SETIAP 10 September, dunia memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia—sebuah momentum untuk menyalakan harapan di tengah gelapnya perjuangan hidup yang kerap tak terlihat. Peringatan ini mengingatkan kita bahwa di balik senyum banyak orang, ada jiwa-jiwa yang sedang berjuang melawan sepi, tekanan, dan rasa putus asa.Â
Bagi Bali, Pulau Dewata yang dikenal penuh cahaya, hari ini terasa semakin penting. Sebab di balik keindahan yang memikat dunia, ada kenyataan lain: angka bunuh diri yang kian meningkat dan menjadi alarm bagi kita semua untuk lebih peduli pada kesehatan mental.
Di Balik Cahaya Hangat Pulau DewataÂ
Bali selama ini dikenal sebagai Pulau Dewata, tempat orang datang mencari ketenangan. Namun di balik senyum ramah dan lanskap yang memesona, ada luka sunyi yang kian terasa: meningkatnya angka bunuh diri. Â
Dilansir dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian Republik Indonesia, kasus bunuh diri di Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun. Dalam kurun empat tahun terakhir, jumlahnya bahkan melonjak hingga 60 persen.Â
Pada 2020 terdata, Polri menangani lebih dari 640 kasus bunuh diri. Setahun kemudian, angka itu sempat sedikit menurun menjadi 629 kasus. Namun, tren kembali melonjak tajam setelahnya.Â
Sepanjang 2022 tercatat 887 kasus bunuh diri, lalu meningkat signifikan pada 2023 hingga menyentuh 1.288 kasus. Tren kenaikan ini berlanjut pada 2024. Hingga Oktober, jumlah kasus sudah mencapai 1.023 kejadian, dan 638 di antaranya terjadi di Bali.
Angka ini menempatkan Bali di posisi ketiga tertinggi setelah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Suasana kian muram setelah pandemi Covid-19. Sebelum 2020, kasus bunuh diri di Bali terbilang rendah. Namun setelah pandemi melanda, jumlahnya melonjak: 93 kasus di tahun 2020, 117 di 2021, 144 di 2022, dan 113 kasus pada 2023.
Lebih memilukan lagi, tingkat bunuh diri atau suicide rate di Bali tercatat sebagai yang tertinggi di Indonesia, dengan angka 3,07—jauh di atas rata-rata nasional.
Wajah-wajah di Balik Angka
Di balik barisan angka yang terlihat kaku, ada kisah-kisah manusia yang membuat dada sesak. Di Gianyar, seorang pelajar yang mestinya masih sibuk menulis mimpi, justru memilih mengakhiri hidup dengan terjun dari jembatan.
Di Denpasar, pasangan suami-istri ditemukan tak bernyawa dalam pelukan terakhir di kamar rumahnya—sebuah simbol cinta yang berakhir tragis.Â
Malam Natal di Bangli yang seharusnya penuh doa dan sukacita berubah menjadi duka, ketika seorang lansia memilih menutup perjalanan hidupnya dengan cara yang sunyi.
Sementara di jembatan Tukad Bangkung, dua saudara kandung melompat bersama, meninggalkan pertanyaan yang tak terjawab bagi keluarga yang ditinggalkan.
Mereka datang dari berbagai rentang usia: anak-anak yang baru belajar mengeja kehidupan, remaja yang tengah mencari jati diri, orang dewasa muda yang bergulat dengan tekanan ekonomi dan pekerjaan, hingga orang tua yang mungkin merasa semakin ditinggalkan. Cara mereka pun berbeda—ada yang memilih gantung diri, ada yang meneguk racun, ada pula yang melompat ke jurang.Â
Namun benang merahnya sama: sebuah rasa putus asa yang tak tertolong, dan luka mendalam yang kini harus dipikul oleh keluarga, sahabat, dan komunitas yang ditinggalkan.
Fenomena bunuh diri di Bali tidak bisa dilepaskan dari berbagai faktor yang saling terkait. Perubahan sosial-ekonomi yang drastis, tekanan dalam keluarga, dan renggangnya ikatan sosial membuat banyak orang merasa sendirian menghadapi hidup. Di sisi lain, gangguan kesehatan mental seperti depresi dan bipolar kerap tidak terdeteksi karena minimnya akses layanan kesehatan jiwa.
Masalah asmara, beban pendidikan, tekanan pekerjaan, hingga kesulitan ekonomi juga ikut memperburuk keadaan. Semua ini menumpuk, membuat sebagian orang kehilangan harapan.
Perspektif Spiritual: Hidup adalah Kesempatan
Dalam kerangka ajaran Hindu, kehidupan dipandang bukan sekadar deretan hari, melainkan kesempatan berharga untuk menuntaskan tugas moral (dharma) dan mematangkan jiwa menuju pembebasan (moksha).
Mengakhiri hidup sebelum waktunya bukan hanya soal tindakan individual; secara teologis ia dipandang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar seperti dharma dan ahimsa — hidup harus dipelihara, dan kekerasan terhadap diri sendiri dianggap mengganjal siklus karmis yang seharusnya dijalani.Â
Referensi klasik seperti Manusmriti bahkan menegaskan konsekuensi spiritual bagi mereka yang memilih menutup hidupnya sendiri: bukan jalan menuju kedamaian, melainkan penderitaan yang berlanjut.
Tradisi Hindu bahkan menawarkan jalan-jalan pengobatan batin. Praktik-praktik spiritual seperti bhakti yoga — penyerahan dan pengabdian yang menenangkan hati — atau meditasi yang menata kembali napas dan pikiran, memberi ruang bagi jiwa yang gelisah untuk bernapas lagi.Â
Perjalanan suci (tirta yatra) dan ritual-ritual di pura memberi pengalaman kolektif: berada bersama dalam doa dan upacara seringkali meredakan rasa keterasingan dan mengingatkan bahwa seseorang bukanlah beban yang harus ditanggung sendirian.
Di ranah sosial, struktur adat Bali — banjar dan desa adat — berperan sebagai jaringan pengaman yang nyata. Banjar bukan hanya tempat pertemuan adat; ia adalah komunitas yang saling mengenal, mengurus, dan merawat.Â
Dalam situasi krisis, keberadaan tetangga yang peka, pemangku yang memberi arahan spiritual, atau keluarga adat yang tersambung kuat dapat menjadi perbedaan antara tetap terjebak dalam kesepian dan menerima uluran tangan. Tradisi gotong-royong dan upacara bersama memberi makna kolektif yang seringkali menguatkan mereka yang rapuh.
Penting juga dicatat bahwa pendekatan spiritual dan adat ini paling efektif bila dipadu dengan layanan kesehatan jiwa modern. Ajaran dan ritual dapat memberi penghiburan, sementara psikoterapi, konseling, dan intervensi medis memberi penanganan praktis untuk gangguan seperti depresi atau gangguan bipolar.Â
Menggabungkan kebijaksanaan lokal—misalnya menempatkan konselor di pusat komunitas atau melatih pemuka adat dan tokoh banjar untuk mengenali tanda bahaya—membuka peluang pencegahan yang sensitif budaya dan menyeluruh.
Singkatnya: tradisi Hindu dan struktur komunitas Bali menyediakan landasan moral dan sarana spiritual untuk merawat jiwa; tetapi untuk benar-benar menurunkan angka bunuh diri diperlukan jembatan antara penghiburan spiritual dan akses layanan kesehatan mental profesional. Keduanya bukan lawan, melainkan mitra yang bisa saling menguatkan demi keselamatan dan kesejahteraan bersama.
Sahabat yang Menyelamatkan : Konselor Sebaya
Bagi generasi muda, penyelamat kadang bukan datang dari tokoh besar, melainkan dari sosok yang paling dekat: teman sebaya. Di tengah tuntutan akademik, tekanan keluarga, derasnya arus media sosial, hingga pencarian jati diri yang penuh gejolak, sering kali remaja merasa lebih nyaman bercerita pada orang yang berada di tahap kehidupan yang sama.Â
Dari sinilah lahir gagasan tentang Konselor Sebaya, sebuah program yang menjadi bagian dari Generasi Berencana (GenRe) yang telah dilaksanakan oleh Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN.
Konselor sebaya bukanlah psikolog atau pakar kesehatan mental. Mereka adalah remaja yang mendapat pelatihan untuk mendengar dengan empati, menahan diri dari menghakimi, dan memberi ruang aman bagi temannya untuk berbagi. Justru karena kedekatan usia, percakapan menjadi lebih cair, lebih hangat, dan lebih mudah membuka hati.Â
Seorang konselor sebaya bisa menjadi orang pertama yang mendengar jeritan batin temannya, entah berupa kegelisahan akademik, tekanan hubungan, atau bahkan pikiran untuk mengakhiri hidup. Dengan begitu, konselor sebaya berfungsi sebagai jembatan penting antara lingkaran pertemanan yang akrab dan sistem pendampingan profesional yang lebih luas.
Program yang merupakan bagian dari semangat GenRe ini menekankan pentingnya remaja tumbuh sehat, tangguh, dan peduli pada sesama. GenRe tidak hanya bicara tentang perencanaan masa depan, tetapi juga menciptakan ruang solidaritas, di mana remaja saling menopang dan mengingatkan bahwa tidak ada yang harus menghadapi kesulitan sendirian.Â
Dalam konteks meningkatnya tantangan kesehatan mental di kalangan generasi muda, keberadaan konselor sebaya menjadi bentuk nyata kepedulian yang membumi: sederhana, tetapi bisa menyelamatkan nyawa.
Di balik setiap percakapan ringan di kantin sekolah, setiap telinga yang rela mendengar tanpa menginterupsi, terselip pesan besar bahwa hidup masih layak dijalani. Konselor sebaya adalah sahabat yang hadir bukan untuk memberi semua jawaban, melainkan untuk mengingatkan bahwa masih ada jalan keluar, masih ada harapan, dan masih ada orang yang peduli.
Menyalakan Cahaya di Tengah Gelap
Bunuh diri bukan sekadar angka. Ia adalah cerita kehilangan, tentang orang-orang yang merasa dunia terlalu berat untuk ditanggung. Namun, di tengah kenyataan pahit ini, selalu ada jalan keluar: melalui pendampingan sahabat, keterlibatan keluarga, dukungan komunitas, dan penguatan spiritual.
Bali, dengan kearifan lokal dan tradisi spiritualnya, sesungguhnya memiliki bekal untuk merawat jiwa. Kini yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mendengarkan, kepedulian untuk saling merangkul, dan komitmen untuk tidak membiarkan siapa pun berjalan sendirian dalam sunyi.
Penulis : Ni Made Ari Listiani, SS, M.Hum/Perencana Ahli Madya-Ketua Tim Kerja Humas dan Informasi Publik Kemendukbangga/BKKBN Perwakilan BKKBN Provinsi Bali
Â
Â