Tidak Dilibatkan dalam Proses Pelimpahan Kliennya ke Kejaksaan, Advokat Teddy Raharjo Lapor Propam

u5-IMG_0141
Teddy Raharjo didampingi rekan seprofesinya saat memberikan keterangan pers di Denpasar, Kamis (30/10/2025).foto/eli

DENPASAR-Fajarbali.com|Galuh Dwipa Fauji yang sebelumnya ditangkap polisi karena diduga terlibat kasus Narkotika, melalui kuasa hukumnya, Teddy Raharjo mengaku kecewa atas perlakukan anggota Polres Karangasrem yang diduga telah menyalahgunakan kewenangan.

Atas kekecewaan itu, pengacara yang akrab disapa Teddy ini pun membawa kasus ini ke Propam Polda Bali. Kepada wartawan, Kamis (30/10/2025) di Denpasar, Teddy Raharjo mengaku telah melaporkan dua anggota Polres Karangasem ke Propam Polda Bali.

Laporan ini terkait dugaan pelanggaran prosedur hukum dalam proses pelimpahan tahap II perkara narkoba terhadap kliennya, Galih Dwipa Fauji yang dinilai tidak transparan dan mengabaikan hak pendampingan hukum.

Menurut Teddy, dirinya tidak dilibatkan dalam proses pelimpahan (tahap II) perkara Galih ke Kejaksaan, padahal ia masih secara sah mendampingi kliennya berdasarkan surat kuasa yang berlaku. Bahkan menurut Teddy dari ancaman pasal yang sangkakan terhadap kliennya, seharusnya dia wajib didampingi pengacara.

“Saya mendampingi sejak awal pemeriksaan di Polres hingga pemeriksaan dokter. Tapi anehnya, saat pelimpahan tahap II ke Kejaksaan, saya tidak pernah dihubungi, padahal dalam perkara ini kalian saya wajib didampingi pengacara, ungkap Teddy.

“Ini jelas pelanggaran terhadap Pasal 58 dan Pasal 69 KUHAP yang mewajibkan tersangka didampingi oleh kuasa hukum di setiap tahap pemeriksaan,” lanjutnya.

Dalam penjelasannya, Teddy mengungkapkan bahwa Galih Dwipa Fauji ditangkap dengan barang bukti narkotika hanya 0,07 gram netto, disertai alat hisap berupa bong dan pipet kaca. Dan sebelum ditangkap, dia mengaku baru saja mengkonsumsi narkotika.

“Klien saya baru saja menggunakan narkoba, tapi hasil urinenya negatif, ini kan aneh dan ini  bukan kasus pertama. Ada sebelas klien saya sebelumnya yang mengalami hal serupa,” terangnya.

BACA JUGA:  Tragis, Putra Anggota DPRD Bali Disel Astawa Tewas Ditabrak Truk Tangki Air

Lebih mengejutkan lagi, ia menyebut adanya informasi mengenai praktik jual beli urine dengan nilai mencapai Rp 9 juta agar hasil tes bisa diatur sesuai keinginan. Dugaan praktik ini, menurutnya, harus segera diusut karena dapat merusak integritas penegakan hukum di tubuh kepolisian.

Selain dugaan pelanggaran prosedural, Teddy juga menuding adanya pelanggaran etik yang dilakukan oleh oknum aparat. Ia mengaku menerima laporan dari istri Galih, yang disebut mendapat ajakan pertemuan pribadi di luar jam kerja dari oknum polisi.

“Ada bukti chat-nya. Ini jelas sangat tidak pantas dan melanggar kode etik profesi,” tegas Teddy. Karena itu Ia berharap agar Propam Polda Bali tidak hanya memeriksa aspek administratif, tetapi juga menindaklanjuti dugaan pelanggaran etik yang dapat mencoreng nama baik institusi Polri.

Teddy menuturkan bahwa laporannya terhadap Kasatresnarkoba dan Kanit Narkoba Polres Karangasem telah diterima oleh Propam Polda Bali secara digital.

Ia menilai, tindakan tidak melibatkan dirinya dalam pelimpahan kasus adalah bentuk penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran serius terhadap hak hukum tersangka.

Tak hanya itu, ia juga mempertanyakan alasan pihak penyidik tidak memberikan rekomendasi rehabilitasi, meskipun hasil pemeriksaan dokter Anak Agung Hartawan, Kamis 21 Oktober 2025 yang menyatakan jika Galih dalam kondisi sehat namun memiliki riwayat penggunaan sabu sejak usia sekolah dan menunjukan tanda tanda ketergantungan ringan hingga sedang.

Atas kondisi medis itu, dokter pun merekomendasikan Galih untuk menjalani rehabilitasi sosial untuk memperbaiki prilaku penggunaan zat agar kembali produktif dan adaptif.

Padahal, kata Teddy dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2020 dan Peraturan Kejaksaan Nomor 18 Tahun 2021 sudah sangat jelas. Untuk perkara dengan barang bukti kecil, jalur yang harus ditempuh adalah restorative justice dan rehabilitasi, bukan pemidanaan.

BACA JUGA:  Dituntut Jaksa 5 Tahun, Sahrudin Divonis Hakim 14 Bulan

Hal serupa juga ditegaskan dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif, yang memungkinkan penegak hukum mengedepankan rehabilitasi bagi pengguna narkotika dengan barang bukti kecil.

"Nah, pertanyaannya adalah kenapa kok tidak melakukan rehabilitasi. Padahal dokter, dia menggariskan bahwa yang bersangkutan wajib dilakukan rehabilitasi,” katanya.

Meski menghadapi sejumlah kejanggalan, Teddy menegaskan bahwa pihaknya tetap akan menggunakan hak hukum kliennya untuk menempuh jalur restorative justice, baik di tingkat Kejaksaan maupun di Pengadilan.

Ia menilai, langkah tersebut sesuai dengan semangat keadilan yang diatur dalam berbagai regulasi hukum di Indonesia.

“Sudah ada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 dan Nomor 1 Tahun 2017 yang menegaskan bahwa pengguna narkoba dengan barang bukti kecil harus diprioritaskan untuk rehabilitasi, bukan dipidana,”pungkusnya.W-007

BERITA TERKINI

TERPOPULER

Scroll to Top