DENPASAR-fajarbali.com |Di Bali, hari ini, hampir setengah juta keluarga hidup berdampingan dengan anggota keluarga lanjut usia atau lansia.
Pendataan Keluarga 2025 mencatat 465.724 keluarga memiliki anggota keluarga berusia 60 tahun ke atas. Angka ini menunjukkan bahwa isu lansia tidak berada di ruang wacana, tetapi hadir nyata di rumah-rumah, di tengah dinamika keluarga, dan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Perubahan struktur penduduk yang semakin menua menuntut cara pandang yang lebih matang. Usia lanjut tidak semestinya dimaknai sebagai akhir peran, melainkan fase kehidupan yang tetap dapat dijalani dengan kualitas, martabat, dan rasa bermakna.
Secara nasional, proporsi lansia telah mencapai sekitar 12 persen dari total penduduk, dengan rasio ketergantungan lansia sebesar 17,08. Artinya, setiap 100 penduduk usia produktif menopang hampir 18 lansia. Kondisi ini berdampak langsung pada keluarga sebagai ruang utama perawatan dan pendampingan.
Indonesia telah memasuki fase ageing population, dengan proyeksi jumlah lansia mencapai 65,82 juta jiwa atau sekitar 20,31 persen penduduk pada 2045. Kondisi ini kerap disebut sebagai bonus demografi kedua, sebuah peluang besar ketika lansia tetap sehat, aktif, dan terlibat dalam kehidupan sosial.
Di Bali, tantangan tersebut muncul dengan karakter yang berbeda-beda. Kabupaten Buleleng mencatat jumlah keluarga berlansia tertinggi, yaitu 86.602 keluarga atau 47.03% dari jumlah seluruh keluarga yang ada. Sementara Kabupaten Klungkung terendah dengan jumlah keluarga yang memiliki lansia sejumlah 23.773 atau 37.77%. Perbedaan ini menegaskan pentingnya kebijakan lansia yang sesuai dengan konteks wilayah dan kondisi sosial setempat.
Lansia, Kesehatan, dan Rasa Terhubung
Proses menua pada tubuh merupakan bagian alami dari kehidupan. Meski demikian, kualitas kesehatan masyarakat menunjukkan perbaikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada 2024, usia harapan hidup penduduk Indonesia meningkat dari 72,13 tahun pada 2023 menjadi 72,39 tahun. Kenaikan ini mencerminkan adanya kemajuan dalam derajat kesehatan, termasuk pada kelompok lanjut usia.
Namun, peningkatan usia harapan hidup tidak serta-merta menghapus tantangan yang dihadapi lansia. Penyakit kronis seperti hipertensi, diabetes, dan stroke masih kerap menyertai perjalanan usia lanjut. Banyak lansia menjalani hari-harinya dengan kondisi kesehatan yang memerlukan perhatian, meski tidak selalu terlihat di permukaan.
Data Susenas Maret 2024 menunjukkan bahwa sekitar dua dari lima lansia mengalami keluhan kesehatan dalam satu bulan terakhir.
Keluhan tersebut beragam, mulai dari gangguan ringan seperti batuk, pilek, dan sakit kepala, hingga masalah kesehatan yang lebih serius akibat penyakit menahun, disabilitas, atau kondisi degeneratif. Situasi ini berdampak pada aktivitas harian, di mana sebagian lansia mengalami keterbatasan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari.
Di tengah dinamika tersebut, Bali menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Indeks Lansia Berdaya Provinsi Bali dengan nilai 73, tercatat lebih tinggi dibandingkan capaian nasional dan menempati peringkat ketiga tertinggi secara nasional.
Dengan metode penghitungan baru, indeks ini meningkat dibandingkan tahun sebelumnya (2024 : 58) sejalan dengan kenaikan indeks nasional dari 64.4 pada 2024 menjadi 69,2 pada 2025.
Indeks Lansia Berdaya menilai kualitas hidup lansia melalui tujuh dimensi: spiritual, fisik, emosional, sosial kemasyarakatan, intelektual, vokasional, dan lingkungan. Pendekatan ini membantu melihat lansia secara lebih utuh, sebagai individu yang terus bertumbuh dalam peran dan kontribusi.
Menggarap fase akhir siklus kehidupan melalui SIDAYA
Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN menunjukkan komitmen dalam menggarap fase akhir siklus kehidupan melalui Program Lanjut Usia Berdaya (SIDAYA), yang berangkat dari keyakinan bahwa usia lanjut tetap menyimpan peran dan potensi.
Program ini dirancang untuk memastikan lansia tetap sehat, merasa aman, dan dapat berpartisipasi sesuai minat serta kemampuannya, melalui pendekatan integratif yang menghadirkan layanan ramah lansia sekaligus membuka ruang pemberdayaan.
Tujuan utamanya adalah meningkatkan kualitas hidup lansia agar dapat menjalani hari tua secara mandiri dan bahagia, sembari menumbuhkan kepedulian bersama lintas sektor—keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Implementasi SIDAYA mencakup pemeriksaan kesehatan untuk deteksi dini dan pemetaan kebutuhan pendampingan, perawatan jangka panjang berbasis keluarga agar lansia tetap mendapat dukungan orang terdekat, akses ke Sekolah Lansia sebagai ruang belajar sepanjang hayat.
Hingga Desember 2025, tercatat 31 Sekolah Lansia aktif di Provinsi Bali. Dari program ini, 1.246 lansia telah terdaftar sebagai siswa jenjang Standar 1 (S1) dan jenjang Standar 2 (S2) mulai berjalan di sejumlah lokasi sebagai bentuk kelanjutan proses belajar. Hingga akhir 2025, 935 lansia telah mengikuti prosesi wisuda Sekolah Lansia.
Bagi banyak peserta, momen ini menghadirkan kembali rasa percaya diri, kebanggaan, dan semangat untuk terus terlibat di lingkungan sosialnya. Proses belajar menjadi ruang untuk saling berbagi, menjaga kesehatan mental, dan memperkuat hubungan antarwarga.
Cara sebuah masyarakat memperlakukan lansianya mencerminkan nilai yang dijunjung bersama. Lansia menyimpan pengalaman, pengetahuan, dan kebijaksanaan yang tumbuh dari perjalanan hidup panjang.
Ketika mereka diberi ruang untuk tetap belajar, berdaya, dan merasa bermakna, kekuatan sosial itu ikut mengalir ke generasi berikutnya. Dari sanalah fondasi bangsa yang lebih manusiawi dibangun.*
Penulis: Arie Listiani










