UDG XXXII Disebut Momentum Refleksi Hubungan Manusia dengan Alam

u10-IMG-20251027-WA0003
Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum.

DENPASAR-fajarbali.com | Di tengah maraknya bencana alam dan ketidakteraturan lingkungan yang kian terasa, Utsawa Dharma Gita (UDG) 2025 hadir bukan sekadar ajang pelestarian seni suara keagamaan, melainkan juga sebagai ruang refleksi mendalam tentang hubungan manusia dan alam. 

Kurator UDG XXXII, Prof. Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum, menegaskan bahwa melalui sastra suci Weda dan lontar-lontar klasik, masyarakat diajak kembali memahami filosofi penunggalan manusia dengan alam semesta.

“Bagaimana kita menggali dan memuliakan kekuatan sumber daya alam, itulah bentuk pemuliaan kita terhadap semesta,” ujar Suarka, Sabtu (25/10/2025). 

Dalam konteks membaca Palawakya tahun ini, pihaknya mengangkat topik-topik yang diangkat dari Lontar Wrhaspati Kalpa dan Bhuana Kosa, yang berisi ajaran tentang bagaimana kearifan lokal mengajarkan manusia untuk memuliakan, memberdayakan, dan mengelola alam secara selaras.

Menurutnya, inti ajaran dalam susastra Hindu Nusantara menegaskan bahwa alam adalah cerminan perilaku manusia — keduanya saling silih pati urip atau saling membutuhkan. Ketika manusia berperilaku serakah, alam pun menunjukkan gejala kerusakan. “Kalau alam rusak, itu pantulan dari perilaku manusia yang egois. Alam tidak lagi kita perlakukan sebagai subjek, tetapi objek. Padahal, keduanya sejatinya menyatu,” tegasnya.

Lebih jauh, Suarka menjelaskan bahwa Dharma Gita sejatinya adalah gerakan literasi spiritual dan ekologis. Sastra, menurutnya, bukan hanya indah secara estetika, tetapi juga menjadi jalan untuk mencerahkan batin manusia. “Sastra itu hadir untuk meliterasi masyarakat, terutama generasi muda, agar kembali eling terhadap tanggung jawabnya menjaga alam. Karena kini, semesta kita sedang dalam kondisi disorder, tidak teratur,” katanya.

Ia mencontohkan istilah dalam naskah klasik, Nitisastra "Padiningkali”, yang menggambarkan dunia yang sudah kacau akibat manusia kehilangan keseimbangan batin. Melalui Utsawa Dharma Gita, peserta dan masyarakat diajak melajah samilang megening, megening samilang melajah — belajar dari alam, dan memahami makna hidup dari keteraturan semesta itu sendiri.

BACA JUGA:  Satu Buah Sarkofagus Ditemukan Di Desa Tegallinggah

Suarka yang juga Guru Besar Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Unud, menyebut bencana-bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini bukan semata fenomena fisik, tetapi juga refleksi batin kolektif manusia.

“Ego manusia yang berakar pada manah atau kesenangan semata, menyebabkan alam tereksploitasi. Maka, melalui Dharma Gita, kita ingin menyadarkan manusia agar hidupnya digerakkan oleh budi, bukan sekadar keinginan. Kalau manahnya manuh (selaras), maka laksananya dayuh (perbuatannya baik),” pungkasnya. 

Dengan demikian, Utsawa Dharma Gita 2025 tidak hanya menjadi wadah seni keagamaan, tetapi juga gerakan kesadaran ekologis berbasis spiritual dan budaya, yang meneguhkan kembali jati diri manusia Bali sebagai penjaga harmoni alam semesta — Bhuana Agung dan Bhuana Alit — dalam satu kesatuan suci.

BERITA TERKINI

TERPOPULER

Scroll to Top