Sebuah bayangan kelam menyelimuti jagat pendidikan Indonesia. Ketika moral bangsa dipertaruhkan,
kabar pilu datang dari kancah global: Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara dengan
tingkat ketidakjujuran akademik tertinggi, hanya di bawah Kazakhstan. Fakta ini bukan sekadar
statistik, melainkan sebuah cermin buram yang merefleksikan bagaimana nalar bangsa ini telah
tergadai, diperjualbelikan demi ambisi sesaat dan status semu.
Pengamat politik kawakan, Rocky Gerung, tak segan menyebut fenomena ini sebagai "tamparan
moral." Sebuah diagnosis tajam yang menguak borok di inti sistem pendidikan kita. Ketidakjujuran yang
dimaksud bukan hanya sekadar contekan di bangku sekolah; ini adalah spektrum luas dari praktik
tercela: mulai dari riset fiktif, pemalsuan ijazah, suap untuk kelulusan skripsi, hingga lobi kotor agar
artikel bisa tembus jurnal internasional. Ironisnya, di tengah pusaran modernisasi, kita justru
menyaksikan kemunduran etika fundamental yang seharusnya menjadi tiang penyangga kemajuan
bangsa.
Krisis Otentisitas dan Lahirnya "Festival Kegalauan"
Rocky Gerung dengan tajam membandingkan kondisi kini dengan era para pendiri bangsa yang
digerakkan oleh "pertengkaran pikiran" otentik. Ironisnya, tradisi berpikir kritis itu seolah telah pupus,
tergantikan oleh budaya instan dan seremonial yang melahirkan "festival kegalauan" massal.
Kegalauan ini muncul dari ketidakmampuan memegang teguh kejujuran. Contoh nyatanya adalah
kasus dugaan keaslian ijazah eks Presiden Jokowi atau skandal gelar doktor Bahlil dari Universitas
Indonesia (UI), yang menunjukkan betapa fondasi integritas telah digoyahkan dari pucuk piramida
kekuasaan. UI disebut Rocky dipermalukan, sementara UGM, yang digadang sebagai benteng
intelektual, dituding "runtuh" karena dugaan pemalsuan ijazah. Ini adalah pukulan telak bagi kredibilitas
institusi yang seharusnya menjadi mercusuar ilmu pengetahuan, sekaligus memicu kegalauan publik
akan kualitas dan validitas pendidikan di Indonesia.
Fenomena "festival of stupidity" yang diutarakan Rocky Gerung ini lebih jauh menggambarkan
bagaimana ambisi feodalisme merasuki dunia akademik, memicu kegalauan akan substansi. Para
pejabat berlomba mengumpulkan gelar akademik, bahkan hingga profesor atau kehormatan, tanpa
rekam jejak riset atau kontribusi intelektual yang berarti. Gelar bukan lagi simbol penguasaan ilmu,
melainkan alat legitimasi status sosial atau politik. Nalar yang seharusnya menjadi panduan, kini
tergadai demi prestise kosong, meninggalkan kekosongan dan kegalauan akan makna sebenarnya dari
pendidikan.
Nalar Tergadai: Akar Masalah dan Ilusi Kehormatan
Persoalan ini semakin kompleks mengingat fakta bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang
dimiliki oleh pemuda, namun di tengah realitas ketidakjujuran ini, idealisme itu terancam digadaikan.
Bagaimana mungkin idealisme bertahan saat fondasi keilmuan dibangun di atas kebohongan? Data
UNESCO semakin memperparah kegalauan ini: Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya
0,001%, atau dari 1.000 orang, cuma 1 yang rajin membaca. Temuan ini menunjukkan betapa
rendahnya apresiasi terhadap sumber pengetahuan sejati, yang berujung pada pencarian jalan pintas.
Ironisnya, orang yang "pintar" sekalipun seringkali terjajah oleh nafsunya sendiri. Mereka bukan lagi
mencari karakter building, melainkan sibuk mengejar reputasi dan validasi eksternal. Seorang filsuf
pernah mengatakan, pendidikan sejati tidak hanya memberi kepintaran, tetapi juga kedewasaan batin.
Banyak orang yang tahu apa yang baik dan buruk, namun tidak semua mampu mengendalikan diri saat
hasrat untuk berbuat curang muncul. Di sinilah peran akal diuji, bukan sekadar untuk berpikir logis,
tetapi untuk menjadi penyeimbang bagi dorongan emosi dan keinginan yang liar. Orang yang terdidik
adalah mereka yang tahu kapan harus mengikuti hasrat, dan kapan harus mengendalikannya.
Kegagalan dalam mengendalikan diri ini, pada akhirnya, menggadaikan nalar itu sendiri.
Ancaman Nyata terhadap Kemajuan Bangsa
Ketika nalar tergadai, masa depan bangsa menjadi taruhan. Riset yang tidak jujur menghasilkan data
yang salah, kebijakan publik yang keliru, dan inovasi yang semu. Bagaimana mungkin kita bisa
bersaing di kancah global jika integritas dasar ilmiah kita dipertanyakan? Bagaimana mungkin kita bisa
menghasilkan solusi orisinal untuk tantangan kompleks bangsa jika sumber daya intelektual kita
dibangun di atas kebohongan?
Peringkat ketidakjujuran ini adalah panggilan darurat. Bukan sekadar teguran internasional, melainkan
alarm merah bahwa kita sedang menggerogoti potensi diri sendiri. Nalar yang tergadai akan
melahirkan generasi yang tidak percaya pada proses, yang melihat pintas sebagai jalan keluar, dan
yang pada akhirnya akan meruntuhkan bangunan peradaban yang seharusnya kita bangun.
Nalar Tergadai: Sebuah Darma Yuddha dalam Diri
Dari perspektif spiritual Hindu, kabar mengenai peringkat ketidakjujuran akademik di Indonesia ini
melampaui sekadar krisis moral. Fenomena ini merupakan manifestasi dari nalar tergadai yang
menyentuh inti spiritual. Ini adalah Darma Yuddha, sebuah perang kebenaran, yang tidak terjadi di
medan laga, melainkan di dalam jiwa setiap insan.
Dalam ajaran Hindu, nalar atau budhi adalah anugerah Hyang Widhi yang luar biasa. Ia adalah
instrumen suci yang diberikan kepada manusia untuk membedakan antara dharma (kebenaran,
kebajikan) dan adharma (ketidakbenaran, kebatilan). Nalar inilah yang seharusnya memandu kita
menuju satya (kebenaran mutlak). Namun, ketika nalar ini tergadai oleh ambisi duniawi, oleh nafsu
mendapatkan gelar tanpa substansi, atau oleh keinginan untuk meraih keuntungan instan melalui caracara
tidak jujur, maka sejatinya kita telah mengkhianati anugerah Hyang Widhi tersebut.
Praktik-praktik tersebut adalah bentuk avidya (ketidaktahuan spiritual) yang dikaburkan oleh maya
(ilusi). Kita terjebak dalam fatamorgana keberhasilan palsu, lupa bahwa setiap karma (aksi) yang kita
lakukan akan membuahkan phala (hasil) yang sesuai. Ketidakjujuran adalah benih karma buruk yang
tidak hanya merusak individu, tetapi juga mencemari lingkungan kolektif, seperti yang kini tercermin
dalam citra bangsa.
Apa yang disebut Rocky Gerung sebagai "festival of stupidity," dari kacamata Hindu, adalah
perwujudan dari kesombongan (ahankara) yang berujung pada moha (kebingungan batin). Gelar
akademik, yang seharusnya menjadi penanda pengetahuan dan kearifan, justru berubah menjadi
topeng ilusi yang menyembunyikan kekosongan spiritual. Ketika para pemimpin dan kaum terpelajar
mengabaikan etika demi gelar, mereka tidak hanya menggadaikan nalar pribadi, tetapi juga merusak
dharma negara dan berpotensi menjerumuskan masyarakat ke dalam kegelapan adharma.
Peringkat yang memalukan ini adalah sebuah panggilan mendesak untuk atma vichara (introspeksi
diri). Kita harus bertanya pada diri sendiri, di mana letak kejujuran (satyam) dan integritas (akhandatva)
dalam diri kita? Bagaimana kita bisa mengklaim sebagai bangsa yang religius jika nilai-nilai luhur dalam
ajaran agama justru terabaikan dalam praktik kehidupan sehari-hari?
Menebus Nalar yang Tergadai: Jalan Dharma
Menebus nalar yang tergadai adalah perjalanan spiritual yang berat, sebuah tapasya (disiplin diri)
kolektif. Barangkali beberapa hal ini bisa dilakukan. Pertama, mengutamakan kebenaran dalam setiap
tindakan, mulai dari ruang kelas hingga laboratorium riset. Menjadikan dharma sebagai kompas moral
dalam setiap aspek kehidupan. Kedua, melatih nalar (budhi) untuk senantiasa membedakan antara
yang benar dan yang salah (viveka), menolak godaan instan dan jalan pintas yang merugikan. Ketiga,
menjalankan Karma Yoga dengan taat. Melakukan setiap tugas dan tanggung jawab dengan tulus dan
jujur, tanpa terikat pada hasil semata, tetapi fokus pada kualitas dan integritas proses. Keempat,
kurikulum pendidikan harus diperkaya dengan penanaman nilai-nilai spiritual dan etika luhur secara
mendalam, bukan sekadar hafalan.
Sebagai penutup, kita harus melihat dengan lebih jelas bahwa peringkat kedua dalam daftar
ketidakjujuran akademik merupakan tamparan keras yang menelanjangi kemunafikan kita sebagai
bangsa. Lebih dari sekadar statistik, hal ini adalah ujian spiritual yang paling fundamental, menuntut
kita untuk berani berkaca pada cermin kejujuran, betapa nalar bangsa ini telah lama tergadai demi
ambisi picisan dan fatamorgana pengakuan. Kesempatan untuk bangkit memang ada, namun ia tidak
datang gratis. Kita dituntut untuk berani melakukan pembersihan radikal, mencabut akar-akar
kecurangan yang sudah mengakar dalam sistem, dan mengembalikan integritas sebagai mahkota
kehormatan.
Kini, pertanyaan esensialnya bukan lagi "akankah kita berani?", melainkan "mau sampai kapan nalar
kita dibiarkan menjadi komoditas murahan di pasar gelap moral?" Waktunya telah tiba untuk memilih:
bangkit dan bersinar dengan kejujuran, atau terpuruk dalam lumpur kebohongan yang menggerogoti
peradaban. Sebab, pada akhirnya, yang terpenting bukanlah apa yang orang pikirkan tentang kita,
melainkan siapa diri kita sebenarnya. Sebagaimana John Wooden mengingatkan, "Lebih pedulilah
pada karaktermu ketimbang reputasimu, karena karaktermu adalah siapa dirimu sebenarnya,
sedangkan reputasimu hanyalah apa yang orang pikirkan tentangmu."
Penulis : Dr..A.A.Ngr.Eddy Supriyadianta Gorda