Pasal 50-51 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengatur bahwa pemerintah daerah dapat menyalurkan murid yang tidak diterima di sekolah negeri ke sekolah swasta, dengan kemungkinan bantuan biaya pendidikan.
Sekolah Swasta Dijadikan “Tempat Buangan”?
Dalam sistem yang ideal, sekolah swasta harus bersaing dalam kualitas dan inovasi, bukan sekadar menjadi tempat penampungan bagi siswa yang gagal masuk sekolah negeri.
Dengan kebijakan ini, sekolah swasta terancam kehilangan daya saing, karena murid yang masuk bukan berdasarkan minat atau kecocokan akademik, melainkan karena mereka tidak diterima di sekolah negeri.
Dampak negatif
1. Menurunkan standar akademik sekolah swasta karena menerima murid bukan berdasarkan seleksi ketat, tetapi sebagai opsi terakhir.
2. Mengubah citra sekolah swasta menjadi sekolah “cadangan” yang hanya menerima siswa yang “gagal” masuk negeri, bukan sebagai pilihan utama.
3. Meningkatkan potensi kesenjangan antara sekolah swasta unggulan dan sekolah swasta menengah ke bawah, di mana hanya sekolah yang memiliki branding kuat yang tetap menarik siswa secara mandiri.
Bantuan Pendidikan Tidak Jelas, Sekolah Swasta Dipaksa “Bersubsidi”?
Pasal 51 menyebutkan bahwa pemerintah daerah dapat memberikan bantuan biaya pendidikan kepada murid yang masuk sekolah swasta jika anggaran daerah memungkinkan.
Namun, aturan ini sangat bias dan tidak memiliki kepastian hukum, sehingga banyak daerah mungkin tidak mampu memberikan subsidi ini.
Masalah utama:
1. Tidak ada jaminan bahwa semua daerah akan memiliki anggaran untuk subsidi, sehingga siswa miskin yang terpaksa masuk swasta tetap harus membayar mahal.
2. Jika bantuan diberikan, jumlahnya mungkin tidak mencukupi untuk menutup biaya sekolah swasta yang umumnya lebih mahal dibandingkan sekolah negeri.
3. Sekolah swasta bisa dipaksa menanggung biaya lebih besar dengan menerima murid dari program ini tanpa kepastian pembayaran dari pemerintah daerah.
Kebijakan ini tidak menyelesaikan masalah keterbatasan akses pendidikan, tetapi memindahkan beban dari pemerintah ke sekolah swasta tanpa kepastian subsidi yang jelas.
Solusi yang lebih adil adalh dengan berfokus pada peningkatkan transparansi dalam penerimaan murid di sekolah negeri, agar tidak ada praktik titipan yang mengurangi kuota bagi siswa kurang mampu. Jika harus bekerja sama dengan sekolah swasta, pastikan ada standar subsidi yang jelas, bukan sekadar “jika anggaran memungkinkan.”
Penulis: Dr. AAN Eddy Supriyadinata Gorda. (Akademisi Universitas Pendidikan Nasional)