AA Gde Agung Jadi “Keynote Speaker” Webinar Gangguan Jiwa Berat

AA Gde Agung-beff5850

Loading

Webinar "Beranda Kesehatan Mental Keluarga. Gangguan Jiwa Berat: Pencegahan dan Penanganannya", Sabtu (27/8), lalu.

 

DENPASAR – sandybrown-gazelle-543782.hostingersite.com | Anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dapil Bali AA Gde Agung berkesempatan menjadi "Keynote Speaker" dalam Webinar "Beranda Kesehatan Mental Keluarga. Gangguan Jiwa Berat: Pencegahan dan Penanganannya", Sabtu (27/8), lalu.

Webinar yang melibatkan narasumber sejumlah pakar kejiwaan dan dokter spesialis kejiwaan itu juga diikuti ribuan peserta secara daring, terdiri dari mahasiswa, siswa, tokoh masyarakat, guru, serta kalangan umum.

Komite III DPD RI, kata AA Gde Agung, memberikan atensi khusus soal gangguan jiwa sesuai tupoksinya. Sehingga, Komite menetapkan pada masa reses di Masa Sidang V Tahun Sidang 2021-2022 menyerap aspirasi dari Provinsi Bali terkait layanan kesehatan jiwa dan berbagai permasalahannya.

Dalam pandangan Komite III DPD RI, kata Bupati Badung 2005-2015 itu, belum optimalnya pelayanan kesehatan jiwa secara tidak langsung memengaruhi tingkat keberhasilan pembangunan kesehatan.

"Selain itu, secara keseluruhan gangguan Kesehatan Jiwa juga dapat mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dan meningkatkan beban dana sosial untuk kesehatan masyarakat," kata Panglingsir Puri Ageng Mengwi ini.

Menurutnya, kesehatan jiwa telah menjadi masalah kesehatan yang belum terselesaikan di tengah-tengah masyarakat, baik di tingkat global maupun nasional. Dua tahun lebih pandemi Covid-19 melanda dunia, telah menyebabkan permasalahan kesehatan jiwa semakin berat untuk diselesaikan.

Saat pandemi, masyarakat bukan saja berjuang untuk mengendalikan penyebaran virus Covid19, tapi juga berjuang untuk menekan perasaan kecemasan, ketakutan, tekanan mental akibat dari isolasi, pembatasan jarak fisik dan hubungan sosial, serta ketidakpastian kondisi ekonomi yang berdampak pada kemiskinan.

"Kementerian Kesehatan mencatat selama pandemi covid-19 hingga Juni 2020, ada sebanyak 277 ribu kasus kesehatan jiwa di Indonesia. Jumlah kasus kesehatan jiwa itu mengalami peningkatan dibandingkan 2019 yang hanya 197 ribu orang," ungkapnya.

BACA JUGA:  Pengembangan Teknologi Pendidikan Mesti Diperkuat

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa gangguan depresi terjadi sejak rentang usia remaja (15–24 tahun) dengan prevalansi 6,2%. Pola prevalansi depresi meningkat seiring dengan peningkatan usia. Tertinggi adalah umur di atas 75 tahun dengan prevalansi 8.9%.

"Jumlahnya cenderung mengalami peningkatan. Untuk saat ini, Indonesia memiliki prevalensi orang dengan gangguan jiwa sekitar 1 dari 5 penduduk. Artinya, sekitar 20% populasi di Indonesia itu mempunyai potensi-potensi masalah gangguan jiwa," imbuh AA Gde Agung.

Jika merujuk data-data tersebut, pihaknya tak heran jika peristiwa keji dan di luar nalar manusia normal dan sadar, seperti bunuh diri, orang tua membunuh anak atau sebaliknya, suami membunuh istri atau sebaliknya, pemerkosaan dalam keluarga.

Ia melanjutkan, sejak 2014, telah diundangkan UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Dengan adanya UU ini, seharusnya Indonesia tidak perlu khawatir tentang penanganan dan layanan kesehatan jiwa bagi seluruh warga negara. UU Kesehatan Jiwa mengatur dan menjamin hak Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) mendapat layanan kesehatan.

Namun dalam hukum /regulasi, acapkali berlaku das sein dan das sollen, yakni hukum yang senyatanya berlaku di masyarakat dan hukum sebagai suatu norma tertulis. Apa yang ideal tertulis sebagai norma dalam sebuah regulasi, pada tataran implementasi tidaklah seideal yang diharapkan.

Fakta yang tidak terbantahkan adalah belum semua provinsi mempunyai rumah sakit jiwa sehingga tidak semua orang dengan masalah gangguan jiwa mendapatkan pengobatan yang seharusnya.

Hingga tahun 2021, namun, masih ada tujuh provinsi di Indonesia yang belum memiliki fasilitas RSJ, yaitu di Provinsi Banten, Kepulauan Riau, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Utara, Kalimantan Utara, dan Papua Barat.

BACA JUGA:  Lavender Leadership

Padahal keberadaan RSJ minimal 1 RS di setiap provinsi merupakan perintah Pasal 52 ayat (2) Undang-Undang Kesehatan Jiwa. Masalah sumber daya manusia profesional untuk tenaga kesehatan jiwa juga masih sangat kurang, karena sampai hari ini jumlah psikiater sebagai tenaga profesional untuk pelayanan kesehatan jiwa hanya sekitar 1.000 orang.

Artinya, satu psikiater melayani sekitar 250 ribu penduduk. Hal ini merupakan beban yang sangat besar dalam upaya meningkatkan layanan kesehatan jiwa di Indonesia. Secara sosiologis, penanganan kesehatan jiwa di Indonesia juga terkendala stigma dan diskriminasi yang masih ditemukan dalam kehidupan masyarakat.

Alih-alih memilih pengobatan secara medis dan psikologis, keluarga justru melakukan tindakan pemasungan, penyekapan atau pengurungan, dan isolasi terhadap penderita, dengan alasan malu atau sebagai aib.

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Kesehatan Jiwa, upaya kesehatan jiwa dilakukan oleh Pemerintah dan Pemda melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. (rl/Gde)

Scroll to Top