MANGUPURA-fajarbali.com | Para orangtua belakangan ini mengganggap gawai teknologi atau yang tren disebut gadget, menjadi solusi dalam menumbuh daya kreatif anak. Munculnya anggapan—mengenalkan gawai sejak dini akan membuat anak cepat tanggap teknologi dan tidak gagap teknologi (gaptek)—tidak sepenuhnya benar.
Dengan memberi gawai sebagai solusi percepatan tumbuhkembang anak, justru membuat sistem motorik dan kognitifnya terganggu. Terganggunya sistem motorik pada anak disebabkan kurangnya sosialisasi. Begitu pula kacaunya kognitif anak. Kurangnya sosialisasi atau berinteraksi diakibatkan aktivitas tubuh yang cenderung diam (jarang bergerak).
Hal itu diungkap pakar psikologi Universitas Dhyana Pura (Undhira) Listiyani Dewi Hartika. Menurutnya, pemberian gawai sebagai solusi percepatan pertumbuhan anak bukanlah hal tepat. “Kita tidak bisa bicara kalau penggunaan gadget pada anak itu salah atau benar. Namun yang terpenting, sejauh mana batasan-batasan orangtua memberikan anaknya handphone dan sebagainya. Ketika menggunakan gawai dengan bijak, tentu akan menjadi alat bantu yang cukup baik bagi perkembangan pengetahuannya. Kalau terlalu sering malah akan merusak,” jelasnya , Selasa (13/3/2018) di Mangupura.
Bicara efek positif, Listiyani menilai penggunaan gawai sebenarnya tidak menyebabkan hal yang terlalu serius. Jika disikapi dengan prilaku bijak, gawai akan mampu menjadi media pembelajaran ampuh bagi anak usia dini. Ia menerangkan, anak usia dini tidak perlu diajari hal-hal yang terlalu rumit. Cukup dengan memberi dia suguhan visiualisasi yang menarik akan membuat anak tampil kreatif, dengan kata lain, gawai dapat dijadikan alat melatih sistem berpikir anak usia dini.
Di sisi lain, akibat buruk kecanduan gawai adalah, anak akan mengalami gangguan pada sistem berpikir, speech delay atau keterlambatan bicara, juga kerusakan sistem kerja mata akibat paparan radiasi. Jika itu tak segera ditanggulangi, lanjutnya, maka taruhannya adalah anak mengalami cacat fisik dan mental. Fatalnya lagi, pada saat menginjak usia remaja menuju dewasa, ia akan menjadi anak yang berbeda dari anak kebanyakan.
“Usia batita (bawah tiga tahun) dan balita kan secara teori tidak dibenarkan diperkenalkan gadget sejak dini. Secara psikologis akan menyebabkan anak mengalami gangguan mental, seperti autis. Belum lagi emosi akan memuncak, atau psikisnya terganggu. Dia akan jarang bergaul, atau biasa disebut antisosial,” ungkap akademisi ini.
Dia mencontohkan, berdasarkan persentase, sembilan dari total 10 anak yang cacat mata, lebih diakibatkan paparan radiasi gawai dengan kapasitas terlalu banyak. Selain diakibatkan bahaya radiasi, gangguan bentuk dan fungsi mata pada anak disebabkan kurangnya istirahat. Mata terlalu dipaksa menatap satu tampilan, ditambah kemampuan mata menangkap tampilan begerak belum dapat dilakukan oleh anak usia 3 hingga 5 tahun.
“Sebisa mungkin, anak tiga hingga lima tahun, atau memang belum saatnya anak itu menyentuh teknologi, sebaiknya untuk jangan dikenalkan atau diberikan gawai terlebih dulu. Itu pola yang paling Idealnya. Kalau pun anak itu ingin dikenalkan gawai, lebih baik lakukan pendampingan dan berikan aturan menggunakan gawai selama 15 menit saja,” saran dia. (eka)