Dr. AAN Eddy Supriyadinata Gorda
Bayangkan Anda sedang menyeberangi sungai dengan jembatan gantung. Di tengah perjalanan, seseorang datang dan mulai menggoyangkan jembatan tersebut tanpa pemberitahuan. Panik, bingung, dan kehilangan keseimbangan, itulah yang dirasakan oleh banyak pendidik, siswa, dan orang tua di Indonesia ketika berhadapan dengan kebijakan pendidikan yang terus berubah.
Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, pendidikan seharusnya menjadi mercusuar yang stabil, namun sayangnya, kebijakan pendidikan di negeri ini sering kali tampak seperti eksperimen tanpa akhir yang membuat kita terus bertanya-tanya: “Sebenarnya arah pendidikan kita ini mau ke mana?”
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga pendidikan tinggi, semuanya seperti berada dalam sebuah labirin kebijakan yang membingungkan. Setiap kali kita merasa menemukan jalan yang benar, dinding-dinding kebijakan berubah lagi, memaksa kita untuk memulai dari awal. Pemerintah seolah-olah terjebak dalam lingkaran setan perubahan kebijakan, mencerminkan keraguan dan ketidakyakinan yang mendalam tentang bagaimana sebenarnya mereka ingin membentuk masa depan pendidikan bangsa.
Mari kita telusuri lebih jauh kekacauan ini, dari PAUD hingga pendidikan tinggi, untuk melihat bagaimana perubahan kebijakan yang tak kunjung usai ini berdampak pada semua jenjang pendidikan.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kebijakan pada jenjang PAUD sering kali mengalami perubahan signifikan, mulai dari kurikulum hingga standar operasional. Program-program baru diperkenalkan tanpa ada evaluasi yang mendalam dari program sebelumnya. Misalnya saja program transisi PAUD-SD yang diusung dalam kebijakan Merdeka Belajar.
Program ini menawarkan pendekatan holistik yang mencakup enam capaian fondasi, termasuk kematangan kognitif, keterampilan motorik, pemahaman sosial-emosional, dan sikap positif terhadap pembelajaran.
Tujuan utamanya adalah memberikan landasan yang kuat bagi perkembangan literasi, numerasi, dan kemampuan sains siswa. Pendekatan ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas siswa dalam memahami konsep-konsep abstrak, mendorong motivasi intrinsik, dan mengembangkan keterampilan motorik yang mendukung kemampuan menulis dan eksperimen sains sederhana.
Dalam tataran konsep, kebijkaan ini tentu “tampak” sangat ideal. Meski demikian, durasi program yang hanya berlangsung selama 10 hari memunculkan pertanyaan serius tentang efektivitasnya dalam menciptakan perubahan jangka panjang pada siswa. Sebuah studi oleh Duncan et al. (2007) menemukan bahwa intervensi jangka pendek cenderung memiliki dampak yang terbatas dan sering kali tidak berkelanjutan tanpa adanya dukungan dan tindak lanjut yang konsisten.
Selain itu, penelitian oleh Heckman dan Masterov (2007) menekankan bahwa investasi dalam pendidikan usia dini harus dilakukan secara berkelanjutan untuk mencapai hasil yang optimal, karena perkembangan kognitif dan non-kognitif anak-anak memerlukan waktu dan konsistensi.
Apakah durasi program 10 hari cukup untuk mencapai enam capaian fondasi yang diharapkan? Bagaimana rencana tindak lanjut yang akan dilakukan untuk memastikan keberlanjutan dan konsistensi hasil program ini? Apakah ada mekanisme evaluasi yang efektif untuk menilai dampak jangka panjang program ini terhadap perkembangan siswa? Tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, sulit untuk memastikan bahwa program transisi PAUD-SD dapat benar-benar memenuhi tujuannya secara efektif.
Pendidikan Dasar
Pada jenjang pendidikan dasar, terutama Sekolah Dasar (SD), kita dapat melihat fluktuasi kebijakan yang mencolok sebagai bagian dari implementasi Kampus Merdeka. Kebijakan ini, yang seharusnya memberikan fleksibilitas dan kebebasan dalam proses belajar mengajar, malah sering kali menimbulkan kebingungan di kalangan tenaga pendidik, siswa, dan orang tua. Perubahan kurikulum yang sering terjadi, seperti dari
Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka Belajar, menunjukkan kurangnya konsistensi dalam penerapan kebijakan pendidikan di tingkat dasar.
Guru di SD sering kali harus beradaptasi dengan kebijakan baru dalam waktu singkat tanpa pelatihan yang memadai. Fakta ini mengakibatkan ketidakpastian dalam metode pengajaran dan penilaian, yang berdampak langsung pada kualitas pendidikan yang diterima oleh siswa.
Tanpa pelatihan yang memadai, guru mungkin tidak sepenuhnya memahami atau mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip Kurikulum Merdeka, yang menekankan pada pembelajaran berbasis proyek dan fleksibilitas dalam pemilihan mata pelajaran.
Pendidikan Sekolah Menengah
Penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA sebagai bagian dari implementasi Kurikulum Merdeka menandai perubahan signifikan dalam sistem pendidikan Indonesia.
Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan fleksibilitas lebih besar bagi siswa dalam memilih mata pelajaran sesuai dengan minat dan bakat mereka, yang diharapkan dapat meningkatkan motivasi belajar dan keterlibatan siswa. Namun, kebijakan ini menimbulkan tantangan dalam penyediaan dan penyesuaian kurikulum serta pelatihan guru, karena guru harus mampu mengajar mata pelajaran yang mungkin bukan spesialisasi mereka, dan sekolah perlu menyesuaikan fasilitas dan sumber daya untuk mendukung beragam pilihan mata pelajaran.
Implementasi kebijakan ini juga dapat menghadapi tantangan logistik dan operasional. Penyusunan jadwal pelajaran yang fleksibel bisa menjadi rumit karena setiap siswa mungkin memiliki kombinasi mata pelajaran yang berbeda. Sekolah harus memastikan kualitas pengajaran yang sama untuk semua mata pelajaran, meskipun ada variasi dalam ketersediaan dan kompetensi guru.
Selain itu, penting bagi sekolah untuk memberikan informasi dan bimbingan yang memadai bagi siswa agar mereka dapat membuat pilihan mata pelajaran yang tepat sesuai dengan minat dan rencana masa depan mereka, serta memastikan kesiapan siswa untuk memasuki perguruan tinggi dengan pemahaman mendalam dalam bidang tertentu.
Untuk memastikan keberhasilan kebijakan ini, diperlukan keterlibatan aktif dari berbagai pihak, termasuk guru, orang tua, dan komunitas pendidikan. Guru harus menerima pelatihan yang memadai untuk mengadaptasi metode pengajaran mereka, sementara orang tua perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terkait pilihan mata pelajaran anak-anak mereka.
Pemerintah juga harus menyediakan sumber daya dan dukungan yang memadai untuk membantu sekolah dalam mengimplementasikan perubahan ini, sehingga perubahan ini membawa dampak positif bagi perkembangan pendidikan di Indonesia.
Pendidikan Tinggi
Di tingkat pendidikan tinggi, perubahan kebijakan terlihat pada sistem akreditasi, penerimaan mahasiswa baru, dan program studi. Penerapan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) adalah salah satu kebijakan yang mencolok.
Program ini memberikan fleksibilitas bagi mahasiswa untuk belajar di luar program studi mereka. Namun, banyak perguruan tinggi yang belum siap dengan infrastruktur dan sistem pendukung untuk mendukung kebijakan ini, sehingga menimbulkan kebingungan di kalangan mahasiswa dan dosen.
Di sisi lain, banyak perguruan tinggi, terutama di daerah terpencil, belum memiliki fasilitas yang memadai atau sistem administrasi yang terintegrasi untuk mendukung implementasi kebijakan ini. Akibatnya, terdapat kebingungan di kalangan mahasiswa dan dosen mengenai pelaksanaan dan pemanfaatan kebijakan MBKM, yang menghambat efektivitas dan manfaat program ini.
Faktanya beberapa contoh di atas, hanya menggambarkan sebagian kecil “keraguan” yang terjadi dalam pendidikan kita di Indonesia. Ketidakpastian kebijakan dalam pendidikan dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan, terutama bagi tenaga pendidik, siswa, dan proses peningkatan mutu pendidikan. Guru dan dosen sering kali harus beradaptasi dengan kebijakan baru dalam waktu singkat tanpa pelatihan yang memadai, yang menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian dalam pelaksanaan pengajaran.Siswa dan mahasiswa juga merasakan dampak dari perubahan kebijakan yang tidak menentu.
Ketidakpastian mengenai struktur kurikulum dan peluang akademik dapat menyebabkan kecemasan tentang masa depan pendidikan mereka, yang berdampak negatif pada motivasi dan kinerja akademik.
Selain itu, ketidakpastian kebijakan mengakibatkan kurangnya konsistensi dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Fokus yang sering berubah pada prioritas pengembangan pendidikan dapat mengurangi efektivitas upaya peningkatan kualitas. Penelitian menunjukkan bahwa perubahan kebijakan drastis sering kali menurunkan kualitas pendidikan dalam jangka pendek, karena sumber daya dialihkan untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan baru.
Kebijakan pendidikan yang konsisten dan terarah sangat penting untuk menciptakan sistem pendidikan yang kuat dan berkelanjutan. Pemerintah perlu melakukan evaluasi mendalam sebelum menerapkan kebijakan baru dan memastikan bahwa semua pemangku kepentingan mendapatkan informasi dan pelatihan yang memadai. Dengan demikian, pendidikan di Indonesia dapat berkembang dengan lebih baik dan memberikan dampak positif bagi seluruh generasi penerus bangsa.
Namun, mari kita berhenti sejenak dan mempertanyakan apakah kita sebenarnya sedang mengikuti jejak yang benar atau hanya berjalan di tempat sambil berputar-putar. Dengan kebijakan yang sering berubah seperti ini, mungkin kita hanya sedang melakukan “dance macabre” pendidikan: berputar-putar dengan penuh semangat, tetapi akhirnya kembali ke tempat yang sama. Jika kita terus menerus berusaha mencari ‘panggung’ baru tanpa menyelesaikan koreografi dasar, hasilnya akan sama—kacau balau.
Mungkin, di tengah hiruk-pikuk perubahan kebijakan ini, saatnya bagi kita untuk menepuk pundak sendiri dan bertanya: Apakah kita sudah siap untuk tidak hanya bergerak, tetapi juga maju dengan cara yang berkelanjutan? Atau, akankah kita terus terjebak dalam penampilan pendidikan yang tidak pernah selesai?
Hanya waktu yang akan menjawab, tetapi satu hal yang pasti—kita memerlukan lebih dari sekadar ritme perubahan untuk menciptakan simfoni pendidikan yang harmonis dan bermakna.*