Komite Sekolah Polisikan Ketua Pembina Yayasan Dwijendra

DENPASAR-fajarbali.com | Yayasan Dwijendra yang terletak di Jalan Kamboja nomor 17 Denpasar Utara menuai masalah. Kasus dugaan penyelewengan dana yayasan yang nilainya hampir mencapai 1 miliar dibongkar Komite Sekolah dan melaporkannya ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Bali, Senin (26/2/2018).



Terlapor dalam hal ini, Ketua Pembina Yayasan, dr. I Ketut Karlota dan anggotanya, I Nyoman Satia Negara. Kasus penyelewengan dana Yayasan Dwijendra ini dilaporkan oleh Ir. Ledang Asmara, selaku perwakilan Komite Sekolah. Tak luput, kasus ini dikawal tim kuasa hukum yakni Yulius Benyamin Sera, Siti Sapura alias Ipung dan Hari Purwanto.

Usai melapor ke SPKT, Benyamin Sera mengatakan yang melaporkan kasus ini adalah Komite Sekolah yang terdiri Komite dari tingkat TK, SD, SMP, SMA dan SMK.



Menurutnya, laporan ini merupakan suara bulat dari pihak Komite Sekolah setelah berembuk 16 Pebruari 2018 lalu, yang juga melayangkan mosi tidak percaya terhadap terlapor, Ketua Pembina, dr. I Ketut Karlota dan anggotanya, I Nyoman Satia Negara.

“Ketua Yayasan Dwijendra sangat mendukung kami untuk melaporkan kasus ini ke Polda Bali,” tegasnya.

Dijelaskannya, kedua terlapor dilaporkan dalam Pasal 5 ayat (1) Jo pasal Perubahan Undang Undang (UU) nomor 16 tahun 2001 dalam perubahannya UU nomor 28 tahun 2004 tentang yayasan.

Secara yuridiksi menyangkut UU yayasan pasal nomor 5 sebagaimana dijelaskan, bahwa kekayaan baik berupa uang, barang maupun kekayan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan UU dilarang dialihkan ataupun dibagikan secara langsung atau tidak langsung baik dalam bentuk gaji, upah maupun honorarium ataupun bentuk lainnya kepada Pembina pengurus dan pengawas.

“Ada pengecualian di ayat 2, dapat ditentukan dalam anggaran dasar yayasan bahwa pengurus menerima gaji upah atau honor dalam hal pengurus yayasan bukan pendiri yayasan yang tidak terafiliasi pendiri Pembina dan pengawas, melaksanakan kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh,” terang pengacara asal Kupang NTT ini.




Selanjutnya pada ayat 3, kata Benyamin Sera, penentuan mengenai gaji dan honor ditetapkan oleh Pembina sesuai kemampuan kekayaaan yayasan.

“Jadi, persoalannya bukan pada upah atau honor. Tapi pengambil dana yayasan yang diduga diambil oleh terlapor adalah dalam bentuk pinjaman pribadi yang digunakan untuk kepentingan pribadi. Disanalah kami temukan indikasi penyimpangan dana yayasan. Karena UU yayasan pasal 5 melarang pengambilan dana secara langsung, apalagi dalam bentuk pinjaman pribadi,” tegasnya.

Nah apakah pelarangan pasal 5 tadi mengandung unsur pidana? Benyamin mengatakan sesuai Pasal 70 UU yayasan mengatakan apabila pelanggaran pasal 5, ada sanksi pidananya yakni ancamannya 5 tahun.

“Dengan adanya dugaan pelanggaran ini kami melaporkan kedua terlapor ke SPKT Polda Bali dengan nomor laporan LP/73/II/2018/Bali/SPKT, tertanggal Senin, 26 Pebruari dan ditandatangani oleh penyidik, AKP I Ketut Budana,” ungkapnya.

Keterangan terpisah, Ipung mengatakan dana yayasan itu berasal dari uang SPP Sekolah Dwijendra. Di Sekolah Dwijendra terdapat 4 ribu lebih siswa yang terdiri dari TK, SD, SMP, SMA dan SMK. Dari 4 ribu siswa itu dan dalam 1 tahun ajaran baru, Sekolah Dwijendra bisa meraup uang SPP sebesar 18 miliar pertahunnya.




“Saya akan sampaikan bagaimana kronologis Ketua Pembina mengambil uang dana SPP dari tahun 2013 hingga tahun 2017. Ada yang jumlahnya Rp 340 juta, Rp 170 juta, Rp 90 juta, Rp 70 juta, bahkan ada yang Rp 16 juta dan Rp 500 ribu. Jumlah dana yang diambil kurang lebih 1 miliar,” bebernya.

Menurut Ipung, selama ini Ketua Pembina seenaknya saja mengambil uang SPP Sekolah Dwijendra untuk kepentingan pribadi. Padahal sesuai ADRT, itu tidak boleh.

“Kalau melihat catatan pendiri yayasan, pendiri bukanlah dia (terlapor). Karlota (terlapor) merupakan anak dari pendiri sebelumnya. Cuma mungkin dia tidak paham yayasan bukan milik pribadi,” sindir Ipung.

Bahkan mirisnya, kata Ipung, terlapor Karlota berdalih seorang dewan pembina juga bisa memecat seluruh pengurus dan bawahannya.

“Jadi dengan kesewenang-wenanganya dia mengambil uang yayasan. Alasannya, yang buat sekolah ini orang tua saya dan saya berhak mengambil uangnya. Gitu alasannya,” terangnya.

Soal adanya pengambil uang, Ipung mengatakan sangat tidak masuk akal. Terlebih, ada yang bisa mengambil uang dana yayasan dengan memberikan kuasa kepada orang lain.

“Mirisnya, bisa memberikan kuasa kepada siapa saja. Bisa adiknya, keponakan dan orang lain. Parahnya lagi, ada salah satu dewan Pembina Putu Mulyadi Seragan malah memberi kuasa kepada anaknya sendiri Made Bagus Diki Jaya Brahmanta untuk mengambil gaji. Kalau bicara ADRT pendiri yayasan, itu yang boleh ambil. Tapi ada istilah memberi surat kuasa, seharusnya tidak boleh,” tandasnya.

Sementara itu Kabid Humas Polda Bali Kombespol Hengky Widjaja membenarkan masuknya laporan kasus penyelewangan di Yayasan Dwijendra. “Kronologisnya belum A1,” ungkapnya (26/2/2018).(hen)