MANGUPURA-sandybrown-gazelle-543782.hostingersite.com | Bertepatan dengan hari Kajeng Kliwon Sasih Kapitu, Rahina Sukra Kliwon Bala, PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (ITDC), menggelar Upacara Pecaruan Nawa Gempang dan Mapakelem, yang dipusatkan di Pulau Peninsula, kawasan The Nusa Dua, Kabupaten Badung, Jumat (3/1/2025). Upacara yang baru pertama kali digelar ini, diselenggarakan sebagai bentuk komitmen ITDC dalam menerapkan Tri Hita Karana (hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam) sekaligus sebagai wujud pelestarian budaya serta harmoni spiritual di dalam kawasan.
General Manager The Nusa Dua, I Made Agus Dwiatmika mengatakan, Upacara Pecaruan Nawa Gempang dan Mapakelem ini baru pertama kali digelar di The Nusa Dua. Disampaikan bahwa upacara ini bermakna untuk harmonisasi dengan alam dan lingkungan. Karena menurutnya secara sadar atau tidak sadar, umat manusia telah mengeksploitasi lingkungan, baik yang dilakukan secara sadar dengan menata lingkungan, maupun secara tidak sadar misalnya membuang sampah, membuat pembangunan-pembangunan yang mungkin bisa merusak alam.
“Maka kami sebagai penanggung jawab di The Nusa Dua bersama tenant-tenant di kawasan dan desa adat yang ada di sekitar kawasan, menggelar upacara ini. Jadi kita berusaha mengembalikan energi alam ke aura positif, agar apa yang kita lakukan di masa mendatang mampu berjalan harmonis dengan lingkungan,” ucapnya.
Tari Rejang Taman Sari mengiringi prosesi Karya Pecaruan Nawa Gempang dan Mapakelem di Pulau Peninsula, kawasan The Nusa Dua.
Agus Dwiatmika menyebutkan, bila merujuk kejadian beberapa puluh tahun terakhir, cukup banyak peristiwa yang terjadi di dalam kawasan. Sehingga melalui upacara ini, pihaknya berusaha agar hal-hal yang sifatnya negatif, kejadian-kejadian yang tidak diinginkan bisa dihindari di kawasan.
“Karena bagaimanapun juga, aktivitas yang dilakukan di dalam kawasan cukup banyak. Boleh dikatakan 24 jam, kemudian secara tamu yang datang kurang lebih sudah lebih dari 2 juta orang setahun. Dengan demikian, dengan adanya energi-energi yang mungkin sudah banyak negatif, kita berusaha membuat keseimbangan. atau mengharmoniskan dengan alam semesta terutama di lingkungan the Nusa Dua,” jelasnya.
“Idealnya secara keyakinan, sebaiknya upacara ini digelar antara 20-30 tahun sekali. Untuk sarana upacara yang digunakan, tingkatan upacara bantennya yang utama. Sedangkan untuk sarana pendukungnya, tetap disesuaikan dengan anggaran biaya. Kita optimalkan dan kita tidak mau terlalu mewah yang penting bantennya sesuai dengan tingkatan utama,” terang Agus Dwiatmika.
Pelaksanaan upacara yang dimulai sejak siang hari, dipimpin oleh Sulinggih Siwa dan Budha, yakni Ida Pedanda Gede Giri Dwija Guna dari Griya Giri Sari Uma Ngenjung Angantaka dan Ida Pedanda Budha dari Griya Tegal Jadi Tabanan. Pada kesempatan ini pula ditampilkan tari atau kesenian sakral sebagai pengiring upacara, di antaranya Rejang Taman Sari, Topeng, dan Wayang Lemah. (M-001)