DENPASAR-fajarbali.com | Tanggal 1 Oktober 2025 bukan sekadar pergantian hari di kalender. Dunia memperingati Hari Lansia Internasional—sebuah momen yang mengingatkan kita akan keberadaan generasi yang lebih dulu menapaki jalan panjang kehidupan. Di balik rambut memutih dan langkah yang melambat, ada cerita keteguhan, ada perjuangan yang tak jarang terlupakan.
Pertanyaannya, bagaimana lansia di Indonesia bertahan di tengah perubahan zaman? Apa yang membuat mereka tetap tegak meski tantangan sosial, kesehatan, dan finansial semakin kompleks?
Menua: Antara Kesepian, Kesehatan, dan Kemandirian
Sisi sosial adalah cerita pertama yang sering kali luput kita dengar. Banyak lansia menghadapi kesepian yang diam-diam menggerogoti, terutama ketika anak-anak mereka sibuk bekerja, merantau, atau terjebak dalam ritme kehidupan modern yang serba cepat.
Lingkaran pertemanan pun kian menyempit, satu per satu sahabat sebaya berpulang, meninggalkan ruang kosong yang tak mudah diisi. Kesepian ini bukan sekadar rasa “sendiri”, tetapi bisa memengaruhi kesehatan mental, membuat semangat hidup meredup, bahkan berpengaruh pada kondisi fisik.
Kondisi tersebut bisa menimbulkan rasa tidak berdaya, rendah diri, hingga keinginan untuk segera mengakhiri hidup karena takut menjadi beban. Menurut Hurlock (2004), masalah emosional dan mental yang dialami lansia bahkan lebih berat dibandingkan tahap perkembangan sebelumnya.
Karena itu, dukungan keluarga menjadi penopang utama agar lansia tetap merasa dihargai dan diperhatikan. Selain itu, menjaga kontak sosial dengan teman, tetangga, atau ikut dalam kegiatan kelompok seperti senam, pengajian, atau paduan suara dapat membantu menghadirkan kembali keceriaan.
Di sisi lain, tubuh yang menua memang sebuah keniscayaan. Meski begitu, pada tahun 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rata-rata usia harapan hidup (UHH) penduduk di Indonesia meningkat dari yang semula 72,13 tahun (sekitar 72 tahun 1 bulan 17 hari) pada tahun 2023, menjadi 72,39 tahun.
Angka ini menjadi bukti bahwa derajat kesehatan lansia di Indonesia sudah semakin baik. Namun, realitas lain tidak bisa diabaikan. Penyakit kronis seperti hipertensi, diabetes, hingga stroke masih menghantui, seakan menjadi bayang-bayang yang mengikuti perjalanan usia lanjut. Kalau bicara soal kesehatan, banyak lansia yang diam-diam harus berjuang.
Data Susenas Maret 2024 mencatat, sekitar dua dari lima lansia mengeluhkan kondisi kesehatan dalam sebulan terakhir. Keluhannya beragam, dari yang ringan seperti batuk, pilek, sakit kepala, hingga masalah serius akibat penyakit menahun, disabilitas, atau penyakit degeneratif lainnya.
Angka ini menunjukkan bahwa sekitar seperlima lansia aktivitas hariannya benar-benar terganggu karena sakit. Menariknya, kondisi kesehatan lansia sering kali berkaitan dengan gaya hidup mereka. Contohnya, hampir seperempat lansia masih merokok dalam sebulan terakhir, dan sebagian besar melakukannya setiap hari.
Kebiasaan kecil ini, kalau tidak dikelola, bisa menjadi pintu masuk masalah kesehatan yang lebih besar di masa tua. Selanjutnya aspek finansial sering kali jadi topik sensitif.
BPS mencatat, pada 2024 lansia sudah mencapai 12 persen dari total penduduk Indonesia, dengan rasio ketergantungan sekitar 17,08. Artinya, seratus orang usia produktif harus menopang hampir delapan belas lansia. Kenyataannya, mayoritas lansia bergantung pada anak atau kerabat untuk bertahan hidup.
Tingginya rasio ketergantungan lansia dapat diperparah dengan ketidaksiapan kondisi finansial lansia mengingat tidak semua lansia memiliki jaminan sosial, dana pensiun, atau bahkan sumber pendanaan lainnya yang mampu menopang kebutuhan mereka.
Data Statistik Penduduk Lanjut Usia 2024 juga menunjukkan adanya benang merah antara kesejahteraan dengan pendidikan pada lansia. Mereka yang hidup dengan tingkat kesejahteraan lebih tinggi, umumnya memiliki kemampuan membaca dan menulis yang lebih baik.
Hal ini tak lepas dari pengalaman bersekolah yang lebih lama di masa muda. Pendidikan yang lebih panjang bukan hanya memberi bekal keterampilan, tapi juga membuka peluang ekonomi dan akses pada kehidupan yang lebih layak.
Menuju Bonus Demografi Kedua
Indonesia kini bergerak menuju perubahan besar dalam komposisi penduduknya — dari dominasi usia muda ke struktur yang lebih menua. Menurut publikasi Statistik Penduduk Lanjut Usia 2024 dari BPS, sejak tahun 2021 Indonesia telah memasuki fase struktur penduduk tua (ageing population), di mana sekitar 1 dari 10 penduduk adalah lansia.
Proporsi jumlah lansia sudah mencapai sekitar 12% dari total penduduk Indonesia. Proporsi ini menunjukkan bahwa negara kita telah resmi memasuki era ageing population. Fenomena ageing population bisa menjadi bonus demografi kedua, yaitu ketika
proporsi lansia semakin banyak tetapi masih produktif dan dapat memberikan sumbangan bagi perekonomian negara. Akan tetapi, lansia
dapat menjadi tantangan pembangunan ketika tidak produktif dan menjadi bagian dari penduduk rentan.
Melangkah lebih jauh ke masa depan, proyeksi menunjukkan bahwa pada tahun 2045, jumlah lansia Indonesia akan mencapai sekitar 65,82 juta jiwa, atau sekitar 20,31 % dari total penduduk.
Perubahan ini tidak terjadi lambat — dalam rentang satu dekade terakhir, kenaikan proporsi lansia sudah cukup terasa. Pada 2020, persentase lansia tercatat di kisaran 9,78 % dari penduduk, kemudian pada 2023 naik menjadi 11,75%.
Dengan tren tersebut, banyak prediksi menyebut bahwa pada 2030 dan menjelang 2045, Indonesia memang akan “menua” secara demografis.
Istilah bonus demografi kedua muncul untuk menggambarkan situasi ini: bukan bonus seperti sebelumnya (ketika penduduk usia produktif melimpah dibanding yang nonproduktif), melainkan peluang jika kelompok lansia tetap sehat, aktif, dan berdaya.
Dengan persiapan yang matang—kesehatan yang baik, sistem perlindungan sosial, akses terhadap pendidikan atau pelatihan, dan sarana partisipasi—mereka bisa menjadi aset: sumber kebijaksanaan, kontribusi ekonomi, atau penggerak sosial.
Namun jika dibiarkan tanpa perhatian, efeknya bisa berat: beban pada layanan kesehatan meningkat, tekanan finansial pada keluarga, serta tantangan sosial bagi sistem kesejahteraan negara.
Maka, perubahan demografi ini memanggil kita untuk mempersiapkan lansia hari ini agar bukan hanya penerima belas kasih, melainkan bagian penting dari masa depan Indonesia.
Lansia Berdaya, Indonesia Berjaya
Sering kali kita lupa, nilai seorang manusia tak semestinya diukur hanya dari produktivitas ekonomi. Lansia menyimpan harta berharga berupa pengalaman hidup, kebijaksanaan, serta nilai-nilai luhur yang dapat menjadi pijakan kuat bagi generasi muda.
Karena itu, peran pemerintah dan keluarga sangat penting: menyediakan ruang agar lansia tetap sehat, merasa aman, dan bisa berpartisipasi aktif di tengah masyarakat.
Menjawab tantangan itu, Kementerian Kependudukan dannPembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN menghadirkan program yang menyentuh langsung kehidupan lansia. Melalui Bina Keluarga Lansia (BKL) dan Sekolah Lansia di kelompok BKL, pemerintah berupaya mewujudkan lansia yang tangguh dan berdaya.
Sekolah Lansia hadir sebagai ruang belajar non-formal, di mana para lansia mendapat edukasi seputar kesehatan fisik, psikologis, spiritual, hingga sosial, dengan pendekatan tujuh dimensi lansia tangguh: spiritual, intelektual, fisik, emosional, sosial, vokasional, dan lingkungan.
Selain itu, Kemendukbangga/BKKBN juga menunjukkan keseriusan dalam menggarap aspek siklus terakhir kehidupan manusia melalui Program Lanjut Usia Berdaya (SIDAYA). Menjadi tua bukan berarti kehilangan peran, dan inilah semangat yang diusung melalui program SIDAYA.
Program ini hadir untuk memastikan para lansia tetap sehat, merasa aman, dan mampu berpartisipasi dalam kegiatan sesuai minat dan potensinya. Dengan pendekatan integratif, SIDAYA berupaya menghadirkan layanan yang ramah lansia sekaligus membuka ruang agar mereka bisa tetap berdaya.
Tujuan besarnya sederhana tapi bermakna: mewujudkan lansia yang sehat, mandiri, dan bahagia; meningkatkan kualitas hidup mereka; serta menumbuhkan kepedulian lintas sektor—dari keluarga, masyarakat, hingga pemerintah—untuk bersama-sama mendampingi para lansia.
Kegiatan dalam SIDAYA pun dirancang beragam dan menyentuh langsung kebutuhan mereka. Ada pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi penyakit sejak dini, sekaligus mengidentifikasi siapa yang masih aktif dan siapa yang membutuhkan pendampingan lebih intensif.
Ada juga pendampingan berbasis keluarga, yakni perawatan jangka panjang (PJP) yang memastikan lansia tak berjalan sendiri, melainkan dikelilingi dukungan orang terdekat.
Tak berhenti di situ, SIDAYA juga menyediakan akses ke Sekolah Lansia sebagai ruang belajar sepanjang hayat. Di sana, para lansia bisa terus memperkaya pengetahuan, menjaga kesehatan mental, dan merasakan kebersamaan.
Bagi mereka yang masih ingin berkarya, tersedia program Lansia Entrepreneur, yakni pelatihan ekonomi produktif agar tetap aktif di bidang usaha. Semua ini dipadukan dengan Kartu SIDAYA, identitas khusus yang memberi kemudahan akses layanan dan memastikan hak-hak lansia terpenuhi.
Pada akhirnya, SIDAYA tidak hanya sekedar program biasa, melainkan gerakan untuk mengubah cara pandang kita terhadap lansia. Bahwa mereka bukan beban, melainkan bagian penting dari masyarakat yang layak diberi ruang untuk terus sehat, mandiri, produktif, dan bermartabat.
Perlu Dukungan Serius
Inovasi ini sudah mendapat respon positif dari beberapa daerah di Bali. Kabupaten Badung, misalnya, siap memberikan insentif sebesar satu juta untuk setiap lansia berusia 75 tahun ke atas.
Namun, tantangan sesungguhnya ada pada praktik di lapangan. Apakah desa-desa sudah menyiapkan ruang ramah lansia? Apakah fasilitas publik cukup inklusif? Apakah keluarga tetap bisa menjadi tempat pulang yang hangat?
Menjadi masyarakat ramah lansia bukan sekadar urusan regulasi. Ini soal sikap kolektif: mengakui bahwa lansia bukan beban, melainkan bagian penting dari kita semua. Mereka adalah sumber nilai, inspirasi, dan kasih sayang yang perlu terus kita rangkul.
Hari Lansia Internasional 2025 seharusnya menggugah kita semua: memberi ruang, perhatian, dan cinta bagi mereka yang telah lebih dulu berjuang. Karena ketika lansia berdaya, Indonesia pun ikut berjaya.
Penulis : Ni Made Ari Listiani, S.S, M.Hum (Perencana Ahli Madya/Ketua Tim Kerja Humas dan Informasi Publik Kemendukbangga/BKKBN Perwakilan BKKBN Bali)