DENPASAR-fajarbali.com | Harian Bisnis Indonesia menginisiasi diskusi Outlook Ekonomi Indonesia secara seerntak di beberapa kota di Indonesia. Untuk di Bali, dipusatkan di Prime Plaza Hotel, Sanur, Denpasar, Selasa (10/12/2024), dengan tema “Outlook Ekonomi Bali 2025: Transformasi Ekonomi Bali untuk Pembangunan Berkelanjutan".
Diskusi ini mengundang semua komponen, mulai dari pemerintah, asosiasi profesi, perusahaan, pengusaha hingga akademisi. Hal ini dinilai penting bagi masyarakat agar memiliki gambaran terkait perekonomian Bali, terlebih di era pemerintahan yang baru, meski sejumlah nama kepala daerah (gubernur, bupati/wali kota) berstatus petahana yang kembali terpilih.
Dalam paparan materinya, Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Bali, Gusti Agung Diah Utari, sebagai narasumber menyoroti masih terjadinya ketimpangan pembangunan antara Bali Selatan dan Bali Utara. Menurutnya, ketimpangan ini menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagi pemerintah.
Ia berpangangan, jurang ketimpangan Selatan dan Utara Bali itu dipicu oleh pusat aktivitas ekonomi masih berada empat Kabupaten di Bali Selatan yakni Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan (Sarbagita). Konsentrasi perekonomian pada wilayah tersebut juga tercermin dari share ekonomi, hingga kredit dan DPK yang cukup besar.
“Posisi Oktober, realisasi kredit di kawasan pariwisata mencapai Rp95,75 triliun, sedangkan di kawasan non pariwisata Rp27,71 Triliun. Simpanan nasabah juga didominasi dari daerah pariwisata dengan nilai dana pihak ketiga (DPK) Rp151,75 triliun, sedangkan di luar daerah pariwisata hanya Rp21,99 triliun,” ungkap Diah Utari.
Ketimpangan juga tergambar dari rata-rata pendapatan pekerja di kawasan pariwisata dan non pariwisata. Rata-rata pendapatan pekerja di kawasan pariwisata Rp5,67 juta, sedangkan di kawasan non pariwisata hanya Rp3,3 juta. Kawasan non pariwisata meliputi daerah yang pergerakan ekonominya tidak bertumpu pada pariwisata seperti Jembrana, Karangasem, Buleleng, Bangli, Klungkung.
Salah satu solusi mengatasi ketimpangan itu, menurutnya perlu diversifikasi ekonomi agar, pemerataan infrastruktur seperti pembangunan tol Gilimanuk - Mengwi shortcut untuk mendukung aksesibilitas ke luar Bali Selatan.
Akademisi sekaligus pengamat ekonomi dari Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas), IB Raka Suardana berpandangan, jika pemerintah ingin merangsang pertumbuhan perekonomian, maka diperlukan pengembangan sektor padat di luar pariwisata, seperti sektor jasa dan pertanian.
Berdasarkan pengamatannya, pertumbuhan ekonomi Bali diperkirakan berada di kisaran 5,5 sampai 6 persen sejalan dengan peningkatan aktivitas ekonomi global dan nasional. Angka itu masih dalam rentang optimis karena didukung oleh pemulihan sektor pariwisata dan diversifikasi sektor ekonomi lainnya.
Terkait kredit konsumsi dan produktif, ia memprediksi akan tumbuh sekitar 10%-12%, terutama di sektor UMKM dan ekonomi kreatif. “Perbankan mendukung program digitalisasi layanan keuangan untuk UMKM lokal. Peningkatan investasi, investasi pada instrumen berbasis ESG (Environmental, Social, and Governance) diperkirakan akan meningkat, seiring dengan tren pariwisata hijau,” pungkas pengamat yang juga Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Undiknas tersebut.
Senada, narasumber Ida Bagus Putrayasa selaku Fungsional Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Bali mengungkapkan, Pemerintah Provinsi Bali memprioritaskan sektor padat karya seperti pertanian, UMKM dan pariwisata sebagai prioritas pembangunan di 2025.
Putrayasa lantas membeberkan prioritas pembangunan di 2025 yang disusun dalam konsep pemantapan transformasi ekonomi kerthi Bali yang hijau, tangguh, dan sejahtera serta memperkuat daya saing daerah.
“Prioritas nomor satu yakni pertanian, UMKM dan pariwisata, kemudian pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), dan Kesehatan. Kemudian pembangunan adat, tradisi, seni dan budaya, prioritas kelima yakni lingkungan hidup, keenam infrastruktur dan terakhir tata kelola pemerintahan dan reformasi birokrasi,” ujar Putrayasa.
Sektor pertanian sebagai prioritas utama juga terdapat dalam transformasi ekonomi Bali dimana ada 6 sektor unggulan yakni pertanian, perikanan, industri, UMKM, ekonomi kreatif dan digital serta terakhir pariwisata.
Menurut dia, transformasi perekonomian Bali ditujukan untuk memperkuat sektor-sektor di luar pariwisata, sehingga Bali tidak sepenuhnya bergantung pada pariwisata.
“Pasalnya, sektor pariwisata sangat rentan terhadap faktor eksternal dan dinamika internasional, seperti letusan Gunung Agung pada tahun 2017 dan pandemi Covid-19 pada tahun 2020 hingga 2022," kata dia.
Enam strategi telah dirumuskan agar Bali dapat menjalani transformasi tersebut yakni Bali Pintar dan Sehat, dimana sumber daya manusia (SDM) Bali harus sehat bergizi, cerdas berkarakter kuat, dan inovatif dan kreatif.
Kemudian strategi Bali produktif, yakni produktivitas tenaga kerja menuju pekerja kelas menengah, modernisasi pertanian menuju Bali organik, industri hijau bernilai tambah tinggi & berorientasi ekspor, pariwisata berkualitas dan berkelanjutan. Ekonomi kreatif berdaya saing dengan pasar yang luas dan ekosistem UMKM tangguh dan berorientasi ekspor.
Strategi ketiga yakni Bali hijau yang meliputi pengembangan energi bersih (bauran energi terbarukan). Transformasi pengelolaan sampah, transportasi ramah lingkungan, penanganan dampak perubahan iklim dan pengembangan blue economy.
Strategi keempat yakni peningkatan sarana/prasarana konektivitas, pengembangan Bali sebagai, logistik hub udara, integrasi ekonomi Bali-Nusa Tenggara-Jawa Timur.
Bappeda juga menyusun strategi Bali Smart Island dengan program peningkatan literasi digital dan kompetensi SDM, peningkatan kualitas infrastruktur digital, penguatan praktik digital pada dunia usaha dan pelayanan publik, dan destinasi startup global.