DENPASAR-fajarbali.com | Seluruh elemen masyarakat, termasuk kalangan jurnalis, menunjukkan kepedulian terhadap Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Hal ini dibuktikan dengan digelarnya Forum Diskusi Nasional Peduli LPD yang dilaksanakan di Gedung Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bali, Rabu (18/12/2024).
Dalam diskusi itu terungkap bahwa di Bali terdapat 1.439 LPD dari 1.500 Desa Adat. Data terbaru mencatat total aset LPD mencapai Rp33, 7 Triliun. Belakangan kasus LPD kian merebak, tidak sedikit pengurus yang dijebloskan ke ranah hukum.
Kabid Pembinaan Perekonomian Desa Adat Pemajuan Masyarakat Adat ( PMA) Provinsi Bali I Made Doni Raditya menerangkan, lemahnya tata kelola LPD sejauh ini menjadi pemicu berbagai kasus LPD bermasalah di Bali.
Kelemahanya belum banyak LPD memiliki perarem yang mengatur tata kelola LPD yang dipayungi oleh Awig-awig sesuai Perda Provinsi Bali ini yang sedang kita dorong kepada seluruh Desa Adat di Bali.
“Ada kesenjangan dalam penerapan tata kelola LPD. Pertama kesenjangan regulasi, awig, perarem dan turunanya yang mengatur, mengawasi dan mengelola LPD. Belum semua LPD memilikinya,” ucap Doni.
Selanjutnya kesenjangan kelembagaan yaitu penerapan tata kelola modern, kompetensi SDM hingga teknologi.
Selain itu, Kedudukan LPD di desa adat banyak belum dipahami, padahal LPD adalah milik desa adat, ada krama kedudukanya paling tinggi, kemudian pengurus desa adat , ada kertha desa, yang mengawasi, ada fungsi kontrol disana, sehingga pengurus LPD bekerja berdasarkan tata kelola yang telah diatur berdasarkan perarem.
Sementara itu pembicara lainya IB Rai Dharmawijaya Mantra yang juga Anggota DPD RI Perwakilan Bali mengungkapkan bicara LPD saat ini ekosistemnya yang hilang dan sebaiknya dibangkitkan lagi, sehingga apa yang menjadi ide tentang modal budaya agar tetap dijaga harga dirinya.
“Prioritas utama yakni memperbaiki ekosistem LPD. Pasca lepasnya BPD sebagai pembina, praktis tata kelola LPD ‘berantakan’ & pengurusnya ‘kalang kabut’. Saat ini pemangku kepentingan terfokus pada hal lain yang justru
“Perbaiki dan maksimalkan yang sudah ada. LPD bukan bussiness enterprise murni, terdapat nilai sosio-kultural di dalamnya. Jadi jangan menambah core bisnis dalam LPD,” kata mantan Wali Kota Denpasar itu.
Kasi II Bidang Sosial Politik Kejati Bali Anak Agung Jayalantara mengingatkan dari berbagai kasus LPD perlu ada tata kelola yang matang.
Menjadi komitmen bersama bahwa LPD perlu dijaga sebagai aset untuk menopang adat dan budaya. Namun ruang lingkup LPD belakangan semakin meluas. Nasabah LPD menyentuh hingga di luar masyarakat di suatu wilayah desa adat, bahkan WNA.
Ketika ada kasus kredit macet atau dana nasabah tidak bisa dikembalikan bagaimana mekanisme tanggung jawab pengurus untuk mengembalikan dana masyarakatnya.
“Saat ini yang bisa “mempailitkan” LKM dalam UU Penguatan Ekonomi Perbankan adalah OJK. Namun, karena LPD dikecualikan, maka kreditur bisa mengajukan pailit, cukup bahaya bisa -bisa aset LPD melayang, ” kata Jayalantara.
Pihaknya menyarankan, jika ingin berdiri dalam level makro, yang harus dikembangkan adalah BUPDA dengan membentuk LK berbadan hukum seperti BPR sehingga mampu menampung aset yang lebih lebih besar.
Selain tiga pembicara dalam agenda Forum Diskusi Nasional Media Peduli LPD mengambil tema “ Sinergitas Penguatan Ekonomi Desa Adat Bersama LPD” , menghadirkan pula pembicara Kapolda Bali diwakili Panit 2 unit 3 Subdit Tipidkor Ditreskrimsus Polda Bali Ipda Si Ngurah Putu Kusumayadi, Ketua Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali diwakili Patajuh Baga IV Bidang Ekonomi MDA Bali I Ketut Madra.