DENPASAR-fajarbali.com | PHDI Kabupaten/Kota se-Bali, Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) dan Akademisi kajian Lingkungan Hidup, kompak menolak rencana pembangunan proyek tower pembangkit listrik saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) Jawa-Bali Crossing setinggi 376 meter di kawasan Hutan Segara Rupek, Desa Sumber Kelampok, Gerokgak,Buleleng.
Dua tower raksasa rencananya saling terhubung di kawasan Watu Dodol, Banyuwangi dan di Kawasan Segara Rupek, Bali Barat. Seperti yang diutarakan Ketua PHDI Kabupaten Buleleng Dewa Nyoman Suardana. Menurutnya, sembilan lembaga Hindu di Bali Utara juga menolak rencana proyek yang jika terwujud tingginya mengalahkan Menara Eifel di Kota Paris. “Alasan kami (menolak) jelas, karena proyek itu melanggar radius kesucian pura, dampak sosial, lingkungan dan pariwisata,” kata dia di Denpasar, Kamis (18/1/2018).
Selain itu, masih menurut Dewa Suardana, rencana proyek itu juga melanggar ‘Bhisama’ PHDI yang mengatur radius kesucian pura yakni 2000 meter atau apeneleng alit. Ia mengungkapkan, Pura Segara Rupek merupakan Kahyangan Jagat yang di-‘sung-sung’ oleh seluruh umat Hindu, bukan umat Hindu di Buleleng atau Jembrana saja.
Hal memberatkan lainnya, sambung Suardana, juga soal kabel yang membentang melintasi bagian atas Pura Segara Rupek yang menimbulkan kesan cemer, dampak sosial dan berpotensi mengancam ekologi di wilayah tersebut. “Siapa yang bertanggungjawab jika kabel itu putus. Kami juga telah mengkaji bhisama tentang istilah apeneleng alit atau apeneleng agung secara riil. Keputusan itu dituangkan dalam surat rekomendasi yang disampaikan ke PLN, DPRD Bali, PHDI Bali, Gubernur dan PHDI Pusat,” sebutnya.
Hal senada diungkapkan Ketua Majelis Madya Desa Pakraman (MMDP) Kabupaten Buleleng Dewa Putu Budarsa. Menurutnya, pihaknya beserta ratusan desa adat seluruh Buleleng terus melakukan pemantauan di lapangan (rencana lokasi proyek). Bahkan, lanjut dia, Bupati Buleleng Agus Suradnyana pun ikut menolak proyek tersebut. “Dalam waktu dekat kami akan pantau ke lokasi, bersama dewan, dan bupati. Kami juga harap Gubernur Bali berkenan ke lokasi,” sebutnya, sembari meyayangkan saat rapat dengan PLN kurang diberikan porsi berbicara.
Kabupaten yang terdampak langsung lainnya adalah Jembrana. Ketua PHDI Kabupaten Jemberana I Wayan Tontra menjamin setiap proyek pasti didukung sepanjang program pembangunan itu menjaga keseimbangan sekala dan niskala. Namun terkait dengan Jawa-Bali crossing ini, pihaknya dengan tergas menolak, setelah memperhatikan hasil paruman yang digelar beberapa kali. Ia meyakini, mayoritas penduduk Bali akan menolak rencana PLN tersebut karena dinilai melanggar aspek kearifan lokal.
Sementara itu, menurut akademisi yang juga Ketua PPLH Unud I Made Suardana mengaku sangat menyayangkan jika PLN berani melanggar Bhisama PHDI dan kearifan lokal masyarakat Bali. Menurut dia, leluhur orang Bali telah memiliki intelektualitas tinggi yang dituangkan dalam pesan atau bhisama sesuai ajaran Agama Hindu tentang bagaimana menjaga alam agar senantiasa bersahabat dengan kehidupan manusia. Dia megatakan, jauh lebih sulit memenuhi kebutuhan air bersih dari pada kebutuhan listrik.
Bali, kata Suardana, ditakdirkan memiliki pesona alam yang luar biasa, tanpa susah payah membangunnya, tinggal merawat alam, memanfaatkan untuk kemakmuran masyarakatnya.
“Kita kan sudah punya aturan, mana hulu, mana hilir. Contohnya tempat pembuangan akhir (TPA) itu pasti tempatnya di hilir. Karena hulu kita sucikan. Saya rasa masih banyak solusi untuk PLN mencari jalan yang lebih ramah lingkungan. Kearifan lokal adalah benteng terakhir Bali,” sebutnya.
Ketua PHDI Provinsi Bali Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si., mengungkapkan, menyikapi hal itu, PHDI Bali telah mengeluarkan Keputusan bernomor 007/Kep/Pesamuhan madya PHDI Bali/VII/2017 tentang Rencana Proyek Jawa-Bali Crossing. Dalam keputusan itu, jelas Sudiana, dinyatakan rencana proyek Jawa-Bali Crossing tidak sesuai dengan Bhisama Kesucian Pura.
Di samping itu, kata Sudiana, proyek pembangkit listrik tersebut juga mengganggu aktivitas ritual seperti ngaturang pakelem dan kabel-kebelnya membentang melintasi beberapa pura lain di kawasan itu. “Bupati Buleleng juga menolaknya. Itulah inti dari keputusan yang telah kami keluarkan,” beber Sudiana.
Dikonfirmasi terpisah, Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengakui dengan status destinasi pariwisata dunia, menjadikan Bali salah satu daerah dengan kebutuhan listrik tertinggi di Indonesia. “Kita punya 1.200 mega watt, terpakai 850 mega watt. Memang masih ada sisa, tapi itu sangat bahaya jika ada perbaikan yang menyebabkan pemadaman di tempat tertentu. Ini tidak boleh terjadi di Bali,” kata Pastika.
Pastika juga mengakui, pola hidup masyarakat masih berfoya-foya dalam menggunakan listrik, sehingga setiap tahun kebutuhan listrik meningkat. Mau tidak mau, sebut Pastika, Bali membutuhkan tambahan pasokan listrik.
“Pertanyaan nya sekarang kekurangan itu kita datangkan dari luar apa buat sendiri di Bali? Jika masyarakat menolak proyek pembangkit Jawa-Bali Crossing, tentu saya sama, mengikuti masyarakat. Sebaiknya kita bangun pembangkit sendiri di Bali, lebih aman. Bali harus mandiri energi, apalagi kemungkinan untuk itu sangat bisa. Orang Bali itu hebat-hebat sebetulnya,” pungkasnya. (gde)