Prembon inovatif "Ki Mantri Tutuan" persembahan Komunitas Seni UPMI Bali tampil di Panggung PKB ke-XLVI tahun 2024 di Taman Budaya Bali.
DENPASAR-sandybrown-gazelle-543782.hostingersite.com | Komunitas Seni Universitas PGRI Mahadewa (UPMI) turut memeriahkan Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI/2024, di Kalangan Ayodya Taman Budaya Bali (Art Centre), Denpasar, di malam pengujung Juni 2024.
Tampil selama lima jam, prembon inovatif dengan lakon “Ki Mantri Tutuan” itu membuat emosi pragina dan penonton bercampur-aduk. Ada canda-tawa, linangan air mata, kaget dan sesekali bulu kuduk para pragina merinding.
Peristiwa itu diakui oleh pemeran Dalem Mangori, Prof. Dr. Drs. I Made Suarta, SH., M.Hum. Ketidakstabilan emosi yang dia rasakan secara pribadi bisa dimaknai dalam dua hal. Pertama, Suarta sendiri merupakan warih dari Ki Mantri Tutuan.
Kedua, alur cerita yang dibawakan memang sangat menarik. Semua pemain tampil dengan penuh totalitas. Mereka tergolong seniman berpengalaman sehingga tidak memerlukan latihan terlalu intens. Hanya sekaa gong yang notabene mahasiswa smeseter awal yang melahap porsi latihan lebih.
“Kalau saya pribadi memang berdarah Ki Mantri Tutuan, semeton Tutuan. Wajar jika saya terharu hingga air mata membasahi pipi saat memainkan adegan tertentu,” jelas Suarta di Denpasar, belum lama ini.
“Tapi pemain lain (Gus Edi dan Kartono Yasa-red) serta ratusan penonton yang mungkin bukan warga Tutuan, mereka terharu juga. Matanya berkaca-kaca juga. Saya yakin ini yang disebut taksu,” imbuhnya.
Suarta juga meyakini taksu penampilan timnya tak lepas dari aura Taman Budaya Bali, serta buah dari ngarutang piuning di Pura Tutuan, Bukit Buluh, Gunaksa, Dawan, Klungkung, sebelum pentas. Persiapan sekala niskala dirasa perlu dilakukan.
"Saya yakin alm. Prof. Mantra membangun Taman Budaya lewat kajian panjang. Beliau meneliti dulu bagaimana aura tanah di lahan Taman Budaya sebelumnya," ungkapnya.
Cerita yang dipetik dari Babad Ki Mantri Tutuan itu, menurutnya, mengisahkan bakti seorang anak terhadap ibunya. Meski sang ibu berbuat kesalahan besar. Dikisahkan seorang pemuda bernama Satriawangsa ngotot ingin menemui ibu kandungnya yang sedang menjalani masa pengasingan di hutan.
Padahal ayahandanya melarang keras permintaan putranya tersebut. Karena terus merengek, hatinya pun luluh. Satriawangsa diizinkan menemui ibunya, dengan syarat dilarang menyembah. Sebuah bhisama yang tegas.
Saat bertemu ibunya di sebuah pondok di hutan, Satriawangsa melanggar bhisama ayahnya. Ia melakukan sembah sujud sebagai bakti anak kepada ibunya. Diketahui bhisama ayahnya dikarenakan sang ibu telah membunuh adik Satriawangsa untuk dijadikan sop.
Peristiwa itu terjadi di zaman Kali Sengara atau bumi terbalik. Peristiwa itulah yang menyebabkan ayahnya membuat bhisama melarang Satriawangsa bertemu ibunya.
Setelah melakukan sujud, seketika pondok sang ibu terbelah. Lalu diceburkanlah raganya di dalam sumur. Secara ajaib, tumbuh pohon ‘timbul’ dari dasar sumur dan di rantingnya hinggap ‘paksi tutu’. Cerita ini sekaligus mengungkap alasan kenapa ‘semeton’ Tutuan dilarang memakan ‘jukut timbul’ dan daging ‘paksi tutu’.
Berikut Sinopsis Ki Mantri Tutuan
Kisah ini dimulai dari cerita Dalem Sagening yang dinyatakan "mijil" dari Gunung Agung. Beliau memiliki seorang putra bernama Dalem Mangori. Setelah Dalem Saganing meninggal, sang putra pergi ke Jawa. Di Jawa beliau menyunting seorang putri bernama Mpu Hati. Mpu Hati adalah cucu Mpu Galuh, penguasa Kerajaan Keling.
Tak lama setelah pernikahan Dalem Mangori dengan Mpu Hati, Dalem Mangori "diabhiseka" sebagai Ratu Keling. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Ratu Mangori (nama yang sama dengan nama ayahnya).
Dikisahkan di Kerajaan Airlangga, kerajaan poranda diserang endemi grubug. Salah satu dari putri kecil Airlangga meninggalkan kerajaan menuju Hutan Keling. Anak ini putri dari seorang wanita utama.
Tak lama kemudian, Dalem Mangori yang memiliki kesukaan berburu, pergi ke tengah Hutan Keling hendak berburu bersama prajurit dan bayangkaranya. Sayang, perburuan kala itu tidak membuahkan hasil.
Dalem tak mendapatkan seekor binatang buruan sekalipun. Dalem Mangori dan prajurit "pangalasan-nya" terlunta-lunta di belantara Hutan Keling. Kelelahan dan kehausan.
Kini sampailah sang raja di rimbunan pohon pisang "bawah". Pisang-pisang ini ditebang sang raja. Tiba-tiba seorang gadis kecil muncul dari rimbunan pohon pisang itu. Gadis kecil ini sungguh ketakutan.
Namun kecantikannya mempesona raja; kulitnya kuning, rambutnya sedikit keriting. Kasihan melihat gadis kecil ini, ia kemudian diajak ke Kerajaan Keling, dirawat sang raja, diberi nama Ni Brit Kuning.
Di Keraton Keling Ni Brit Kuning kian tumbuh dewasa. Kecantikannya memikat penghuni kraton. Ini membuat Dalem Mangori jatuh cinta pada Ni Brit Kuning. Ni Brit Kuning lalu dijamahnya. Tak berselang Ni Brit Kuning pun hamil. Setelah sembilan bulan melahirkan seorang putra diberi nama I Mantri. I Mantri kemudian "diperas" Mpu Hati (ibu tirinya) diberi nama I Satriawangsa.
Tak lama kemudian Ni Brit Kuning melahirkan anak kedua. Saat itu baru berusia tujuh bulan. Sementara Dalem Mangori masih suka keluar masuk menuju hutan, menghibur diri dengan berburu.
Kini munculah masa Kali, di tengah hutan terjadi perang antara dua Rsi yang masih dalam hubungan keluarga (kula gotra), antara Rsi Suntiwana dengan Rsi Saba. Kedua-duanya meninggal saling tusuk dengan dua tombak sakti bernama I Sadug dan I Sadeg. Konon tombak ini adalah siyung (taring) Sanghyang Kala.
Kemudian, dalam perjalanan pulang dari berburu Dalem Mangori menemukan dua Rsi ini tergeletak di tanah. Dua-duanya masih bersimbah darah. Dua-duanya telah meninggal. Dua tombak itu kemudian diambil Dalem Mangori untuk dibawa, disimpan di Keraton Keling.
Sesampainya di Kraton, dua tombak ini disimpan di merajan. Tanpa istirahat Dalem Mangori langsung menemui Ni Brit Kuning, menanyakan putra keduanya.
Sayang entah karena apa, bayi yang baru berusia tujuh bulan ini dibunuh ibunya sendiri. Saat ditanya Dalem, Ni Brit Kuning langsung menyatakan, bahwa putra Dalem telah ditempatkan di atas dulang, dagingnya telah dicincang sebagai hidangan.
Dalem terperangah mendengar pengakuan di Brit Kuning. Betapa kasihan Dalem Mangori pada putranya. Tanpa dosa dibunuh ibu sendiri. Dalem pun menjadi teramat sedih, mendoakan putranya kelak menjadi dewa utama.
Kemarahan Dalem Mangori pada Ni Brit Kuning tak bisa dibendung. Ia lalu dianiaya, diusir dibuang ke tengah Hutan Keling. Di tengah hutan Ni Brit Kuning dibuatkan tangsi, sejenis pondok. Di barat pondok terdapat sumur kering. Disitulah bertahun-tahun Ni Brit Kuning tinggal, sembari menanam ubi, talas, pulada, dan lain sebagainya.
Kini diceritakan putra Ni Brit Kuning yang bernama I Satriawangsa tumbuh dewasa. Suatu hari Satriwangsa menghadap Dalem Mangori, hendak menanyakan sang ibu. Sebab sudah begitu lama dia tidak melihat ibunya sendiri.
Dengan sikap takzim, Satriawangsa "matur" pada paduka Dalem Mangori: "Duli Paduka Dalem, ananda hendak bertanya pada paduka, di mana gerangan ibu ananda Ni Berit Kuning?"
"Ibumu tinggal di tengah Hutan Keling," kata Raja.
I Satriawangsa bertanya kembali pada ayahanda Dalem, "Ampun paduka , ananda mohon pada paduka, izinkan hamba bertemu ibu di tengah hutan”.
Mendengar kata-kata sang anak, Dalem Mangori kemudian bersabda, "Wahai Satriawangsa, Bapa ijinkan dikau, tapi ada permintaan Bapa, jangan engkau menyembah ibumu, sebab tidak boleh engkau melakukan itu. Bila engkau menyembah, apus sirna keutamaanmu".
"Duli paduka Dalem, saya junjung titah dan kehendak Dalem," Satriawangsa lalu mohon diri pada Dalem.
I Satriawangsa bersiap menuju Hutan Keling, abdi dan pangalasan diberangkatkan, membawa serta anjing dan jaring. Di tengah hutan, anjing-anjing buruan itu mulai menyakal-nyakal. Tak seberapa lama Ni Berit Kuning ditemukan.
Saking takutnya, wanita ini lalu berlari masuk ke dalam pondok, anjing-anjing itu memburunya. Begitu pula para abdi, ikut pengejar, akhirnya terkurunglah Ni Berit Kuning di pondoknya.
Dari luar pondok I Satriawangsa menangis tersedu, sembari berucap, "Ibu, tolonglah saya, mohon tataplah anakmu ini. Saya Satriawangsa putra ibu, datang untuk memohon restu”.
Mendengar rintihan I Satriawangsa, Ni Berit Kuning keluar dari dalam pondok, diusap-usapnya muka I Satriawangsa. I Satriawangsa menyatakan maksudnya, "Ibu saya hendak melakukan sembah pada ibu, mohon izinkanlah!"
Ni Berit Kuning lalu menjawab, "Duhai putraku, jangan dikau menyembah ibu, ini tidak boleh kau lakukan. Bila kau lakukan itu kelak kau akan terkena sosot. Kau harus indahkan pesan Dalem, jangan melanggarnya”.
I Satriawangsa menolak nasihat ibunya. Ia lalu menyembah sang ibu dari balik pondok. Ni Berit Kuning berkelit ke sebelah pondok, tiba-tiba keajaiban terjadi, pondok itu terbelah menjadi dua. Itulah sebabnya ada 'bale pegat'.
Sementara Ni Brit Kuning jatuh ke dalam sumur. Atmanya terbang berupa burung Tuu-Tuu. Raganya tumbuh menjadi pohon timbul. Saat kejadian itu, I Satriawangsa kemudian menghaturkan bhisama, bahwa dia dan keturunannya tidak akan memakan buah timbul. Bila itu terjadi, ia dan keturunannya akan ditimpa penyakit persendian (buku-buku).
Setelah kejadian Bale Pegat itu, dan jatuhnya Ni Brit Kuning ke dalam Sumur, I Satriawangsa pulang menghadap Dalem, menuturkan kejadian sebenarnya. Bahwa ia telah melanggar bhisama Dalem, karena telah menyembah sang ibu.
Dalem terperangah, Satriawangsa lalu diturunkan derajatnya. Oleh karena ibunya ketika meninggal jatuh ke dalam sumur rohnya terbang berupa burung Tuu-Tuu, Satriawangsa lalu diganti namanya menjadi Ki Mantri Tutuan.
Kini setelah lama mengabdi pada Prabhu Airlangga yang tak lain adalah kakek dari pihak ibu, Ki Mantri Tutuan diutus ke Bali. Entah keturunan keberapa trah Ki Mantri Tutuan ini ke Bali, tak ada keterangan pasti.
Dikisahkan Ki Mantri Tutuan, dengan membawa stempel dari Raja Airlangga ia menghadap Dalem Tegal Belesung di Kerajaan Samprangan. Di Keraton Samprangan, Raja yang saat itu bergelar Dalem Samprangan Ki Mantri Tutuan diterima dengan baik.
Kala itu Dalem Samprangan yang juga disebut Dalem Ile tidak becus mengurus kerajaan. Maka atas prakarsa Arya Kebon Tubuh ditugaskanlah Dalem Ketut Ngulesir menjadi raja, dimana saat itu Dalem Ketut tengah berjudi di Desa Pandak.
Awalnya Dalem Ketut menolak permintaan Arya Kebon Tubuh, alasannya karena sang kakak Dalem Ile masih diakui sebagai raja yang syah. Namun Arya Kebon Tubuh menekan Dalem Ketut Ngulesir, untuk bersedia menjadi raja. Bila tidak kerajaan akan tidak terurus.
Dalem Ketut menyanggupi permintaan Arya Kebon Tubuh. Namun dia tidak mungkin memerintah dari di Keraton Samprangan. Sembari berencana membangun kerajaan baru, Arya Kebon Tubuh mempersilakan rumah tinggal beliau sebagai pusat pemerintahan di Gelgel. Berangsur-angsur dibangunlah kemudian keraton baru di Gelgel.
Kraton baru yang dibangun itu meniru tradisi keraton Jawa, dan Ki Mantri Tutuan yang notabene orang Jawa kala itu dilibatkan sebagai konsultan kraton baru itu.
Usai pembangunan kraton baru di Gelgel, Ki Mantri Tutuan, tokoh andalan Dalem Tegal Belesung, (yang adalah adik Dalem Ketut Ngulesir) "diperintah" menata kembali kawasan Bukit Buluh yang telah lama ditinggalkan Arya Buru.
Ki Mantri Tutuan lalu menetap di Bukit Buluh, bertanggung jawab atas wilayah timur Tukad Unda.
Untuk memuliakan leluhurnya, dalam hal ini Dalem Mangori dan Prabhu Airlangga, Ki Mantri Tutuan dan pengikutnya membangun Pura Bukit Buluh dan merawat pura-pura lain di kawasan itu. Dari kawasan ini kemudian trah Ki Mantri Tutuan beranak -pianak menyebar ke seluruh Nusantara. (*