Dari ‘Sustainable’ ke ‘Regeneratif’, Penglipuran Tawarkan Model Wisata yang Hidupkan Budaya dan Alam Bali

u7-IMG_5896
Desa Penglipuran menjaga nadi Bali lewat adat, seni, budaya, hingga pelestarian bambu.

DENPASAR-fajarbali.com | Desa Penglipuran, yang terletak di Kabupaten Bangli, terus memancarkan daya tariknya sebagai destinasi wisata unggulan, baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Menjelang penghujung Tahun 2025, desa adat ini tidak hanya mempercantik objek wisata rumah tradisionalnya, tetapi juga tengah menyiapkan pementasan budaya yang sarat makna.

Sebagai sebuah desa yang kini menjunjung konsep regeneratif, Penglipuran menjadi ruang temu yang mempesona, mempertemukan kebudayaan masa lalu Bali dengan dinamika era modern. Penglipuran bukan sekadar deretan rumah tradisional, melainkan sebuah narasi hidup tentang suasana pedesaan yang lestari, sekaligus model desa wisata yang terus meregenerasi diri.

Kepala Pengelola Desa Wisata Penglipuran, I Wayan Sumiarsa, mengakui bahwa desa ini secara rutin menerima tamu dari berbagai latar belakang budaya. Mereka datang bukan hanya untuk melihat-lihat, tetapi untuk mempelajari Penglipuran secara mendalam. "Kami masih mempertahankan budaya-sosial tradisional di Desa Penglipuran, ekosistem tentang sistem kemasyarakatan yang turun temurun dan menjaga kelestarian leluhur," ujarnya, Sabtu (13/12/2025) di Denpasar.

Konsep desa regeneratif yang diusung Penglipuran menandai pergeseran cara pandang dalam pariwisata. Penggiat kebudayaan dan pariwisata Bali, Trisno Nugroho, menjelaskan bahwa kunjungan wisata kini diubah dari sekadar pariwisata berkelanjutan (sustainable) menuju pariwisata regeneratif.

"Artinya apa? Bukan hanya ‘jangan merusak’, tapi setiap kunjungan wisata justru diusahakan menambah kebaikan bagi hutan bambu, bagi struktur sosial dan adat desa, UMKM lokal, dan anak-anak muda Penglipuran. Konsep ini bukan slogan kosong, melainkan kompas yang memandu setiap keputusan, termasuk dalam penataan program akhir tahun seperti Parade Barong Macan dan dekorasi bambu tanpa plastik sekali pakai,” tegas Trisno.

Secara etnografi, Penglipuran berupaya keras agar tidak terjadi perubahan mendasar, namun secara fisik dan sistem, masukan-masukan diterima Sumiarsa untuk pengembangan holistik. Desa ini tetap teguh menjaga sistem adat istiadat, pola kemasyarakatan antar banjar, dan antar desa. Mereka juga menjaga benda-benda fisik, seperti angkul-angkul (gerbang), rumah bambu, dan topeng-topeng tua, sekaligus melestarikan aspek tak benda seperti tata kelakuan, kepercayaan, dan wawasan lokal.

BACA JUGA:  Bali Fashion Network 2025: Kesuksesan dalam Memberdayakan UMKM di Industri Fashion

Prof. Nyoman Sunarta dari Fakultas Pariwisata Universitas Udayana menyoroti bahwa Penglipuran wajib dipahami lebih dari sekadar objek kepariwisataan. Desa ini membawa makna, nilai-nilai, dan norma-norma luhur masyarakatnya. "Penglipuran hadir menjadi media pendidikan, sistem religi, sistem pengetahuan masyarakat lokal atau local genius, yang tertata sampai sekarang ini. Oleh karena itu, pelestarian fisik terutama bangunan bambu alami dan regenerasi sumber daya manusia menjadi wujud nyata dari upaya melestarikan Penglipuran kini dan masa depan,” tuturnya.

Prof. Sunarta menekankan pentingnya melibatkan generasi muda dalam proses perbaikan bangunan bambu yang memerlukan ahli-ahli undagi (tukang dengan keahlian khusus). Pelibatan generasi muda adalah aset masa depan yang harus diedukasi tentang makna mendalam dan budaya abstrak yang melatarbelakangi pelestarian di Penglipuran.

Sumiarsa mengamini pandangan Antropolog Amerika Serikat, Edward T. Hall, yang menyebutkan bahwa budaya merupakan sebuah komunikasi, dan komunikasi adalah budaya. Dengan latar belakang pengunjung yang beragam, Penglipuran terus tumbuh regeneratif.

Desa ini menyadari adanya tantangan yang dinamai Etnosentrisme (Matsumoto, 1996), yakni kecenderungan melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Oleh karena itu, Penglipuran tidak menutup diri dari dunia luar. Meskipun budaya dan sub-kultur baru tumbuh di Bali, Penglipuran berkomitmen agar budaya aslinya tetap lestari.

Menyongsong periode Natal dan Tahun Baru, Pengelola dan masyarakat telah menyiapkan sejumlah atraksi, salah satunya parade Barong Macan yang akan ditampilkan oleh generasi muda. Selain itu, wisatawan kini dapat menyusuri desa yang pernah mendapat gelar desa terbaik dari UN Tourism ini sambil menggunakan pakaian adat dan berkesempatan memasuki hutan bambu.

Untuk mengoptimalkan pengalaman, rumah-rumah warga desa adat kini dibuka sebagai penginapan lokal, memberikan pengalaman bermalam di rumah tradisional khas desa.

BACA JUGA:  Semarakkan September Ceria, The Cakra Hotel Tawarkan Paket Menginap Dengan Aneka Kuliner Di Arjuna Bistro

Pengelola Desa Wisata Penglipuran memproyeksikan jumlah kunjungan wisatawan mencapai 3.000 kunjungan per hari di musim liburan ini. Angka ini disesuaikan dengan kemampuan daya tampung untuk mencegah overtourism, demi menjaga keasrian desa dan kenyamanan warga lokal.

Berdasarkan data, dari Januari hingga November 2025, total kunjungan mencapai 826 ribu atau rata-rata 2 ribu kunjungan per hari. Diprediksi, hingga akhir tahun, kunjungan dapat menembus angka 900 ribu. Wisatawan nusantara dari Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jakarta diprediksi menjadi pengunjung dominan, meskipun kunjungan dari Sumatera diperkirakan akan turun akibat bencana di beberapa provinsi.

Dalam menghadapi potensi bencana musim hujan, Sumiarsa memastikan pihaknya telah menata area yang rawan dan memasang tanda-tanda peringatan pada titik-titik penting, sebagai bagian dari upaya mitigasi risiko demi keamanan pengunjung dan kelestarian desa. (M-001)

BERITA TERKINI

TERPOPULER

Scroll to Top