Dewa Made Widarma.
TABANAN – fajarbali.com | Program Semara Ratih yang dirancang Perbekel atau Kepala Desa Tegal Mengkeb, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan, telah melayani sekitar 60 pasangan pengantin sejak awal digagas tahun 2017 silam.
Seiring dengan berlakunya Peraturan Presiden (Perpres) 72/2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, Semara Ratih juga melakukan adaptasi dalam layanan programnya sebagai dukungan mencapai target penurununan stunting. Demikian dikatakan Perbekel Tegal Mengkeb Dewa Made Widarma, di ruang kerjanya, Rabu (19/10).
Dewa Widarma merinci alur teknis Program Semara Ratih. Pertama, pasangan calon pengantin (catin) harus melapor tiga bulan sebelum menikah ke kantor desa.
Setelah itu, perbekel mengarahkan Tim Semara Ratih yang terdiri dari Tim Pendamping Keluarga, Babinkamtibmas, dan Bendesa Adat. “Masing-masing anggota tim akan bekerja sesuai bidangnya,” jelas dia.
Dari Tim Pendamping Keluarga yang ada tenaga kesehatannya, kata Widarma akan melakukan screening catin, terutama yang perempuan, meliputi lingkar perut, lengan atas, berat dan tinggi badan, HB, dan cek tensi darah. “Beberapa layanan kami tambahkan agar sesuai dengan upaya pencegahan lahirnya bayi stunting,” ungkapnya.
Selanjutnya dari unsur kepolisan (Babinkamtibmas) memberikan konseling tentang hukum untuk menghindari kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang bisa mengancam keutuhan rumah tangga.
Demikian pula bendesa adat, memberikan pemahaman atau tata-titi tentang kewajiban suami-istri soal kehidupan sosial masyarakat. Terutama masyarakat Hindu Bali yang kental menjunjung adat-istiadat.
“Setelah calon pengantin mengikuti tahapan tadi, pas hari H pernikahannya, kami langsung bawakan akte perkawinan ke rumahnya, dan satu bibit pohon manggis sebagai simbol kejujuran. Kedua benda ini adalah “reward” bagi mereka yang mengikuti program Semara Ratih,” jelasnya.
Pohon manggis itu kemudian ditanam di areal rumah sang pengantin. Menurut Dewa Widarma, penanaman pohon ini mengandung nilai filosifis yang tinggi. Pertama, dalam ajaran Hindu, pohon memiliki Dwi Pramana (Bayu dan Sabda) yang mampu memberikan vibrasi positif bagi rumah tangga. Kedua, buah manggis sangat jujur, karena berapa pun jumlah “juring” di bagian bawah buah, segitulah isi di dalamnya.
“Dalam rumah tangga kan pasti ada ribut-ribut kecil. Nah pas ribut itulah kami sarankan pasangan itu merenung di samping pohon yang mereka tanam saat nikah. Pohon saja yang punya Dwi Pramana bisa tumbuh dengan baik, masa sih kita manusia yang punya Tri Pramana (Bayu, Sabda dan Idep) kalah sama pohon? kan malu ya,” sentilnya.
Meski antusiasme catin sangat tinggi mengikuti program Semara Ratih ini, namun implementasinya bukan tanpa kendala. Karena penyerahan akta perkawinan dilakukan saat hari H, maka aktanya harus diterbitkan sebelumnya.
Sedangkan di Bali, salah satu syarat menerbitkan akta nikah harus ada surat keterangan yang ditandatangani bendesa adat. Secara umum, bendesa hanya mau menandatangani jika upacara pernikahan telah berlangsung.
“Permasalahannya sekarang, jika program Semara Ratih diadopsi ke level kabupaten/provinsi, mau nggak bendesanya tandatangan sebelum upacara pernikahan berlangsung. Kalau kami di Tegal Mengkeb karena sudah komitmen, nggak ada masalah,” ujarnya.
Lebih lanjut, Dewa Widarma mengaku, selama lima tahun terakhir, belum ada pasangan suami istri (pasutri) yang bercerai di wilayahnya. Pihaknya sangat senang dengan situasi ini karena tujuan dibentuknya Semara Ratih untuk memutus rantai perceraian yang cukup signifikan di Desa Tegal Mengkeb.
Program yang diapresiasi Bupati Tabanan I Komang Gede Sanjaya ini juga terinspirasi kisah hidup sang perbekel. Ia adalah korban perceraian orang tua, bahkan hingga dua kali. “Untuk itu saya tidak mau ada warga saya yang bercerai. Cukup saya yang merasakan. Sekarang saya dan jajaran tinggal berupaya bagaimana membentuk keluarga-keluarga berkualitas,” tutupnya. (Gde)