Kepala Perwakilan BKKBN Bali Sabet Doktor di Unud, MDA Sebut Hasil Disertasinya Bermanfaat Bagi Desa Adat

IMG-20250714-WA0005
Dr. dr. Ni Luh Gede Sukardiasih, M.For., MARS., bersama Bandesa Agung Mejelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet, usai Ujian Terbuka dan Promosi Doktor di FIB Unud, Senin (14/7/2025).

DENPASAR-fajarbali.com | Kepala Perwakilan Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Kemendukbangga/BKKBN) Provinsi Bali, dr. Ni Luh Gede Sukardiasih, M.For., MARS., resmi menyandang gelar Doktor (Dr) setelah berhasil mempertahankan disertasinya pada Ujian Terbuka dan Promosi Doktor, Prodi Doktor Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana, Senin (14/7/2025).

Dalam disertasi berjudul "Pergulatan Ideologi Gender dalam Wacana 'Sing Beling Sing Nganten' di Kabupaten Tabanan", dr. Luhde, sapaannya, mengupas tuntas perkembangan wacana 'sing beling sing nganten' di 

Bali yang mengisyaratkan terjadinya pergeseran makna sakral institusi perkawinan dalam kultur masyarakat. 

Fenomena 'sing beling sing nganten' atau 'tidak hamil tidak nikah' mengusik batin, lulusan Sarjana Fakultas Kedokteran Umum Universitas Udayana 1992 ini, yang kemudian digarap lebih serius lagi lewat jalur penelitian akademik.

Menurut dr. Luhde, fenomena tersebut juga terjadi di tanah kelahirannya, Tabanan. Kata dia, per 10 upacara perkawinan, terdapat lebih dari 50% yang mempelai perempuannya sudah hamil.

Beberapa pasangan menyatakan sengaja menunda perkawinan menunggu calon perempuannya hamil, walaupun secara usia, sosial, dan ekonomi sudah siap menikah. 

Artinya, wacana ini sudah bertransfrormasi menjadi ideologi yang melegitimasi hubungan seks pranikah sebagai jalan untuk memastikan lahirnya keturunan (sentana). 

"Ideologisasi wacana ini juga tercermin dari penerimaan sosial bahwa perempuan yang telah hamil ketika melangsungkan perkawinan tidak dipandang sebagai aib, bahkan membuat keluarganya bangga dan bahagia," jelasnya. 

Sebaliknya, perempuan yang tidak dikaruniai anak setelah menikah kerap menerima kekerasan fisik dan simbolik di keluarga, mulai dari sindiran halus hingga disebut "bangkung jubeng" atau mandul.

Birokrat yang mengawali karir sebagai Kepala Puskesmas Becora Dili di Provinsi Timor Timur ini menambahkan, ideologisasi wacana ini menyajikan pergulatan ideologi gender yang menarik karena berpotensi melemahkan posisi perempuan dalam dialektika kodrat dan peran sosialnya, serta cenderung menjadi subjek penderita, baik sebelum maupun setelah perkawinan. 

BACA JUGA:  Pelepasan Siswa SMK Pariwisata dan TI Mengwitani Tahun 2017/2018, 10 Ribu Lulusan Kuasai Pasar Nasional dan Internasional

"Untuk itu, disertasi ini bertujuan untuk membongkar faktor-faktor di balik terartikulasikannya wacana sing beling sing nganten dalam kultur perkawinan, serta bentuk dan implikasi pergulatan ideologi gender dalam wacana tersebut," imbuh ibu tiga anak tersebut.

Dengan demikian, penelitiannya ini dapat membongkar relasi-relasi ideologis di balik wacana yang beroperasi dalam praktik sosial sesuai dengan visi keilmuan Kajian Budaya.

Disertasi ini meyimpulkan bahwa faktor-faktor di balik terartikulasikannya wacana sing beling sing nganten dalam kultur perkawinan di Kabupaten Tabanan meliputi empat hal, yakni penyebarluasan wacana dan afirmasi publik, kepastian memperoleh keturunan, hegemoni ideologi patriarki, dan legitimasi struktural. 

"Bentuk pergulatan ideologi gender meliputi pergulatan ideologi keagamaan, pergulatan ideologi tubuh, pergulatan ideologi kesuburan, dan pergulatan ideologi kepercayaan populer (common sense)," ujar mantan Direktur Bina Ketahanan Keluarga Lansia dan Rentan BKKBN RI (2023 - Jan 2025).

Menurut dia, implikasi pergulatan ideologi gender meliputi domestikasi perempuan, beban berlipat ganda (multiple burden) perempuan, munculnya kesadaran sing nganten sing beling, dan kompromi ideologis yang lebih reorientasi pada tujuan perkawinan. 

Ia membeberkan ada tiga temuan penting dari disertasi ini. Pertama, wacana sing beling sing nganten tidak memiliki akar genealogi tekstual dan historis, tetapi dikonstruksi oleh common sense sehingga meskipun cacat secara intelektual, wacana ini memengaruhi nalar dan tindakanpublik dalam kultur perkawinan adat Bali. 

Kedua, keyakinan tentang pentingnya keturunan atau sentana yang dilanggengkan oleh narasi adat, sosial, dan agama membangun kekuasaan wacana sing beling sing nganten.

Namun wacana ini juga dapat dijadikan kontrahegemoni terhadap wacana pendisiplinan pengaturan anak yang menyebabkan masalah demografis di sejumlah negara, seperti rendahnya tingkat kelahiran dan fenomena childfree yang marak di kalangan remaja. 

BACA JUGA:  UPMI Bali Rancang Teba Modern, Sampah Tuntas di Sumbernya 

Ketiga, wacana ini dapat dijadikan alat perjuangan kewacanaan (discourse struggling) dengan mengubah paradigma ‘sing beling, sing nganten’ menjadi ‘sing nganten, sing beling’ untuk memberikan keadilan kepada perempuan Bali dalam perkawinannya, tanpa harus kehilangan peran keperempuanan-nya.

Ia berharap para akademisi untuk mengembangkan studi tentang wacana sing beling sing nganten dengan beragam perspektif.

Kepada pemerintah pusat dan daerah ia menyarankan untuk mengintensifkan program edukasi pada remaja tentang penyiapan kehidupan keluarga berkualitas melalui perencanaan yang baik melalui kolaborasi multisektoral. 

Kepada tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah disarankan untuk meningkatkan kolaborasi dalam menyikapi makin maraknya hubungan seks pranikah di kalangan remaja, sekaligus menyosialisasikan kembali pentingnya perkawinan sebagai satu-satunya institusi yang sah, baik menurut hukum agama dan hukum negara, dalam upaya mendapatkan keturunan, serta kebahagiaan keluarga. 

Pada masyarakat Bali juga disarankan agar mengkritisi kembali bahwa wacana 'sing beling sing nganten' karena keluarga harmonis, sejahtera, dan bahagia tidak ditentukan oleh keberadaan keturunan (sentana) semata-mata, tetapi lebih penting lagi adalah bagaimana membentuk karakter generasi yang suputra.

Menariknya, penelitian disertasi dr. Luhde bakal digunakan sebagai materi dharma wacana di seluruh desa adat se-Bali. Hal itu dikatakan langsung Bandesa Agung Mejelis Desa Adat Provinsi Bali Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet yang hadir sebagai undangan. 

Temuan-temuan baru dalam penelitian dr. Luhde, menurut Putra Sukahet membuka lebih luas lagi cakrawala masyarakat Bali tentang pergeseran-pergeseran idiologi di masyarakat, terutama menyangkut generasi muda. 

"Menurut Ratu, ini luar biasa. Ratu akan jadikan bahan dharma wacana di setiap desa adat," kata Putra Sukahet. 

Dalam proses pendidikan doktoralnya, dr. Luhde dipromotori oleh Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, MS., Kopromotor I Dr. Nanang Sutrisno, S.Ag.,M.Si., dan Kopromotor II Dr. Drs. I Wayan Suardiana, M.Hum.

BACA JUGA:  Unmas Targetkan AIPT Predikat A

Bertindak selaku Ketua Peguji Disertasi, Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., dengan anggota Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum., Dr. dr. AA Gede Raka Budayasa, Sp.OG , Subsp.K.Fm., Dr. Dra. Ni Desak Made Santi Diwyatrhi, M.Si., dan Dr. Ni Made Ary Widiastini, S.ST.Par., M.Par.

Setelah mempertimbangkan beebagai aspek, meliputi prestasi promovenda selama menempuh studi, ketekunan meneliti, hingga manfaat penelitiannya, Dewan Penguji memutuskan promovenda lulus dengan predikat Dengan Pujian alias Cumlaude.

Scroll to Top