Media Tidak Boleh Jadi “Pemain” Dalam Pemilu

DENPASAR-fajarbali.com | Sebagai salah satu pilar demokrasi, media memiliki peran yang sangat sentral. Apalagi dalam pesta demokrasi, media diharap mampu netral dan menyajikan fakta dalam perhelatan. Tak hanya sebelum ataupun saat Pemilu, akan tetapi sesudah Pemilu.

Hal ini disampaikan oleh Dewan Pers saat menggelar Workshop Peliputan Pasca Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Tahun 2019 di Hotel Prime Plaz Sanur, Denpasar, Kamis (09/05/2019). Hadir dalam Workshop Anggota Dewan Pers Bidang Hukum Jimmy Silalahi, Ketua KPU Provinsi Bali I Dewa Agung Gede Lidartawan, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bali, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bali, dan para wartawan perwakilan dari media cetak, elektronik, dan online di Bali. 

"Kita tahu pemilu sudah selesai, tapi proses masih berlangsung.Pers bisa memperkuat persatuan bangsa," kata Ketua Dewan Pers, Yosep Stanley Adi Prasetyo.

Melalui workshop tersebut, pihaknya berharap seluruh media mampu mengawal secara baik proses Pemilu 2019 dengan kode etik yang ada. Dirinya mengakui bahwa Pemilu 2019 di Indonesia ini merupakan pesta demokrasi terbesar dan paling rumit di dunia. "Indonesia negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, tapi juga negara dengan sistem pemilu paling rumit di dunia dari sisi wilayah, demografi, dan sistem penyelenggaraan," tandasnya. 

Ditambah lagi dengan adanya saling klaim kemenangan antar Pasangan Calon. Padahal, jika dilihat lebih jauh, Pemilu khususnya Pilpres itu ibarat Tinju. Jadi ada juri yang menghitung, dan kemenangannya akan diumumkan oleh wasit. Dengan demikian, media tidak boleh menjadi "pemain" atau terlibat secara langsung dalam Pemilu. 

"Dalam Pemilu 2019, pers Indonesia harus bisa menjadi wasit dan inspektur pembimbing yang adil, menjadi pengawas yang teliti dan seksama, dan tidak justru sebaliknya, menjadi "pemain" yang menyalahgunakan ketergantungan masyarakat terhadap media," akunya. 

Terakhir, prian yang akrab disapa Stenly ini menambahkan, jika melakukan liputan dan mencari data Pemilu, harus dari episentrumnya, seperti para pelaku politik dan penyelenggara pemilu. Media juga harus meelakukan berbagai check and re-check terkait dengan fakta-fakta yang ada tersebut untuk mencegah adanya berita hoax.

Sementara itu, Ketua KPU Provinsi Bali I Dewa Agung Gede Lidartawan yang juga hadir mengatakan, media memang memiliki peran penting dalam demokrasi terlebih dalam Pemilu seperti ini. Pasca Pemilu, media berlomba-lomba untuk memberitakan hasil perolehan suara. Bahkan, ada isu yang sedikit kurang mengenakkan. Misalnya saja, isu penggelembungan suara. 

"Saya mencoba memfasilitasi temen-temen (media) dengan membuat DC sendiri dengan mengumpulkan DA-DA nya kabupaten/kota.Karena DB di kabupaten/kota kan belum. Namanya staff dikantor kan (bisa) salah excelnya, mestinya kecamatan sudah harus masuk tapi shortnya itu. Saya sudah jelaskan, tapi gak apa-apa, saya jadi punya momen," akunya. 

Bukan hanya itu saja, Lidartawan menilai media di Bali saat ini dinilai kurang kreatif dalam mencari data-data Pemilu. Sehingga, KPU selaku penyelenggara selalu didesak untuk segera mengeluarkan data. Padahal, penghitungan masih dalam proses. "Bagaimana ide saya yang saya sampai itu, bahwa di Bali temen-temen itu kurang kreatif untuk mencari data di lapangan sehingga membantu kita," jelasnya.

Menurutnya, media selama ini lebih berfokus pada pemberitaan hasil angka, tidak pada proses yang terjadi saat penghitungan mulai tingkat bawah. Sebetulnya, proses inilah yang bisa menjadi edukasi bagi masyarakat. "Begitu rekap dikecamatan, mestinya temen-temen, mestinya temen-temen mampu menyiapkan yang unik. Misalnya ada pergeseran dari C yang salah, tapi DA-nya sudah benar. Ini tidak pernah edukasi, ini tidak pernah diungkap riil oleh temen-temen. Kebanyakan temen-temen itu, 'tolong dong data di PPK, berapa data yang sudah masuk'," pungkasnya. (her)

Scroll to Top