Kampanye Percepatan Penurunan Stunting di Desa Asahduren, Kecamatan Pekutatan, Kabupaten Jembrana, Sabtu (12/11).
DENPASAR – fajarbali.com | Dalam lanjutan Kampanye Percepatan Penurunan Stunting di Desa Asahduren, Kecamatan Pekutatan, Kabupaten Jembrana, Sabtu (12/11) di Balai Desa Asahduren, ratusan warga setempat diberikan pemahaman tentang faktor-faktor penyebab terjadinya stunting pada balita, khususnya faktor sensitif.
Faktor sensitif dikelompokkan sebagai pengaruh tidak langsung yang memicu stunting, salah satu contohnya sanitasi dan air bersih di rumah tangga. Demikian dijelaskan Direktur Bina Pelayanan KB Wilayah Khusus BKKBN Fajar Firdawati.
“Mungkin masih ada yang bertanya, apa hubungannya air bersih dan sanitasi dengan stunting? Padahal ini sangat berpengaruh. Wajib diketahui masyarakat,” kata Firdawati.
Ia mencontohkan, jika ibu hamil atau menyusui mengonsumsi air yang tidak bersih, maka berpengaruh pada kesehatan bayinya. Ini, menurutnya contoh yang paling mudah dipahami masyarakat awam sekalipun.
Untuk itu, pihaknya mengajak seluruh masyarakat dan tim pendamping keluarga untuk memperkuat intervensi sensitif di rumah tangga keluarga sasaran.
Intervensi sensitif merupakan kegiatan yang berhubungan dengan penyebab tidak langsung stunting yang umumnya berada di luar persoalan kesehatan. Intervensi sensitif terbagi menjadi 4 jenis yaitu penyediaan air minum dan sanitasi, pelayanan gizi dan kesehatan, peningkatan kesadaran pengasuhan dan gizi serta peningkatan akses pangan bergizi.
Anggota Komisi IX DPR RI I Ketut Kariyasa Adnyana mengungkapkan, tenaga kesehatan (nakes) berperan penting dalam mencapai target penurunan stunting, bahkan di masa pandemi Covid-19, nakes layak disebut pahlawan.
Karenanya, Kariyasa sesuai tugasnya memperjuangkan agar nakes diprioritaskan dalam seleksi calon ASN Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Awalnya ia mengaku sempat terkendala karena pemerintah memprioritaskan guru dan tenaga kependidikan.
“Setelah guru ini, tampaknya giliran nakes yang diprioritaskan,” kata Kariyasa. Hembusan angin segar ini diharapkan memicu semangat kerja nakes honorer terutama bidan desa yang menjadi ujung tombak target penurunan stunting. Bidan tergabung dengan Kader PKK dan Kader KB dalam Tim Pendamping Keluarga (TPK).
Sebelumnya Kepala Perwakilan BKKBN Bali Luh Gede Sukardiasih memaparkan materi tentang stunting berikut pencegahannya. Ia juga menekankan pentingnya calon pengantin melakukan skrining tiga bulan sebelum pernikahan.
Stunting, jelas dia, adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah 5 tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun.
“Saat ini prevalensi stunting di Bali memang jauh di bawah rerata nasional yakni 10,9 persen. Kami target menjadi 6 persen tahun 2024,” kata Luh De Sukardiasih.
Perbekel Asahduren Nyoman Mandia mengapresiasi kegiatan yang diinisiasi Komisi IX DPR RI dengan BKKBN ini. Mandia tetap melakukan berbagai program antisipasi untuk mencegah terjadinya stunting di wilayahnya. (Gde)