DENPASAR-fajarbali.com | Para akademisi dari lima perguruan tinggi di Bali, Yakni Universitas Ngurah Rai (UNR), Universitas Bali Internasional (UNBI), UHN I Gusti Bagus Sugriwa, Universitas Mahasaraswati (Unmas) dan STISIP Margarana, sepakat membentuk sebuah wadah/forum yang khusus bergerak di bidang kesetaraan gender.Â
Bahkan, ke depan kesetaraan gender bakal dirancang masuk ke dalam kurikulum pada program studi yang pas di masing-masing perguruan tinggi peserta forum.Â
Demikain terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) Integrasi Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Kurikulum dan Mata Kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) UNR dengan LSM Bali Sruti, Rabu (28/5/2025), lalu di Kampus UNR. FGD ini juga dihadiri Ketua Dewan Eksekutif Institut KAPAL Perempuan, Misiyah.Â
Dekan FISHUM UNR, Dr. Drs. I Wayan Astawa, SH. MAP., menyebut kegiatan ini sangat relevan karena dalam waktu dekat, FISHUM UNR akan melakukan revisi kurikulum.Â
"Sehingga dengan adanya FGD ini kita bisa mengintegrasikan kedalam kurikulum nantinya, kegiatan ini tidak hanya ajang bertukar pikiran tetapi juga menjadi langkah konkret," jelas Astawa.
FISHUM UNR, lanjut dekan, menaruh perhatian serius pada isu-isu gender yang berkembang. Apalagi kasusnya semakin meningkat bagaikan gunung es. Yang nampak dipermukaan sedikit, karena "speak up" dari masyarakat masih minim.Â
"Bukti keseriusan kami terhadap isu gender ini telah menjalin MoU dengan LSM Bali Sruti dan Institut KAPAL Perempuan. FGD ini adalah salah satu implementasinya," ungkapnya.
Dr. Ir. Luh Riniti Rahayu, M.Si., pimpinan LSM Bali Sruti, mengatakan, kunjungan dari Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan Duta Besar Australia untuk Indonesia ke Sekolah Perempuan di Desa Dauh Puri Kaja, Denpasar, menjadi motivasi tersendiri baginya untuk bekerja lebih maksimal.Â
Bali Sruti merupakan sebuah Non Government Organization (NGO) atau LSM, begitu juga dengan KAPAL Perempuan, yang fokus pada pembela kesetaraan gender.Â
Berdasarkan riset internasional, kesetaraan gender baru akan terwujud 98 tahun lagi. Meski berbagai upaya telah dilakukan oleh para praktisi kesetaraan gender.Â
Saat ini, menurut Riniti, pendekatan ke perguruan tinggi sangat tepat. Sebab, perguruan tinggi akan mencetak calon-calon pemimpin masa depan. Mulai dari kepala desa, legislator, kepala daerah, menteri bahkan presiden.Â
"Untuk itu mindset mahasiswa tentang kesetaraan gender harus kita ubah. Nanti kalau sudah jadi pejabat, mindsetnya sudah terbawa," kata Riniti.
Untuk saat ini, bahkan tidak semua dosen belum paham tentang kesetaraan gender. Tentu hal ini masih wajar sebagai langkah awal. Karena itulah FGD ini sangat penting.Â
"Mengintegrasikan lewat apa? mungkin lewat kurikulum, masuk dalam RPS masing-masing mata kuliah yang diampu. Tujuan selanjutnya kita sepakat membuat sebuah forum, tentang kesetaraan dan keadilan gender. Forum ini bisa bekerja sama dalam riset, seminar, melakukan pengabdian bersama, banyak hal yang bermanfaat bila forum ini terbentuk," kata Riniti.
"Kalau kita mengintegrasikan kesetaraan gender bisa kolaborasi, kalau semua sepakat kita akan memfasilitasi, semoga apa yang Bali Sruti dan Kapal Perempuan harapkan, bisa tercapai, bisa dijadikan keunggulan untuk fakultas yang mengintegrasikan Kesetaraan Gender ini dalam mata kuliah maupun RPS," harapnya.Â
Sementara itu, Misiyah membeberkan hasil riset mencengangkan, di mana hanya 0,35 % orang Indonesia yang tidak bias gender, selebihnya sebesar 99,65 % bias gender, dan berdampak pada meningkatnya eskalasi kekerasan terhadap perempuan, kemiskinan berwajah perempuan, memburuknya kualitas hidup perempuan.Â
"Sangat mencengangkan dari jumlah penduduk 284.438.800 jiwa, tidak sampai 1 % orang Indonesia yang tidak bias gender (Data ini dikeluarkan oleh UNDP pada tahun 2023 yang terjadi di Indonesia dari tahun 2017-2022 tentang Gender Norm Index)," ungkapnya.Â
Gambaran ini, menurut Misiyah, menunjukkan situasi krisis kesetaraan gender. Perguruan Tinggi memiliki arti penting dalam melakukan perubahan sosial sebagaimana mandatnya dalam Tri Darma Perguruan Tinggi.
Sampai sekarang perkawinan anak tergolong tinggi, dimedsos anak usia 14 tahun sudah menikah, para tokoh tokoh membela dengan sangat keras dan dikaitkan dengan agama, gambaran ini menunjukkan situasi krisis kesetaraan gender, mulai penelitian, pengacara.
"Ini yang kita hadapai, bagaimana kita menghadapinya. Bias gender banyak sekali mendatangkan kekerasan. Saat ini yang marak terjadi yaitu kekerasan berbasis online, marak perdagangan seksual melalui online, bahkan ada berbagai oknum yang mempunyai kekuasaan melakukan kekerasan berbasis online. Scamming Online. Masa Pandemi yang membuat perempuan atau isu gender naik," tegasnya.Â
Yang tak kalah mencenganakan, saat ini Indonesia menempati Score Kesetaraan Gender kategori buruk. Konsep gender yang menjadi problem mendasar yang membedakan jenis kelamin laki laki dan perempuan dibedakan sifatnya, perannya, tanggung jawabnya.Â
"Konstruksi yang dibedakan jenis kelamin biologisnya yang mengakibatkan relasi kuasa yang timpang, ini yang menyebabkan adanya kekerasan berbasisi gender," jelas Misiyah.
Menurut Misiyah, keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan, laki-laki dan identitas gender lainnya. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Sedangkan kekerasan berbasis gender merupakan segala tindakan atau perilaku yang mengancam dan membahayakan yang ditujukan pada individu atau kelompok berdasarkan jenis kelamin atau identitas gender yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi, yang berakibat pada kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, atau mental.
Lebih lanjut, masih kata Misiyah, angka kekerasan seksual yang tercatat di perguruan tinggi Indonesia data yang tersedia, pada tahun 2019 tercatat 1.298 kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Tahun 2020 menjadi 1.241.
Namun, setelah pandemi mereda, jumlah kasus kembali meningkat dengan tajam. Pada tahun 2021, mencapai 1.628 kasus, melonjak sekitar 30% dibandingkan tahun sebelumnya.Â
Tren kenaikan yang serupa berlanjut pada tahun 2022, mencapai 2.094, yang menunjukkan kenaikan lebih dari 28% dibandingkan tahun sebelumnya. Di tahun 2023, angka ini terus merangkak naik menjadi 2.244 kasus.
Pada November 2024, tercatat sekitar 1.919 kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Kenaikan dan penurunan angka kasus ini menggambarkan pentingnya upaya yang berkelanjutan dalam mengurangi kekerasan seksual, termasuk pendidikan, perlindungan korban, serta penegakan hukum yang lebih tegas di lingkungan kampus.