DENPASAR-fajarbali.com | Di antara puluhan calon sarjana Fakultas Pendidikan, Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar, Gede Susila paling menyita perhatian. Susila dipanggil paling akhir. Tepuk tangan pun bergemuruh saat ia diberikan ucapan selamat oleh dekan.
Susila bukan lulusan terbaik dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) sempurna. Bukan pula lulusan dengan waktu studi tercepat. Kekaguman hadirin terletak pada tekad kuatnya.
Pria kelahiran 12 September 1995 ini, menderita polio sejak lahir. Kaki Susila tidak berfungsi. Meski sempat minder, Susila mulai berdamai dengan kenyataan. Ia terus belajar, mengikuti pendidikan di Yayasan Pembinaan Anak Cacat, Jimbaran, Badung, hingga lulus kesetaraan SMA.
Susila lantas memantapkan hati sebagai pendidik mata pelajaran keterampilan dan seni di yayasan tersebut. Di bangku SMA itu pula, Susila menemukan bakatnya di bidang melukis. Bahkan sejumlah karyanya diminati orang asing dan telah diterbangkan ke Prancis.
"Saya juga ngajar keterampilan tangan berbahan sampah plastik sekali pakai," jelas Susila, ditemui di sela Yudisium Fakultas Pendidikan Unhi, Program Sarjana XXIII dan Program Magister ke XXVI bertempat di Hotel Grand Santhi, Denpasar, Kamis (22/5/2025).
Untuk meningkatkan aktualisasi diri, Susila mendaftar sebagai mahasiswa baru pada Program Studi Pendidikan Seni Rupa dan Ornamen Hindu, Fakultas Pendidikan, Unhi tahun 2018 lewat jalur beasiswa.
Dalam perkuliahan sehari-hari, Susila mengendarai sepeda motor roda tiga dari Jimbaran menuju Kampus Unhi di Tembau, Denpasar. Dia mengaku sudah terlatih hidup mandiri, jauh dari orang tua yang tinggal di Buleleng. Susila memang asli Buleleng namun tinggal di Jimbaran, tempatnya mengabdi.
Saat yudisium pun, Susila datang seorang diri tanpa orangtua atau kerabat. Dia merasa bersyukur dikelilingi orang baik yang sigap membantu mendorong kursi rodanya.
Selain kebanggan bagi diri sendiri dan keluarga, secara tidak langsung Susila ingin memotivasi generasi muda agar terap menjaga asa menggapai cita-citanya. "Tidak ada yang bisa membatasi niat. Sekalipun seperti saya yang hidup di atas kursi roda," kata Susila.
Pujian pun datang dari Wakil Dekan Fakultas Pendidikan Unhi Dr. WA Sindhu Gitananda, SS., M.Hum., saat membacakan nama-nama yudisiawan/i. Menurut Sindhu, Susila adalah orang hebat karena sudah menjadi guru sebelum menggenggam sarjana pendidikan.
Hal ini juga, lanjut Sindhu, membuktikan bahwa Unhi adalah perguruan tinggi inklusif yang memberikan kesempatan yang sama bagi siapa saja yang ingin mengaktualisasikan dirinya.
Selain Susila, hal menarik pada Yudisium Fakultas Pendidikan Unhi kali ini dicatatkan oleh I Wayan Suasta sebagai lulusan tertua (63 tahun) pada Program Studi Magister Pendidikan Agama Hindu. Tak main-main, Suasta menyandang predikat kelulusan Cum Laude dengan IPK 3,93.
Sementara lulusan termuda (24 tahun) untuk Program Studi Magister Pendidikan Agama Hindu disandang Maya Ayuning Ati dengan IPK 3,80 Predikat Kelulusan Cum Laude.
IPK tertinggi (3,94) Program Sarjana (S1) diraih Ni Putu Asri Suryati dari Pendidikan Agama Hindu, Predikat Cum Laude. Sedangkan dari Program Magister (S2) atas nama Gusti Agung Ayu Made Seniwati dari Magister Pendidikan Agama Hindu, mencatatkan IPK 3,98.
Dekan Fakultas Pendidikan Unhi Prof. Dr. Drs. Wayan Paramartha, SH., M.Pd., menekankan, yudisium merupakan proses sakral bagi lulusannya yang berasal dari Program Studi Pendidikan Agama Hindu (S1 dan S2), Pendidikan Seni Tari Keagamaan Hindu, Pendidikan Seni Karawitan Keagamaan Hindu, dan Pendidikan Seni Rupa dan Ornamen Hindu.
Meski gelar sarjana dan magister sudah dalam genggaman, namun Prof. Paramartha, mengingatkan lulusannya tidak menganggap hal ini sebagai akhir. Justru awal untuk menapaki perjalanan memberi kontribusi positif bagi pembangunan bangsa dan negara.
Seluruh lulusannya telah ditempa lewat proses akademik dan praktik berdasarkan Satya (Kebenaran), Dharma (Kewajiban) dan Ahimsa (Tanpa kekerasan). Sehingga ia yakin lulusannya mampu menjadi agen perubahan, menjadi pendidikan yang tangguh, cerdas dan beretika.
"Saudara telah melewati proses 'Dwijati' atau lahir kedua kalinya lewat proses pendidikan. Saatnya saudara membuktikan diri mampu beradaptasi di tengah masyarakat," pungkas Prof. Paramartha.