kepakaran Administrasi Publik ini. 

Seminar yang berlangsung dialogis ini mencakup berbagai aspek penting dari RKUHAP, mulai dari reformasi hukum acara pidana, prinsip keadilan prosedural, hingga tantangan dan solusi dalam implementasinya. 

"Melalui seminar nasional ini, saya berharap kita semua dapat memperkaya perspektif dan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terkait dampak serta implikasi dari RKUHAP dalam sistem hukum nasional kita. Semoga dari seminar ini, kita dapat merumuskan rekomendasi akademik yang konstruktif bagi pembuat kebijakan, serta mendorong implementasi sistem hukum menjadi lebih inklusif dan berorientasi pada keadilan yang sesungguhnya," ujar Prof. Tirka.

Nara sumber Gede Pasek Suardika, memaparkan materi tentang "KUHAP Baru, Memperkokoh Integrated Criminal Justice System". Pasek Suardika sangat mengapresiasi inisiatif UNR menggelar seminar nasional ini karena setelah menjadi produk undang-undang, isinya mengikat semua warga negara. 

"Kita kan tidak pernah tahu kapan berurusan dengan hukum, entah dalam posisi tersangka, korban, saksi dan sebagainya. Jadi sebelum disahkan kita diskusi dulu sebagai bahan masukan untuk DPR dan pemerintah," jelasnya. 

Mantan Ketua Komisi III DPR RI menegaskan, seminar tersebut sangat penting didalami oleh aparat penegak hukum dan juga masyarakat luas agar mengetahui bagaimana warga negara diperlakukan dalam proses hukum.

"Semoga kampus-kampus lain menggelar kegiatan serupa karena hal ini sangat penting bagi seluruh rakyat, terutama saat terjadi masalah hukum meskipun kita semua menghindari hal itu terjadi," jelasnya. 

Nara Sumber Dr. Sucana Aryana, menyajikan materi bertema, menyakikan materi "Sistem Peradilan Pidana". Secara khusus, Sucana memberikan kritik Rancangan KUHAP dalam pasal 111 ayat (2) RUU KUHAP yang mana saat ini, Jaksa diberi kewenangan untuk mempertanyakan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang dilakukan kepolisian.

BACA JUGA:  Wakapolda Warning Panitia Rekrutmen Polri Tidak Melakukan Praktik Curang

"Padahal seharusnya pasal tersebut mutlak kewenangan kepolisian. Apabila hal ini tetap diterapkan dikhawatirkan akan menimbulkan penanganan perkara hukum yang tidak terpadu," ungkap Sucana. 

Sementara itu pasal 12 ayat 11 RUU KUHAP menjelaskan bahwa apabila masyarakat melapor polisi tetapi dalam waktu 14 hari tidak ditanggapi, bisa menindaklanjuti ke kejaksaan.

Menurutnya hal ini merupakan kemunduran yang pernah diterapkan saat era Hindia Belanda hingga Orde baru.

Sedangkan Arya Wedakarna (AWK), menjelaskan, setidaknya ada enam sasaran penting dalam revisi KUHAP, meliputi: Pertama, pemulihan korban tindak pidana belum menjadi prioritas dalam sistem peradilan pidana. Hukum acara pidana masih berorientasi terhadap pelaku tindak pidana.

Kedua, differensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana menimbulkan persoalan.

"Konsep ini seharusnya mempertegas independensi, namun malah menimbulkan masalah seperti kewenangan penyidikan yang dimana Kejaksaan akan semakin super power, maka kejaksaan dianggap sebagaip engendali dalam penegakan hukum karena hanya kejaksaan yang dapat menentukan suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak super power,“ ujar AWK. 

Ketiga, prapenuntutan tidak berjalan efektif dan menimbulkan ketidakpastian hukum. RKUHAP perlu mengevaluasi proses yang saat ini berjalan dan mengidentifikasi model koordinasi yang lebih baik.

Keempat, pemenuhan hak tersangka/terdakwa belum optimal. KUHAP menjamin hak tersangka/terdakwa, tapi dalam praktiknya tak dapat diakses secara optimal karena ketidaksetaraan posisi negara dengan tersangka/terdakwa.

Kelima, lanjut AWK lemahnya mekanisme akuntabilitas dalam penegakan hukum. Praperadilan memiliki kelemahanf undamental yang berpengaruh terhadap tergerusnya perlindungan hak dan kebebasan individu.

Keenam, pengaturan sistem pembuktian masih lemah. KUHAP memberikan kepercayaan lebih kepada penegak hukum untuk memperoleh bukti, tapi standar dan mekanisme kontrol pengumpulan dan pengujian bukti tidak diatur secara lengkap.

BACA JUGA:  BANGGA, Satu Kompi Prajurit Kodam IX/Udayana Ikut Misi Pasukan Perdamaian PBB ke Konga

Sementara itu, Prof. Swardhana, mengingatkan bahwa masih ada pro dan kontra terkait pembaruan KUHAP. Pihak yang setuju, salah satunya Komisi III DPR RI yang menganggap revisi KUHAP dianggap kebutuhan mendesak agar sistem peradilan pidana lebih modern dan berorientasi pada keadilan. KUHAP yang berlaku sejak 1981 dirasa perlu pembaharuan. 

Kemudian Mahkamah Agung juga berkepentingan untuk memperjelas aturan mengenai penyitaan dan perampasan barang bukti yang bukan milik tersangka atau terdakwa. 

Pun demikian sebagian akademisi dan pakar hukum berpendapat revisi KUHAP dinilai bisa memperkuat prinsip due process of law, dapat meningkatkan transparansi dalam proses hukum, salah satunya melalui peran Hakim Komisaris yang dapat mengawasi proses penyidikan dan penahanan. 

Sedangkan kelompok yang kontra, misalnya organisasi masyarakat sipil dan aktivis HAM. "Mereka khawatir revisi ini dapat memberikan ruang bagi kriminalisasi yang lebih luas terutama terhadap kelompok rentan," ujar Prof. Swardhana. 

Menurutnya, salah satu isu yang menjadi perhatian adalah kemungkinan meningkatknya penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum. 

Beberapa praktisi hukum termasuk pengacara pidana menilai revisi KUHAP ini bisa membuka belah intervensi yang lebih besar dari pihak eksekutif dalam proses peradilan. Kekhawatiran lainnya adalah beban administratif yang lebih besar akibat aturan baru yang berpotensi memperlambat proses hukum. 

Prosedur hukum diharapkan tetap sederhana dan tidak berbelit-belit agar tidak menghambat kegiatan ekonomi. Lebih lanjut kata dia, revisi KUHAP seharusnya tidak hanya berorientasi pada perubahan teknis hukum acara. Tapi harus mempertimbangkan prinsip-prinsip demokrasi transparansi dan akuntabilitas. 

"Pembaruan KUHAP harus menjamin bahwa hukum tidak hanya ditegakkan secara ketat tapi harus dijalankan secara adil dan manusiawi, oleh karena itu pembahasan revisi ini harus dilakukan secara cermat, mendengarkan berbagai aspirasi serta berbasis pada kajian ilmiah yang mendalam agar hasilnya dapat memberi manfaat bagi seluruh elemen masyarakat," pungkasnya.

Scroll to Top