IPUNG-Pengacara Siti Sapurah alias Ipung berkomentar soal kasus dugaan tindak kejahatan seksual terhadap kliennya.
DENPASAR -fajarbali.com | Kasus persetubuhan anak di bawah umur dengan terduga pelajar asal Jepang yakni FS yang sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Denpasar, kian memanas.
Siti Sapurah atau yang akrab dipanggil Ipung sangat keberatan atas komentar kuasa hukum Nyoman Ferry Supriadi SH yang mengatakan bahwa antara kliennya terduga FS dengan korban terjadi hubungan “suka sama suka” dan tidak ada unsur paksaan. Apalagi keduanya sempat meneguk minuman keras di kafe, sebelum terjadinya insiden pencabulan di sebuah toilet di pusat perbelanjaan di wilayah Badung.
Dalam sebuah wawancara ke awak media, Ipung sangat menyayangkan komentar Ferri yang mengatakan bahwa kasus yang terjadi antara kliennya dengan terduga terlapor pelajar asal Jepang karena faktor suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan.
“Saya ingin menanggapi apa yang dikatakan dari kuasa hukum terdakwa (Nyoman Ferri, red). Sangat disayangkan seorang lawyer yang punya latarbelakang yang sama dengan saya mengatakan demikian. Saya ingin mengomentari istilah suka sama suka,” terangnya, pada Minggu 4 Desembet 2022.
Ipung menjelaskan, dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak yang tercantum Undang-undang nomor 17 tahun 2016 perubahan kedua dari undang-undang 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang berangkat dari PERPU nomer 1 tahun 2016 yaitu penetapan perubahan pengganti UU yang khusus mengatur tentang apa yang terdapat atau apa yang diatur di dalam Pasal 81 dan 82.
Menurut Ipung, dalam Pasal 81 tentang persetubuhan anak di bawah umur tergolong kasus kejahatan seksual. Bahkan kasus kejahatan seksual terhadap anak ini mendapat apresiasi dari Presiden Joko Widodo yang menegaskan bahwa perbuatan kejahatan yang luar biasa harus diselesaikan dengan cara-cara luar biasa.
“Artinya dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak tidak dikenal dengan istilah suka sama suka,” ungkapnya.
Aktifis perempuan dan anak ini kembali menjelaskan bahwa yang perlu diperhatikan dalam Pasal 81 yakni barang siapa mengajak, membiarkan orang yang melakukan perbuatan persetubuhan dengan tipu muslihat dengan bujuk rayu.
“Jadi meski tidak ada ancaman, tapi ada muslihat dan bujuk rayu. Ayo dong kita cari tempat sepi. Apa itu bukan bujuk rayu ? Tipu muslihat, ajak dia sampai dia mabuk dan dia tidak berdaya. Ini seharusnya memberatkan si anak pelaku. Itu yang pertama soal suka sama suka,” bebernya.
Ipung lanjut membeberkan, bahwa perlakuan terduga FS dalam dugaan kasus kejahatan seksual bukan kali pertama terjadi. Perlakuan ini pernah dilakukannya terhadap salah seorang teman, atau adik kelas di sekolah sebelumnya. Sehingga dia dikeluarkan dari sekolah tersebut. Namun sayangnya kasus ini tidak sampai ke Polisi.
“Mungkin berdamai dengan korban. Dia dikeluarkan dan pindah ke sekolah yang berikutnya. Dimana anak korban mengalami hal yang sama. Sayangnya dia tidak bisa bertemu dengan anak yang bisa diajak berdamai, sampai kasus ini masuk kepolisian,” bebernya.
Dalam kasus ini Ipung menyarankan agar Polisi atau penyidik atau Jaksa untuk memasang Pasal 76 d Jo Pasal 81 Ayat 5, karena korbannya lebih dari 1 dengan ancaman minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun penjara. “Itu artinya tidak ada bahasa pembenar untuk berdamai atau pun melakukan diversi,” ujarnya.
Diungkapkannya, soal diversi bisa dilakukan asalkan anak pelaku masih di bawah umur jika ancaman pidana atau dibawah ancaman 7 tahun penjara.
“Dan kenapa anak ini harus ditahan ? UU Nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak mengatakan bisa anak pelaku di atas 14 tahun per satu hari sampai 18 tahun harus dilakukan penahanan atau dilakukan penahanan badan. Artinya penjara adalah konsekuensi hukumnya,” sebutnya.
Ipung kembali bertanya apabila penangguhan penahanan dikabulkan, apakah bisa menjamin jika anak pelaku tidak akan lagi mengulangi perbuatanya ? Menurutnya hal ini sangat meragukannya. Pasalnya, ada dua kalimat yang dia catat dari keterangan terduga FS. Yakni FS pernah mengatakan bahwa dia sudah memperawani anak Indonesia. “Itu keteranganya di kantor Polisi loh, itu yang pertama,” ungkapnya.
Kedua, bahwa dia (terduga FS, red) hanya ingin melakukan menjalin pertemanan yang sama-sama menguntungkan.
“Artinya apa, hubungan seksual bagi dia sudah biasa. Kenapa saya bilang biasa, setiap hari anak ini telah mempersiapkan dirinya dengan membekali 1 kotak kondom di dalam tasnya. Berarti ini sudah dipersiapkan. Anak korban diajak mabuk dulu baru diajak ke tempat sepi. Bujuk rayu loh masuk kesini. Sehingga terjadilah kejahatan seksual ini,” terang Ipung.
Untuk itu, Ipung meminta agar kuasa hukum terduga FS tidak lagi memaksakan diri atau memaksakan UU agar terduga FS dibebaskan dari ranah hukum. Hal itu dipastikan tidak mungkin.
“Jadi, jangan lagi kuasa hukum memaksakan diri. Kalau kata-katanya suka sama suka, apakah dibenarkan di Indonesia ? Dengan alasan suka sama suka, kau boleh setubuhi anak orang tanpa kau nikahi, boleh gak. Dengan alasan suka sama suka, apakah boleh membenarkan anak pelaku bebas dari jeratan hukum, tidak bisa dong. Kenapa dia mengatakan suka sama suka, karena dia sudah termasuk dewasa di depan hukum,” ujar Ipung.
Terkait sidang online yang rencananya akan digelar di sidang, Ipung mengaku sangat keberatan. Ia juga sempat menanyakan alasan pembenar Jaksa untuk melaksanakan sidang online. Menurutnya, Jaksa yang menangani perkara ini mengatakan menjalankan tugas ini hanya berdasarkan penetapan dari Hakim.
Sehingga Ipung berinisiatif menyurati Ketua Pengadilan Hakim di Denpasar dan mengajukan permohonan sidang offline. “Kenapa? Saya tahu sekarang sudah tidak pandemi dan banyak kasus kasus yang lebih besar saat ini dilakukan secara offline. Kasus Bintang 2 aja offline. Mantan Bupati Tabanan aja offline. Kenapa kita ketemu warga negara Jepang, istimewa sekali ini orang,” heran Ipung.
Ia pun mendesak kepada aparat penegak hukum di Indonesia agar menghormati peradilan hukum di Indonesia.
“Kita orang Indonesia yang punya UU Perlindungan Anak yang punya sistem peradilan, tolong dihargai UU itu. Kalau kita tidak hormati, maka jangan harap negara asing menghargai hukum peradilan kita, pungkasnya. R-005