Melodi yang Hapuskan Sunyi, di Bali Mandara Nawanatya

DENPASAR-fajarbali.com | Masuk pada pekan ke dua Bali Mandara Nawanatya (BMN) III 2018, Gedung Ksirarnawa Taman Budaya Denpasar kembali diramaikan dengan penampilan sederet musisi lokal.

Empat musisi tersebut berhasil menyampaikan harmonisasi melodi yang boleh dikatakan “menghapus sunyi” gelaran bulan musik BMN III.

Deretan kursi berwarna merah di gedung Ksirarnawa akhirnya ditumpah para penikmat seni yang hendak menyaksikan penyuguh musik kontemporer. Masyarakat tampak tergugah dengan beberapa sajian itu, selaras dengan semangat para musisi yang kian membuncah.
Empat penampil seperti Sanggar Eka Mandala Putra Karangasem, Sanggar Gora Yowana Budaya, Bali Musik Etnik, dan Smara Tantra yang jauh- jauh datang dari Solo, Jawa Tengah, membungkam rasa penasaran khalayak yang kian membumbung langit pekat saat itu, Sabtu (10/3) malam.
Smara Tantra sebagai pembuka pun mempersembahkan tampilan apik bertajuk “Eling Calung” yang mengalun cepat. Grup musik bergenre Jazz itu pun kembali melanjutkan penampilan. Penampilan semakin unik ketika Smara Tantra berkolaborasi dengan Sanggar Eka Mandala Putra.
Tak hanya musisi dari tanah Jawa dan gumi timur Karangasem, Gora Yowana Budaya yang berbasis di Negara, Jembrana pun tak mau kalah dengan menampilkan instrumen jegog-nya. Jegog yang berbahan bambu besar itu dipukul dengan penuh semangat sembilan pemuda. Tak berhenti di situ, mereka memasukkan unsur vokal (nyanyian) ke dalam garapan jegog yang dimainkan. Alunan musik yang tak henti muncul dari Bali Musik Etnik kian menyempurnakan suasana malam minggu. Garapan yang bertajuk “Jalan-jalan” itu sukses membikin penonton terpukau. Mereka menggelar beragam sajian alat musik yang unik.
Made Brati, sesepuh Sanggar Eka Mandala Putra Karangasem, mengaku hanya memerlukan waktu satu bulan menyiapkan garapan tersebut.
“Kita sudah siap sejak sebulan lalu dan kami pun mencoba menggabungkannya dengan musisi solo, dengan tujuan pengembangan budaya itu sendiri,” ujarnya.
Pria yang kini menginjak usia 58 tahun tersebut berharap, adanya garapan ini mampu melahirkan penerus budaya khususnya dalam musik lokal itu sendiri.
Sementara itu, pengamat seni sekaligus Ketua Studi Alat Musik Bali Dr. I Nyoman Astita, MA, mengungkapkan bahwa penampilan musik kontemporer seluruh musisi tersebut merupakan komposisi yang seimbang. “Masing-masing mempunyai warna tersendiri. Jegog dengan tiga level tempo, yakni cepat, sedang, lambat. Jazz fussion yang ritmis dan melodis dan dipadu gamelan. Bali Musik Etnik dengan karya-karya musik invaronment atau ilustrasi yang menggambarkan suasana dan dituangkan dalam alat musik, semuanya unik dan seimbang,” paparnya lantang.
Meski dianggap telah seimbang, namun pria berperawakan kurus itu menilai harus ada sedikit bumbu yang perlu ditambahkan. “Sayangnya tadi hanya jegog yang menyajikan vokal (nyanyian). Kurangnya malam ini (Sabtu lalu) hanya vokalnya saja. Dari jazz kurang ada penampilan vokalis khususnya soprano wanita dan Bali Musik Etnik mestinya bisa menambahkan vokal, sehingga memberikan warna lain yang lebih pekat,” terangnya pelan. Terlepas dari kekurangan tersebut, Astita mengaku senang dengan adanya “rangsangan” musisi lokal, sehingga dapat menyajikan hiburan yang edukatif untuk masyarakat. (eka)

Scroll to Top