DENPASAR-fajarbali.com | Yayasan Taman Bukit Pengajaran (TBP) kembali menggelar dharma widya/seminar bertajuk "Mrateka Rare Sedurung Akupak" atau prosesi upacara terhadap anak yang belum tanggal gigi, bertempat di Sekretariat Yayasan TBP, Jln By. Pass Ngurah Rai, Gg. Ulun Carik V, No. 108 Kesiman Kertalangu, Denpasar, Sabtu (5/4/2025).
Narasumber Dwi Mahendra Putra, SS., S.Pd., M.Hum., M.Pd., mengungkapkan, tema ini diangkat karena banyak umat yang masih "kebingungan" mengenai prosesi upacara pada bayi mulai dari dalam kandungan sampai tanggal gigi. Kebingungan itu makin memuncak tatkala sang bayi meninggal dunia.Â
"Apakah boleh bayi yang belum tanggal gigi di-aben? Kalau sastra menyebut tidak boleh (diaben-red) sebelum tanggal atau ketus gigi," jelas Dwi Mahendra.Â
Menurut Dwi Mahendra, sebelum tanggal gigi, bayi termasuk makhluk suci yang belum terikat hukum karma. Maka upakara dan upacaranya pun tergolong sederhana yang disebut "ngelungah".
Upacara ini bermaksud mengembalikan kepada Shang Hyang Windu Rupaka atau unsur pembentuknya. Berdasarkan pedoman sastra, di antaranya Pratingkahin Mrateka Rare, Yama Purana Tatwa, Yama Tatwa, Yama Purwa Tatwa dan yang lain, apabila menggelar upacara "ngelungah", jasad bayi dikubur terlebih dulu, kemudian diberikan tirta pangentas panglungahan oleh sulinggih, diberi upacara saka sidan yang intinya adalah menggunakan tunjung putih kuning dengan japit sebagai bekal sang rare.
Tetapi, lanjut dia, di beberapa tempat sesuai loka dresta masing-masing, perwujudan bayi setelah "diulapin" dibakar di atas tanah, abunya dikembalikan ke bungkak, kemudian dilarung ke segara dibekali kwangen.
Proses terakhir yakni upacara pembersihan di pekarangan rumah dan orang tua pada khususnya di gria untuk menghilangkan "sebel", layaknya "makekelud" yang dilakukan saat ngaben.Â
Dwi Mahendra menegaskan, materi seminar yang diikuti 50 an pemangku ini, tidak bertujuan untuk membenturkan berbagai macam sastra atau lontar yang ada terkait pedoman mrateka rare. Sebab, lontar serupa jumlahnya sangat banyak, mencapai ribuan.Â
"Kami di sini hanya mengupas sesuai sastra yang kami temukan. Tidak bermaksud membenturkan dengan versi lain. Sebab lontar sangat banyak. Semua baik. Kami hanya menghadirkan alternatif lain," pungkas Dwi Mahendra.Â
Pada kesempatan yang sama, I Wayan Widiartha, perwakilan Yayasan TBP menjelaskan, yayasan yang dibina oleh Ida Pedanda Putu Dwija Ghanta Mandara ini, mengusung visi-misi suryam chandram sundaram nityam mandalam, yang mengandung harapan segala aktivitasnya mampu mencerahkan umat.Â
Layaknya lembaga pendidikan, Yayasan BTP menjalankan Tri Dharma, pertama Dharma Widya meliputi pendidikan dan penyuluhan, termasuk diklat kepemangkuan.
Kedua, Dharma Yatra, dengan terjun langsung ke aktivitas masyarakat atau pengabdian kepada masyarakat. Dan terakhir di bidang Spiritual diimplementasikan dengan berbagai jenis yoga.Â
Lanjut Widiarta, yoga di tempat ini memanfaatkan energi mujikzat. Peserta yoga akan dibangkitkan potensi taksunya berdasarkan swagina atau profesi masing-masing, sehingga yayasan ini juga disebut sebagai Pasraman Taksu Swagina.Â
Ada beberapa jenis yoga, seperti Sri Dana untuk kelancaran usaha/bisnis, pradnya gantha untuk pendidik dan peserta didik di sekolah/mahasiswa, bala bajra direkomendasikan bagi yang berprofesi sebagai tentara, polisi, satpam, bodyguard atau pekerjaan sejenis.Â
Lalu ada yoga untuk usadha, kecantikan, gerak dan sebagainya. Ke depan pihaknya bakal mengembangkan yoga moksartham.Â
"Konsep di pasraman kami berangkat dari kasih Tuhan, bersama Tuhan, dan akhirnya menuju Tuhan. Kita berada di jalur kasih. Tidak kiri, tidak kanan," ungkap Widiarta.Â
Lebih lanjut, terkait seminar kali ini, ia mengatakan diikuti oleh pemangku angkatan ke 22 dan umum. Widiarta pun mempersilakan bagi umat yang ingin mengetahui lebih jauh tentang yayasan tersebut.