Dr. AAN.Eddy Supriyadinata Gorda
Di Indonesia, kalender kita dipenuhi hari-hari peringatan penuh makna: Hari Anak, Hari Pendidikan, Hari Ibu, dan tentu saja, Hari Guru. Namun, di balik gegap-gempita seremoni, seringkali esensi peringatan ini tertelan rutinitas. Hari Guru, misalnya, bukan sekadar momen untuk ucapan terima kasih atau memberikan bunga, melainkan sebuah ajakan reflektif: sudahkah kita benar-benar menempatkan guru sebagai pilar utama dalam menciptakan generasi emas bangsa ini?
Dalam budaya kita, guru dikenal dengan ungkapan "digugu lan ditiru"—dipercaya dan diteladani. Namun, fenomena beberapa waktu belakangan menunjukkan pergeseran mencemaskan. Guru tidak lagi sepenuhnya "digugu," bukan hanya karena kekuatan media sosial atau modernisasi, tetapi juga karena melemahnya otoritas moral dan pendidikan yang semestinya dijaga bersama. Ketika kritik dan tuntutan masyarakat terhadap guru semakin tinggi tanpa dukungan yang memadai, wibawa guru pun tergerus. Fenomena ini bukan hanya krisis kepercayaan terhadap guru di sekolah, tetapi juga sebuah cerminan dari tergesernya nilai-nilai luhur dalam mendidik. Di banyak rumah, penghormatan terhadap guru tidak lagi diajarkan dengan penuh kesadaran. Dalam ruang publik, guru sering menjadi sasaran kritik tanpa melihat kompleksitas peran yang mereka emban.
Masalah yang ada tidak hanya terkait dengan integritas guru. Dalam ajaran Hindu, guru memiliki kedudukan luhur—dari Tuhan (Guru Swadyaya), pemerintah (guru wisesa), guru di sekolah (guru pengajian) hingga orang tua (guru rupaka). Mereka adalah sosok yang "melahirkan" kita dalam perjalanan intelektual dan moral. Sayangnya, proses pendidikan kita kerap berliku, penuh tantangan, bahkan terkadang saling bertabrakan. Guru di sekolah, orang tua di rumah, dan kebijakan pemerintah idealnya membentuk sinergi yang harmonis. Namun, kenyataan sering berkata lain.
Ketika ketiganya (wisesa, pengajuan, dan rupaka) berjabat tangan, anak akan mendapatkan pendidikan yang utuh: moral, intelektual, dan spiritual. Namun, apa yang terjadi ketika ketiganya tidak lagi harmonis? Guru wisesa, yang diwakili oleh pemerintah, mungkin hadir dengan kebijakan yang penuh semangat, tetapi jika tidak mendukung kesejahteraan guru pengajian atau tidak melibatkan mereka dalam pembuatan kebijakan, maka pendidikan kehilangan arah. Kebijakan pendidikan menjadi formalitas tanpa esensi. Sementara itu, guru pengajian atau guru di sekolah berjuang di lapangan dengan keterbatasan sumber daya dan apresiasi. Ketika mereka kehilangan wibawa atau semangat, proses belajar-mengajar menjadi kehilangan makna. Guru rupaka, sebagai orang tua, seringkali menempatkan tanggung jawab penuh pada sekolah, lupa bahwa pendidikan dimulai dari rumah. Ketika mereka tidak lagi mendukung guru pengajian atau bahkan meragukan perannya, anak kehilangan fondasi nilai.
Tanpa harmoni ini, pendidikan kita menjadi fragmentaris—seperti kapal tanpa nahkoda, dengan setiap pihak mendayung ke arah berbeda. Anak-anak, yang seharusnya menjadi pusat perhatian, justru terombang-ambing di tengah kepentingan yang saling bertentangan. Hari Guru seharusnya bukan sekadar seremoni, melainkan momentum refleksi mendalam. Sebuah panggilan untuk pemerintah, guru, dan orang tua agar kembali bergandengan tangan, memperkuat komitmen bersama. Mengembalikan kepercayaan pada guru berarti mengembalikan pendidikan ke jalur yang benar: di mana guru dihormati, didukung, dan diberdayakan, sehingga mereka mampu mendidik dengan sepenuh hati.
Mari jadikan Hari Guru sebagai titik balik. Sebuah ajakan untuk menyatukan kembali guru, orang tua, dan pemerintah, agar setiap anak Indonesia tumbuh dalam lingkungan pendidikan yang harmonis, penuh penghormatan, dan berlandaskan nilai-nilai luhur. Sebab, di tangan guru yang dipercaya dan didukung, masa depan bangsa ini sedang dibentuk. Inilah esensi sejati Hari Guru: sebuah komitmen bersama untuk menempatkan guru di posisi yang mereka pantas—bukan hanya di atas panggung seremoni, tetapi di pusat perjalanan bangsa menuju masa depan yang lebih cerah.