DENPASAR-fajarbali.com | Di tengah dinamika kehidupan modern dan tantangan pengasuhan keluarga masa kini, Gerakan Hari Pertama Sekolah Bersama Ayah menjadi salah satu inisiatif strategis dalam membangun keterlibatan ayah sejak awal masa pendidikan anak.
Gerakan ini merupakan bagian dari Program Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI), salah satu quick wins Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN (Kemendukbangga/BKKBN) dalam upaya memperkuat ketahanan keluarga melalui penguatan peran ayah.
Peluncuran gerakan ini tidak hanya menjadi momentum penting secara nasional, tetapi juga memiliki resonansi budaya dan spiritual yang mendalam khususnya di Bali.
Dengan filosofi kehidupan keluarga yang kuat dalam adat dan ajaran Hindu, kehadiran ayah di hari pertama sekolah membawa pesan simbolis dan praktis yang kuat tentang tanggung jawab dan peran aktif seorang purusha (laki-laki) dalam tumbuh kembang anak.
Menurut UNICEF, ketika ayah mulai membangun hubungan emosional dengan bayinya sejak dini, mereka lebih cenderung terlibat aktif dalam proses tumbuh kembang anak.
Keterlibatan ini juga berdampak positif pada kesehatan mental ayah, meningkatkan rasa percaya diri dan kepuasan hidup mereka dalam jangka panjang.
Kepala Pengembangan Anak Usia Dini Global UNICEF, Dr. Pia Britto menyatakan, tidak ada waktu yang lebih penting bagi perkembangan otak selain 1.000 hari pertama kehidupan seorang anak, dan semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa ayah memiliki peran besar dalam proses ini.
"Namun, bukti ini tidak diimbangi dengan investasi dalam dukungan yang sangat dibutuhkan para ayah untuk meningkatkan diri dan menjadi yang terbaik," ungkap Britto.
Kemajuan di bidang ilmu saraf telah menunjukkan bahwa tahun-tahun awal kehidupan, terutama selama 1.000 hari pertama, sangat krusial bagi perkembangan otak anak.
Ketika anak dibesarkan dalam lingkungan yang aman, penuh dukungan, dan kaya rangsangan, otaknya akan berkembang secara optimal.
Koneksi antar sel saraf yang terbentuk selama periode ini memengaruhi kemampuan berpikir, kesehatan, kebahagiaan, cara belajar, respons terhadap stres, serta keterampilan sosial mereka.
Faktor-faktor seperti asupan gizi yang tepat, rasa aman, aktivitas bermain, dan kasih sayang yang konsisten memainkan peran penting dalam memicu terbentuknya koneksi saraf ini.
Hasil survei yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2015 menunjukkan hanya sekitar 27,9% ayah dan 36,9% ibu mencari informasi tentang cara merawat anak sebelum menikah (KPAI, 2017).
Setelah menikah, angka ini meningkat menjadi 38,9% untuk ayah dan 56,2% untuk ibu (KPAI, 2017). Selain itu, adanya keterbatasan waktu yang dialami oleh ayah, dengan rata-rata hanya 1 jam per hari (KPAI, 2017.
Makna Ayah dalam Konteks Adat Bali dan Hindu
Dikutip dari Website Hindujogja.Com, Made Worda Negara menyatakan, dalam ajaran Hindu, peran seorang ayah dipandang sangat penting dan penuh tanggung jawab.
Seorang ayah memikul tugas yang tidak ringan namun sangat mulia, yaitu membesarkan, merawat, mendidik, dan membimbing anak-anaknya.
Tanggung jawab ini dikenal dengan konsep Telu Pratekaning Bapa, yakni tiga kewajiban utama seorang ayah dalam kehidupan keluarga Hindu.
Ketiga kewajiban tersebut meliputi:
Sarira Krta – Ayah bertanggung jawab menjaga kesehatan fisik dan jasmani anak. Dalam Brahma Purana, tubuh (sarira) disebut sebagai sadhana atau sarana untuk mencapai tujuan hidup dalam ajaran Catur Purusa Artha, yaitu Dharma (kebenaran), Artha (kemakmuran), Kama (kebahagiaan), dan Moksa (pembebasan spiritual).
Pranadata / Mapunya Urip – Ayah juga memiliki tanggung jawab untuk menciptakan ketenangan dan kenyamanan secara batiniah atau psikologis bagi anak. Ini mencerminkan bahwa anak adalah bagian dari jiwa orang tuanya, sehingga ikatan emosional harus dijaga dengan penuh kasih.
Annadata – Ayah berkewajiban memberikan nafkah, merawat, serta membesarkan anak hingga tumbuh sehat, kuat, dan siap menghadapi kehidupan secara mandiri.
Dengan menjalankan ketiga kewajiban ini secara konsisten, umat Hindu diharapkan mampu membentuk keluarga yang harmonis dan bahagia (Sukhino). Peran ayah tidak hanya sebatas dalam hal materi, namun juga dalam mendidik anak agar memiliki Guna Vidya—pengetahuan, keterampilan, dan profesi yang dapat menopang kehidupan mereka kelak.
Tak kalah penting, anak juga perlu dibekali dengan Tattwa Adhyatmika, yakni pemahaman mendalam tentang nilai-nilai spiritual dan ajaran agama, sebagai bekal utama dalam menjalani kehidupan dengan penuh kebijaksanaan.
Dengan demikian, akan terwujud generasi suputra—anak-anak yang berbudi luhur dan menjadi pilar utama keluarga Hindu yang sejahtera lahir dan batin.
Tradisi dan Budaya Lokal: Ayah Sebagai Role Model
Dalam tatanan adat Bali yang bersifat patrilineal, peran ayah sangat dominan dalam pewarisan nilai, identitas, dan tradisi. Ayah bertugas menjaga kesinambungan spiritual keluarga melalui pelaksanaan upacara, pemeliharaan tempat suci keluarga (sanggah atau merajan), dan mendidik anak dalam nilai-nilai tatwa (filsafat), susila (etika), dan upacara (ritual). Oleh karena itu, ayah bukan hanya kepala keluarga, tetapi juga penjaga warisan budaya.
Di lain pihak, pengaruh budaya patriarki dalam masyarakat mempengaruhi Pembagian Peran Tradisional. Budaya patriarki di Bali, seperti di banyak tempat lain, cenderung menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab utama urusan rumah tangga dan pengasuhan anak, sementara laki-laki (ayah) fokus pada mencari nafkah dan kegiatan publik.
Bahkan, di dalam kelompok masyarakat tertentu, budaya patriarkhi membentuk persepsi dan ekspektasi masyarakat bahwa ayah tidak perlu terlalu terlibat dalam kegiatan pengasuhan, bahkan dianggap kurang maskulin jika terlalu terlibat dalam urusan domestik.
Akibatnya, ayah seringkali merasa canggung atau bahkan ragu untuk terlibat dalam pengasuhan, khawatir akan pandangan negatif dari masyarakat.
Meski demikian, angin perubahan mulai bertiup. Seiring dengan perubahan jaman dan disrupsi teknologi, Bali mulai mengalami pergeseran nilai dan kesadaran kolektif. Munculnya wacana kesetaraan gender, kampanye parenting modern, dan peran media sosial telah membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai pentingnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan.
Kini, semakin banyak ayah muda di Bali yang berani mendobrak sekat-sekat budaya tradisional, terlibat aktif dalam kegiatan rumah tangga dan pengasuhan anak, sekaligus tetap menjalankan perannya dalam konteks adat. Namun tentu saja, transisi ini tidak berjalan tanpa hambatan.
Banyak ayah menghadapi tekanan sosial dari lingkungan sekitar, bahkan dari keluarga besar, yang masih berpegang pada pembagian peran konvensional. Tantangan terbesar bukan hanya mengubah perilaku, tetapi juga menggeser cara pandang kolektif masyarakat terhadap peran ayah dalam keluarga.
Oleh karena itu, dukungan kebijakan, edukasi, dan kampanye publik yang mendorong peran ayah dalam pengasuhan menjadi sangat penting. Menguatkan peran ayah tidak berarti mengurangi peran ibu, melainkan menciptakan keseimbangan baru yang lebih sehat dan adil dalam struktur keluarga Bali masa kini—sebuah sinergi antara nilai adat dan modernitas yang saling memperkuat.
Hari pertama sekolah semestinya menjadi momen penuh sukacita. Namun di balik semaraknya tagar dan unggahan media sosial bertema “sekolah bersama ayah”, terselip cerita sunyi dari para ibu tunggal.
Di Bali, kehadiran ayah dalam keluarga memiliki dimensi yang jauh lebih dalam. Dalam adat dan ajaran Hindu Bali, sosok ayah bukan hanya sebagai kepala keluarga, tetapi juga sebagai penjaga warisan spiritual, pelaksana upacara adat, hingga penuntun nilai-nilai kehidupan.
Dalam sistem patrilineal yang kuat, keberadaan ayah kerap menjadi simbol identitas dan kesinambungan keluarga.
Sehingga bagi anak-anak yang tumbuh tanpa ayah, bukan hanya aspek emosional yang terasa timpang, tetapi juga perasaan keterpisahan dari struktur adat yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Bali.
Karena itu, banyak ibu tunggal di Bali berharap ada ruang empati dalam narasi publik dan kebijakan. Bahwa tidak semua keluarga memiliki formasi yang sama, dan tidak semua anak bisa memanggil “ayah” di pagi pertama mereka—dan itu bukan kesalahan siapa pun.
Di tengah adat yang memuliakan peran ayah, perlu juga ruang penghormatan bagi ibu yang berjuang sendiri menjaga keseimbangan keluarga—agar anak-anak tetap bisa tumbuh dalam cinta, adat, dan rasa hormat, meski dalam formasi keluarga yang berbeda.
Kekhawatiran muncul dari seorang Single Mom melalui pesan di media Sosial Kemendukbangga_BKKBNBali.
“Apakah himbauan ini sudah mempertimbangkan keadaan anak yang tidak punya ayah lagi nggih ? Anak saya trauma berat selama 1 bulan tidak mau berangkat sekolah karena menyaksikan temannya yg beberapa diantar oleh ayah mereka. Bagaimana jika trauma anak saya terulang kembali nggih?” Begitu ungkapan hati ibu ini.
Menurut Hari Imam Wahyudi, S.Psi, seorang Psikolog Klinis dari Lembaga Psikologi & Hipnoterapi Dian Selaras, dalam situasi seperti ini, para ibu diingatkan untuk tidak terjebak dalam denial terhadap kondisi keluarga yang dijalani maupun realitas sosial yang berkembang.
Sebagai orangtua yang masih aktif mendampingi anak, peran ibu sangatlah penting. Ibu tidak hanya berperan secara fisik dalam mengantar anak ke sekolah, tetapi juga secara emosional dalam membentuk ketahanan psikologis anak.
Di tengah absennya sosok ayah, ibu dituntut untuk hadir sepenuhnya—memberikan pendampingan, menjelaskan situasi keluarga dengan jujur namun tetap penuh kasih, serta membangun pemahaman yang sesuai dengan usia anak.
Kalimat sederhana seperti, “Kita tetap lengkap, karena kita saling sayang, nanti Ibu yang antar sekolah yaa…” bisa menjadi kekuatan luar biasa bagi anak yang mungkin bertanya-tanya tentang ketidakhadiran ayah.
Ibu juga menjadi penopang utama dalam menumbuhkan rasa percaya diri anak. Bahwa kehadiran orangtua di hari pertama sekolah bukan sekadar tentang siapa yang datang, tetapi tentang siapa yang benar-benar hadir dan mendampingi dengan cinta.
Sikap positif ibu, keteguhan dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan anak, dan kemampuan menyalurkan makna kehangatan keluarga dalam bentuk yang berbeda menjadi kunci penting agar anak tidak merasa “kurang” dibanding teman-temannya.
Yang dibutuhkan adalah pengakuan bahwa cinta keluarga hadir dalam berbagai bentuk. Karena sejatinya, cinta dan dukungan tidak harus selalu datang dari dua orang tua dalam satu waktu.
Dalam pelukan hangat ibu, dalam tatapan yang meyakinkan, dalam kata-kata sederhana yang menenangkan, seorang anak tetap bisa merasa utuh, berharga, dan dicintai tanpa syarat.
Bali Siap Gelorakan Semangat Gerakan Sekolah Bersama Ayah
Hari pertama masuk sekolah tahun ajaran 2025/2026 di Provinsi Bali jatuh pada Senin, 21 Juli 2025. Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN melalui Perwakilan BKKBN Provinsi Bali, telah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga Provinsi Bali dan menghimbau para ayah untuk terlibat langsung dalam momen awal anak menempuh pendidikan.
Beberapa Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota seperti Buleleng, Gianyar dan Karangasem telah menerbitkan Himbauan Ayah/Wali Murid Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah.
Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN bahkan telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2025 yang memberikan dispensasi khusus kepada para ayah ASN Kemendukbangga/BKKBN.
Dispensasi ini berupa kemudahan untuk melakukan absen pagi dengan status “RL” di sistem kepegawaian, agar mereka bisa meluangkan waktu mengantar anak ke sekolah tanpa beban administratif.
“Ini bukan hanya soal kehadiran fisik, tapi juga tentang memberi rasa aman, membangun kedekatan, dan menciptakan kenangan pertama yang membekas dalam ingatan anak,” tutur dr. Ni Luh Gede Sukardiasih, M.For.M.A.R.S, Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Bali.
Bagi banyak anak, hari pertama sekolah bisa menjadi momen yang menegangkan, bertemu orang-orang baru dan lingkungan baru yang asing bagi mereka. Tapi kehadiran ayah di sisi mereka bisa menjadi sumber ketenangan luar biasa.
Inisiatif sederhana ini adalah pengingat bahwa keluarga adalah ruang pertama dan utama dalam pendidikan seorang anak. Dan dalam ruang itu, sosok ayah bukan sekadar pelindung atau pencari nafkah, tapi juga pelaku utama dalam membentuk karakter, nilai, dan kepercayaan diri anak sejak langkah pertama mereka menuju masa depan.
Mungkin, hanya butuh satu pagi yang diluangkan, tapi bagi anak-anak itu, kenangan akan ayah yang mengantar di hari pertama sekolah akan tinggal selamanya.