Ini Tanggapan MDA Bali Soal Pernikahan Keris

(Last Updated On: 19/01/2022)

DENPASAR – fajarbali.com | Bandesa Agung/Ketua Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet mengusulkan agar tokoh-tokoh agama Hindu di daerah itu dapat membahas mengenai ritual pernikahan seorang wanita dengan keris.

Menurut dia, ritual pernikahan seorang wanita Hindu Bali dengan keris biasanya dilakukan ketika seorang mempelai wanita yang hamil di luar nikah, namun calon suaminya meninggal ataupun pergi tanpa kabar.

“Perlu dibahas oleh tokoh-tokoh agama, para sulinggih, dan pandita supaya mengeluarkan semacam ‘bhisama’, bagaimana statusnya dari segi agama,” kata Ida Pangelingsir Sukahet diknfirmasi di Denpasar, Rabu (19/1/2022).

Belum lama ini, publik digegerkan dengan adanya kasus seorang wanita menikah dengan keris di Kabupaten Gianyar, dengan alasan calon mempelai laki-laki mendadak membatalkan rencana pernikahannya. Sasng lelaki tidak mau “nyentana” atau ikut tinggal di rumah keluarga istri ketika sudah menikah.

“Dari sisi agama atau adatnya bagaimana? Saya tidak ingin mendahului. Lebih baik ini didiskusikan dan dibahas bersama oleh para sulinggih dan tokoh-tokoh agama melalui agenda paruman (rapat),” ujarnya.

Dengan dibahas oleh tokoh-tokoh agama, sehingga dapat dikaji dari sisi sastra (kitab suci) dan tatwa (filosofi) apakah pernikahan dengan keris itu dibenarkan atau tidak secara agama. Ida Pangelingsir mengatakan ketika nanti sudah ada bhisama (fatwa-red) dari tokoh-tokoh agama, barulah dari MDA bisa melakukan langkah selanjutnya.

“Bhisama keagamaan supaya dibahas dulu. Sedangkan MDA untuk pelaksanaan adatnya,” ucap pria yang juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Bali itu. Dia menambahkan, ketika terjadi pernikahan dengan keris, kerap anak yang dilahirkan itu dari status hukumnya tertulis sebagai anak dari ibunya saja.

Salah satu tokoh masyarakat Bali I Gusti Putu Artha sangat geram dan menyesalkan peritiwa tersebut. Lewat akun facebooknya, eks komisioner KPU Provinsi Bali dan RI ini menyebut kawin dengan keris merupakan pelanggaran terhadap UU Perkawinan. Ini akan memunculkan masalah administrasi kependudukan bagi gadis itu dan anaknya kelak.

“Saya yakin jika kepala dusun, bandesa dan perbekel paham hukum, akan sampai pada penilaian bahwa secara hukum negara ‘tak pernah ada perkawinan’. Kenapa aparat di level bawah dan para pihak yang punya otoritas (Bandesa, MDA, PHDI, perbekel) seperti normal-normal saja, santai saja, merespons peristiwa kemanusiaan yang mengiris nurani begini,” tanyanya heran.

“Bukankah pola semacam ini amat mungkin terulang di masa depan? Siapa sangka akan menimpa salah satu anak dari pembaca? Baru kita ngeh kemudian?,” imbuh dia.

Ia berharap, para bandesa dan kelian tempek ke depan agar lebih proaktif dan sigap melihat perkembangan kramanya di lapangan. Mesti dikomunikasikan dan dicegah kasus-kasus serupa ini muncul ke depan.

“Jika tidak, secara tak langsung, kita ikut menanam saham atas status perkawinan ilegal dari sisi hukum negara, serta masa depan jabang bayi tersebut. Atas dasar otoritas dan kewenangan yang dimiliki, bandesa jangan ragu bertindak. Pada sisi inilah kompetensi kepemimpinan adat diperlukan: mencegah munculnya kasus adat,” tambahnya.

Ia berpandangan, permasalahan ini sangat serius. Seorang perempuan yang sedang hamil diabaikan seorang lelaki. Menurutnya, perempuan bersangkutan mengalami goncangan mental, fisik dan batin luar biasa serta masa depan bayinya yang tak jelas. “Ini yang mengiris empati terdalam saya paling utama,” akunya.

Eksekusinya dalam kasus ini, bendesa, perbekel difasilitasi camat dan MDA mencari jalan keluar dan mengomunikasikan ke kedua belah pihak keluarga. Nasib jabang bayi itu yang mesti dipertanggung jawabkan. Jika tidak ada jalan keluar, secara hukum negara, perkawinan itu tidak legal dan gadis itu beserta anaknya kelak akan terus mengalami masalah administrasi kependudukan.

Sedangkan eksekusi jangka panjangnya, MDA dan PHDI Bali punya “pekerjaan rumah” untuk merumuskan regulasi adat berkaitan dengan masalah ini. Solusi konsep “pade gelahang” mesti disosialisasikan meluas ke bawah dengan petunjuk teknisnya. Sebaiknya juga dibuat aturan soal dokumen perjanjian tertulis memperkuat implementasi “nyentana” dan “pade gelahang” agar tak menimbulkan masalah di kemudian hari. (Gde)

 Save as PDF

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Vaksinasi Booster Tahap 3 Ditarget Rampung 2 Bulan

Kam Jan 20 , 2022
Dibaca: 69 (Last Updated On: 19/01/2022)GIANYAR-fajarbali.com | Sejak awal Januari 2022, Dinas Kesehatan Gianyar sudah mulai melayani secara bertahapi vaksinasi booster atau vaksinasi tahap ketiga. Pelayanan kepada masyarakat umum, saat ini bisa dilakukan di RSUD Sanjiwani. Untuk ke banjar-banjar sedang disusun rencana sambil menuntaskan vaksinasi siswa tahap 2.  Save as […]

Berita Lainnya