Duh, Dua Anak Bali Terpapar Radikalisme

u6-IMG_20251212_184946
WORKSHOP-Kasatgaswil Bali Densus 88 Antiteror, Kombes Pol Antonius Agus Rahmanto, S.I.K., M.Si., bersama Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Provinsi Bali, Ni Luh Gede Yastini.
DENPASAR -fajarbali.com |Densus 88 Mabes Polri mengungkap keterlibatan dua anak Bali yang berusia 13 dan 14 tahun terpapar paham radikalisme. Kedua anak tersebut merupakan bagian dari 110 anak dari 25 Provinsi yang berhasil diungkap Densus 88 bersama Badan Nasional Penanggulan Terorisme (BNPT), pada 18 November 2025 lalu. Ratusan anak tersebut terpapar melalui grup Whatsapp yang dikelola 5 orang dewasa dan kini sudah jadi tersangka.
 
Perihal itu disampaikan Kasatgaswil Bali Densus 88 Antiteror, Kombes Pol Antonius Agus Rahmanto, S.I.K., M.Si., saat acara workshop “Pencegahan, Penanganan dan Reintegrasi Anak Terpapar Paham Intoleransi, Radikalisme, Ekstremisme dan Terorisme” di Denpasar, pada Kamis, 11 Desember 2025. Workshop itu digagas oleh Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Provinsi Bali bersama Densus 88, HIMPSI, dan APSIFOR Bali. 
 
Kombespol Antonius mengakui kedua anak asal Bali yang terlibat dalam jaringan grup WhatsApp radikalisme nasional telah menunjukkan indikasi serius. Terlebih, jika dilihat dari sudut pandang kepolisian, anak-anak ini sudah memiliki niat. 
 
"Itu indikator awal yang tidak bisa diremehkan,” bebernya. 
 
Ditegaskanya, kedua anak tersebut bersama 110 anak lainnya, masuk dalam satu grup WA berisi doktrinasi radikal yang dikelola lima orang dewasa yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Dalam grup itu terdapat pengajaran yang sesat, konten provokatif, dan ajaran yang mengarah pada jaringan teroris. 
 
"Anak-anak ini kita selamatkan dari paparan tersebut,” tegas Kombes Antonius. 
 
Dijelaskanya, pola radikalisme yang berkembang saat ini tidak lagi semata radikalisme agama. Dari beberapa kasus yang terjadi, bentuknya bergeser ke ekstremisme kekerasan. 
 
Seperti kasus SMA 72 Jakarta yang sempat menghebohkan nasional. Disana, ada dua model yang ditemukan di Bali, peetama menyerupai pola ekstremisme seperti di SMA 72, satunya lagi berbasis radikalisme agama. 
 
"Keduanya memiliki akar masalah yang mirip, yakni korban perundungan, antisosial, kurang perhatian keluarga. Mayoritas orang tua dari 110 anak tersebut tidak mengetahui aktivitas radikal yang diikuti anaknya," imbuhnya. 
 
Menurut perwira melati tiga dipundak ini, semuanya berawal dari pencarian informasi oleh anak di media sosial dan internet. Di mana, anak-anak ini bertanya hal-hal tertentu, namun tidak mendapatkan jawaban dari orang rumah.
 
Lalu, mereka mencari di internet, masuk ke channel yang dikelola admin jaringan, lalu ditarik masuk ke ruang privat. 
 
"Di sana mereka diajari oleh orang yang lebih ahli dalam ideologi itu,” ungkapnya lagi. 
 
Dijelaskanya, proses perekrutan berlangsung halus dan sistematis. Apalagi, anak berumur 10 tahun bisa cepat memahami ajaran apapun jika disampaikan oleh sosok yang mereka percaya. 
 
"Kalau yang mengajar berniat buruk, maka yang tertanam adalah pemahaman yang salah. Kombes Antonius menegaskan bahwa kasus ini bukan sekadar alarm, tetapi alarm bahaya," ungkapnya. 
 
Kini, Densus 88 bersama sekolah, desa adat, dinas pendidikan, psikolog, dan seluruh stakeholder kini tengah menyusun sistem respons cepat. Hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak sekolah atau keluarga tapi tanggung jawab semua. 
 
"Kita sedang merumuskan siapa melakukan apa ketika muncul anak dengan gejala paparan radikalisme, supaya penanganannya cepat, sistematis, tidak keroyokan,” ujarnya.
 
Ditanya terkait status hukum kedua anak tersebut, Kombespol Antonius mengatakan bukan tersangka. 
 
"Dalam Undang-Undang Terorisme, anak yang terlibat dianggap sebagai korban. Negara wajib hadir untuk menyelamatkan, memberikan rehabilitasi, dan deradikalisasi,” bebernya. 
 
Sama halnya dikatakan oleh Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Provinsi Bali Ni Luh Gede Yastini. Ia mengakui ada dua anak Bali yang terpapar paham radikal, bagian dari total 110 kasus anak terpapar radikalisme di Indonesia.
 
Menurut Yastini, kedua anak tersebut memiliki karakteristik pemahaman yang berbeda. Namun, seluruh detail yang berpotensi membuka identitas mereka dirahasiakan demi keamanan dan kenyamanan yang bersangkutan. 
 
"Yang terpenting, anak-anak sudah mendapatkan penanganan melalui proses deradikalisasi, pembinaan, dan pengawasan. Pendampingan juga dilakukan oleh Densus 88, KPAD, psikolog, serta pihak-pihak lain yang berkaitan,” ujarnya.
 
Pihak KPAD menekankan bahwa proses pendampingan tidak hanya menyasar anak, tapi juga keluarga sebagai lingkungan terdekat. Upaya re-edukasi dilakukan secara berkelanjutan. Terutama terkait pemahaman keberagaman, nilai anti-kekerasan, serta penguatan wawasan kebangsaan. 
 
"Pendekatan terhadap anak yang terpapar ideologi memang berbeda dari kasus konsultasi anak lainnya. Karena itu, re-edukasi mengenai kebhinekaan dan nilai-nilai damai terus kami lakukan,” jelasnya. 
 
Yastini menyebutkan, kedua anak-anak tersebut berusia 13 dan 14 tahun. Lokasi tempat tinggal mereka tidak diungkapkan karena saat ini masih dalam proses pembinaan dan pengawasan intensif. 
 
"Kami ingin mereka aman dan merasa nyaman dalam kesehariannya. Jadi kami tidak dapat menyampaikan wilayah tinggal mereka,” pungkasnya. R-005 

BERITA TERKINI

TERPOPULER

Scroll to Top