Lomba Gebogan UPMI, Wajib Gunakan Bahan Lokal 75 Persen

RENGG

Loading

Lomba membuat Gebogan, sehari sebelum perayaan Hari Raya Saraswati di UPMI Bali.

DENPASAR-sandybrown-gazelle-543782.hostingersite.com | Sehari menjelang puncak Hari Raya Saraswati, persiapan di Pura Widya Aksara, Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI) Bali hampir rampung.

Seperti biasanya, Saraswati kali ini dirangkai dengan beraneka lomba, seperti lomba membuat gebogan, lomba melantunkan puja Tri Sandhya dan Mantra Panca Sembah, Jumat (12/7/2024).

Perwakilan tim juri lomba gebogan, Nyoman Murniasih, di sela penilaian menjelaskan, para peserta yang terdiri dari sembilan tim wajib memenuhi kreiteria.

Kriteria tersebut, yakni wajib menggunakan bahan lokal dengan komposisi 75 persen dan ketinggian gebongan maksimal 60 cm. Selain itu, estetika juga mejadi penilaian yang cukup menentukan.

“Untuk yang 25 persen, kami izinkan menggunakan buah impor. Selebihnya yang 75 persen itu wajib buah lokal, kue tradisonal Bali, janur dan bunga. Intinya bahan yang ramah lingkungan,” jelas Murniasih.

Setiap tim, lanjut dia, terdiri dari tiga sampai lima orang perwakilan dari berbagai program studi. Setelah dinilai, gebogan-gebogan tersebut akan dihaturkan pada puncak Hari Raya Saraswati, Sabtu (13/7/2024), esok.

Surudan atau lungsuran-nya bisa dinikmati bersama-sama setelah persembahyangan usai. Dari pengamatannya, semua peserta tidak menemui kendala dalam proses matanding. Untuk para juaranya rencananya diumumkan besok, sekeligus diberikan piala oleh Rektor UPMI.

Pada kesempatan yang sama, salah satu juri Lomba Puja Tri Sandhya dan Panca Sembah, Dr. Drs. I Made Dharmawan, M.Pd.H., mengakui kemampuan para peserta katagori ini hampir merata. Seleisih nilainya pun sangat tipis.

Yang dinilai dalam lomba ini, menurut Dharmawan, mulai dari penampilan, sikap, kedisiplinan, kelengkapan sarana persembahyangan serta reng atau kemerduan suara pada saat melakukan puja.

BACA JUGA:  Perkuat Ekosistem Kebudayaan Desa-desa Warisan Dunia, Batur Tengah Pentaskan Tari Tattwa Tirtha Mahottama

Dharmawan menjelaskan, reng dinilai dari penempatan suara. “Reng yang bagus itu menggunakan suara dalam. Suara dipusatkan di angkus prana atau kerongkokongan,” Dharmawan.

Terlepas dari hasil nilai perlombaan, pihaknya mengajak seluruh umat Hindu agar lebih meningkatkan sradha bakti, salah satunya dengan menjalankan kewajiban Tri  Sandhya minimal tiga kali sehari.

“Jika kita sibuk bekerja, di jalan pun tidak masalah. Lakukan dalam hati. Jangan lupa tetap hati-hati juga biar selamat di jalan sambil berkendara,” pesannya.

Dari kajian ilmiah, menurutnya, semakin sering melantunkan puja juga berdampak positif bagi kesehatan terutama pernapasan. Sebab, melantunkan puja Tri Sandhya dan kidung-kidung Bali, merupakan bagian dari yoga.

Lomba melantukan Puja Tri Sandhya dan Mantram Kramaning Sembah.

“Dampak melantunkan puja-puja suci banyak manfaatnya. Selain bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi, juga berfungsi sebagai olah raga pernapasan. Badan kita yang dingin akan menjadi panas berenergi. Dahak dan kotoran paru-paru bisa hilang dengan melantunkan puja/kidung,” pungkas Dharmawan.

Rektor UPMI, Prof. Dr. Drs. I Made Suarta, SH., M.Hum., memberi dukungan penuh terhadap segala jenis lomba yang menuntut kreativitas berbasis adat, budaya Bali. Misalnya lomba gebongan.

Sesuai maknanya, kata rektor, gebogan adalah suatu bentuk persembahan berupa susunan dan rangkaian buah buahan, jajanan dan bunga yang dikreasikan sehingga indah dipandang mata.

Begitu pula melantukan puja Tri Sandhya dan kramaning sembah, menuruntnya merupakan kewajiban bagi penganut Hindu. Artinya, tanpa dilombakan pun sudah sepatutnya dilakukan setiap waktu, sesuai pedoman umat.

Rektor juga mengapresiasi kriteria lomba gebogan dengan komposisi 75 persen bahan lokal. Hal ini menjadi salah satu bentuk dukungan UPMI terhadap Pergub 99/2018 yang mengatur tentang pemanfaatan buah lokal.

BACA JUGA:  Gelar GICF, Gianyar Gandeng Yogyakarta

Lebih lanjut, Prof. Suarta mengungkapkan, begitu banyak hikmah yang bisa dipetik dari Hari Raya Saraswati, khususnya di lingkup UPMI. Hari suci yang diyakini sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan bagi umat manusia itu, secara tidak langsung meningkatkan praktik moderasi beragama di UPMI.

“Mahasiswa kami sangat majemuk. Ada Hindu, Muslim dan yang berasal dari NTT (Kristen) juga banyak. Tetapi semua terlibat, berbaur menjadi satu melakukan persiapan menyambut Hari Saraswati. Saya rasa ini contoh yang baik. Bentuk toleransi menjaga keutuhan NKRI,” pungkas Prof. Suarta.

 

Scroll to Top