Made Widhi Gunapria Darmpatni, SST., M.Keb.
KESEHATAN ibu sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat serius yang harus ditangani. Trends in maternal mortality 2000 to 2017 oleh World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 295000 kematian ibu di dunia tahun 2017, dimana 9,2% akibat penyebab langsung (World Health Organization, UNICEF, UNFPA, 2019).
Sebesar 99% dari kematian ibu tersebut terjadi di negara berkembang dan 80% ibu meninggal pada masa kehamilan, masa persalinan dan masa nifas yang disebabkan oleh karena adanya komplikasi pada masa tersebut (WHO, 2014).
Saat ini penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi tantangan besar dan perlu mendapatkan perhatian terlebih. Selain resiko adanya kerentanan tertular infeksi juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu sehingga perlu pengelolaan yang serius dan perlakuan khusus.
Meskipun kehamilan merupakan proses yang alamiah, namun tidak setiap kehamilan berakhir dalam kondisi normal mengingat adanya kecenderungan kejadian risiko tinggi dan/atau komplikasi kehamilan di dunia sebesar 15 – 20% (Saifuddin, A.B., Adriaansz, G., Wiknjosastro, G.H., dan Waspodo, D, 2014).
Kehamilan dapat berkembang menjadi komplikasi setiap saat seperti Hiperemesis Gravidarum, Abortus, Hipertensi Dalam Kehamilan (HDK), Solusio Plasenta, Plasenta Previa dan Anemia. Setiap ibu hamil memerlukan pemantauan selama kehamilannya. Salah satu pemantauan yang bisa dilakukan selama kehamilan yaitu melalui skrining dan deteksi dini faktor resiko kehamilan.
Dalam menentukan faktor risiko pada kehamilan dilakukan pengelompokan berdasarkan sifat faktor risiko yang dialami. Poedji Rochjati tahun 2011 membagi risiko kehamilan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama (Ada Potensi Gawat Obstetrik/APGO), kelompok ini memiliki 10 Faktor Risiko (7 Terlalu, 3 Pernah).
Kelompok kedua memiliki 8 Faktor Risiko, ditemukan tanda bahaya pada saat kehamilan terdapat keluhan namun tidak darurat. Kelompok ketiga memiliki 2 Faktor Risiko yang dimana terdapat ancaman nyawa pada ibu dan bayi. Ibu dengan faktor risiko kelompok III sangat membutuhkan pengenalan dini, dirujuk dengan segera tepat waktu, penanganan adekuat di pusat Rujukan dalam upaya penyelamatan ibu dan bayi.
Deteksi dini faktor risiko kehamilan dan pengelolaan yang memadai terhadap faktor risiko kehamilan merupakan the key to success dalam upaya menurunkan AKI. Selain pemberdayaan ibu hamil dan keluarga, pemberdayaan masyarakat sangat dibutuhkan dan menjadi prioritas dalam mencegah kematian ibu di dunia (World Health Organization, UNICEF, UNFPA, 2019).
Hal ini juga diamanatkan dalam PMK 21 tahun 2021 pada BAB VII mengenai pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan terutama kesehatan ibu dalam periode reproduksi yaitu sebagai kader kesehatan yang menggerakkan masyarakat berpartisipasi dalam bidang kesehatan termasuk mendeteksi dini komplikasi kehamilan.
Kader memiliki peran aktif sebagai penggerak dan penyebar informasi kesehatan kepada masyarakat, Kader adalah pendamping keluarga dan masyarakat terutama ibu dan anak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan KIA. Kader yang tinggal bersama di masyarakat dapat membantu keberhasilan program-program pemerintah dalam mengatasi masalah kesehatan ibu dan anak.
Adapun peran kader di antaranya yaitu sebagai pendamping ibu dan keluarganya, menggerakkan keluarga serta masyarakat untuk mendukung kesehatan ibu dan anak, memberikan penyuluhan kesehatan ibu hamil dan serta menggali informasi masalah kesehatan yang sedang di alami oleh ibu hamil, melakukan pencatatan dan pelaporan hasil konseling yang telah diberikan kepada ibu hamil, menemukan masalah yang sedang dialami ibu hamil dan merujuk ibu untuk segera ke fasiliatas kesehatan, menjadi penggerak untuk memotivasi ibu agar dapat meningkatkan kesehatannya, dan menjadi pendamping petugas kesehatan dalam melakukan kunjungan rumah.
Pemberdayaan kader kesehatan merupakan strategi yang sangat tepat mengingat masalah kesehatan tidak cukup hanya diatasi oleh tenaga kesehatan saja, akan tetapi perlu keterlibatan masyarakat. Pada kenyataannya. kasus kehamilan risiko banyak ditemukan di masyarakat, tetapi tenaga kesehatan tidak bisa menemukannya satu persatu. Dengan adanya sumber daya lokal kader kesehatan, pesan- pesan kesehatan lebih mudah diterima, dan dengan lebih jelas.
Penelitian menemukan deteksi dini komplikasi kehamilan sudah dilakukan oleh kader namun tidak semua kader memiliki inisiatif dan mampu mengidentifikasi. Kader masih selalu menunggu informasi dari bidan. Dalam perencanaan persalinan kader juga sudah mampu mendampingi ibu hamil dan memberikan Informasi dan Edukasi namun belum dapat mengarahkan apabila ditemukan permasalahan.
Hambatan kader yang terbanyak adalah sulitnya memberikan pengertian kepada keluarga agar mendukung ibu hamil untuk dirujuk dirumah sakit dan sebagian kader kurang percaya diri dalam mendeteksi resiko pada kehamilan.
Hal ini mengisyaratkan evaluasi pemberdayaan kader dan pembinaan perlu lebih ditingkatkan terutama dalam pemberian materi deteksi dini resiko tinggi (Yanuarini TA, Kristianti S, 2021).
Selain itu pengetahuan dan sikap kader mengenai peran dan tugasnya sebagai pendamping ibu hamil dan perpanjangan tenaga Kesehatan dalam deteksi dini risiko kehamilan masih sangat rendah. Sumber media pembelajaran yang efektif sesuai dengan pengetahuan dan kebutuhannya masih sangat minim. Kader membutuhkan pegangan saat melakukan edukasi bagi ibu hamil di lingkungannya. (Murni H, 2020)
Partisipasi kader kesehatan sangat dibutuhkan, namun banyak faktor yang memengaruhi kemampuannya. Berbagai faktor yang memiliki hubungan dengan kemampuan kader mengenali masalah kesehatan meliputi tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap, sarana prasarana, peran petugas kesehatan dan pelatihan berkala (Eka YC, Kristiawati and Diyan P, 2014) .
Sementara hasil penelitian lainnya menyatakan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja kader kesehatan adalah penghasilan, prestise sosial, umpan balik positif. Insentif uang dan non uang untuk meningkatkan kinerja kader kesehatan (Alam K, Tasneem S, Oliver E, 2012).
Penelitian di Tulungagung menemukan bahwa motivasi kader sangat dipengaruhi oleh pelatihan yang diterima (Retnaningtyas E and Siwi RPY, 2021) Lebih lanjut, hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi tertinggi menjadi kader kesehatan kesehatan adalah meningkatkan kesehatan anak, mendapatkan pendidikan dan pelatihan, merasa diperlukan oleh masyarakat, dan motivasi terakhir adalah kompensasi.(Desiana, Apriza, Erlinawati 2022)
Berdasarkan hasil penelitian di kota Denpasar ditemukan faktor pendorong kader kesehatan dalam melaksanakan perannya adalah adanya kepedulian yang tinggi dari pimpinan wilayah setempat terhadap masalah masalah kesehatan, tercukupinya sarana prasarana yang dibutuhkan kader dalam melaksanakan perannya, adanya supervisi yang sifatnya rutin dan terdapat perencanaan kerja kader serta pengembangan kapasitas kader oleh puskesmas setempat.
Selain itu ditemukan beberapa faktor penghambat pemberdayaan kader kesehatan dalam deteksi risiko kehamilan adalah masih terbatasnya pengetahuan, kurangnya pelatihan tentang kehamilan berisiko yang diterima kader, rendahnya motivasi kader, Dana yang masih minimal dan kehadiran ibu hamil yang masih rendah ke posyandu. (Darmapatni MWG, 2023)
Berdasarkan hal tersebut, pengembangan peran kader masih harus terus ditingkatkan khususnya dalam mendeteksi dini risiko dalam kehamilan. Kader memerlukan jaringan pendukung untuk mampu melakukan deteksi dan rujukan.
Kader perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan yang cukup melalui pelatihan. Peningkatan kapasitas kader akan berdampak pada kepercayaan diri dalam mendeteksi resiko dan memotivasi ibu hamil. Pelaksanaan peran kader yang baik dalam deteksi dini risiko kehamilan tentunya akan berkontribusi terhadap penurunan angka kematian ibu.
Penulis: Made Widhi Gunapria Darmpatni, SST., M.Keb.
(Dosen Jurusan Kebidanan Poltekkes Denpasar)