Terdakwa Shillea Olimpia Melyta dalam menjalani sidang dakwaan di PN Denpasar, Selasa (22/10/2024).Foto/ist
DENPASAR-Fajarbali.com|Dokter cantik asal Barito Utara, Shillea Olimpia Melyta (30) diseret ke Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa (22/10/2024) untuk diadili akibat dugaan kelalaian media alias Malpraktek.
Terdakwa Shillea diduga memberikan injeksi obat kepada pasien Warga Negara Asing (WNA) meskipun pasien sudah menyatakan alergi terhadap obat-obatan tertentu.
Akibatnya, pasien bukanya sehat tapi malah mengalami luka. Sidang masih mengagendakan pembacaan dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) Putu Deneil Pradipta Intaran. Dalam dakwaan disebutkan insiden yang menyeret terdakwa ini terjadi pada 14 Februari 2024 di sebuah villa di Jalan Pantai Berawa, Gang Madu, Desa Tibubeneng, Kuta Utara.
Saat itu sekitar pukul 16.00 WITA, korban Jamie IR mengalamai keluhan sakit punggung dan demam. Suaminya, Alain menghubungi klinik Hydro Medical Your IV & Dental Solution yang berlokasi di Jalan Subak Sari No. 20, Banjar Tegal Gundul, Desa Tibubeneng, untuk mendapatkan perawatan medis di tempat.
"Klinik mengirim Shillea Olimpia Melyta sebagai dokter yang menangani pasien tersebut, didampingi seorang perawat bernama Putu Adnyana Putra ynag tiba di lokasi sekitat pukul 19.30 WITA, "ungkap Jaksa. Setiba di lokasi terdakwa langsung melakukan pemeriksaan terhadap Jamie Irena.
Sebelum memberikan obat, terdakwa bertanya kepada pasien apakah memiliki alergi terhadap obat tertentu. “Jamie sudah menyebutkan bahwa dirinya alergi terhadap obat-obatan yang mengandung Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) seperti Ibuprofen dan Aspirin,” ungkap JPU.
Meskipun sudah mengetahui alergi tersebut, terdakwa tetap memberikan serangkaian injeksi obat, termasuk Antrain, yang diketahui berasal dari golongan obat yang sama dengan Ibuprofen dan Aspirin. Akibatnya, setelah kurang lebih 30 menit menerima injeksi obat-obatan tersebut, Jamie mulai merasakan efek samping berupa pembengkakan di wajah dan mata, serta mengalami sesak napas yang signifikan.
Kondisi ini, menurut JPU dalam dakwaannya andalah kondisi reaksi alergi tipe cepat yang dapat berujung pada komplikasi serius, bahkan kematian. Melihat kejadian yang diakibatkan korban, suami korban langsung mengambil foto rekam medis yang diberikan oleh terdakwa, yang menunjukkan daftar obat yang telah diberikan kepada pasien.
Sementara menurut rekam medis, obat yang diberikan kepada Jamie meliputi Infus Nacl 0,946 500 ml, Injeksi Pantoprazole 40 mg, Injeksi Ondansetron 8 mg, Infus Paracetamol 1 gr, Injeksi Soluvit, Injeksi Neurobion, Infus Ringer Lactate 500 ml, Dexamethasone 5 mg, Antrain 1 gr, Nacl 0,549 500 ml, Injeksi Diphenhydramine, dan Injeksi Epinefrin 0,5 mg.
“Namun, terdakwa diduga tidak meminta izin secara lisan maupun tertulis kepada pasien atau keluarga sebelum memberikan obat-obatan tersebut. Alain hanya diminta menandatangani surat persetujuan tindakan tanpa penjelasan detail mengenai obat yang diberikan kepada istrinya,” beber JPU.
Keterangan dari Ahli Forensik dr. Yudy, Sp.F.M, menyebutkan bahwa pemberian obat Antrain kepada Jamie tidak tepat mengingat obat tersebut berasal dari golongan yang sama dengan obat-obatan yang menimbulkan alergi bagi pasien. Berdasarkan visum et repertum dari RSUD Mangusada, korban mengalami pembengkakan di kedua kelopak mata yang sesuai dengan reaksi alergi tipe cepat, yang dapat berujung pada kondisi fatal.
Namun, rekam medis yang disita oleh pihak berwenang dari Direktur klinik Hydro Medical Your IV & Dental Solution, Ni Putu Grace Lande, menunjukkan catatan yang berbeda. Rekam medis dengan Nomor 3105597 tersebut, meskipun merujuk pada penanganan yang sama terhadap Jamie memiliki informasi yang tidak sesuai dengan dokumen yang diambil oleh suami pasien.
Sedangkan, dalam keterangan ahli disebutkan bahwa tidak boleh ada lebih dari satu rekam medis dalam penanganan pasien. Jika terjadi kesalahan pencatatan, perbaikan dapat dilakukan, namun rekam medis tidak boleh diganti.
Atas kelalaian ini, Shillea Olimpia Melyta didakwa melanggar Pasal 440 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Ancaman hukuman dalam pasal tersebut berupa pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.
Atas dakwaan tersebut, pihak terdakwa menyatakan kepada Majelis Hakim akan mengajukan eksepsi. Penasihat Hukum terdakwa, Gendo menyampaikan kepada awak media bahwa pihaknya diberi waktu satu minggu untuk menyampaikan eksepsi tersebut.
"Eksepsi tidak bisa masuk ke pokok perkara, hanya saja dakwaan ini ada beberapa hal formil yang kami perlu sampaikan keberatan, detailnya nanti," ucap Gendo. W-007