Sarkopenia: Kenali dan Hindari pada Populasi Lansia!

aaf275f4-bed3-4fc5-8422-8b6aad5a78a6

Loading

PADA populasi orang lanjut usia (lansia), kadang ditemukan lansia yang kurus dan terlihat tidak bertenaga dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Jika ditemukan hal seperti itu, sebaiknya dibawa untuk diperiksa dan diobati karena kemungkinan lansia tersebut mengalami yang namanya sarkopenia.

Sarkopenia diartikan sebagai penyakit otot rangka dimana terjadi gangguan massa otot, kekuatan otot dan performa fisik. Sarkopenia paling sering dijumpai pada orang lansia.

Sarkopenia merupakan suatu penyakit pada lansia atau pasien dengan penyakit penyerta yang menganggu sistem muskuloskeletal (otot dan rangka) atau menganggu aktivitas fisiknya.

Diagnosis dari sarkopenia terdiri dari 3 kriteria, yakni: kekuatan otot, jumlah atau kualitas otot, dan performa fisiknya. Penyusutan dan melemahnya otot tersebut dapat mengakibatkan kesulitan dalam aktivitas sehari-hari dan cenderung memiliki tingkat kesembuhan yang lebih buruk jika terkena penyakit lain atau jika menjalani prosedur pembedahan.

Selain itu, akibat dari kelemahan otot, sarkopenia sangat dikaitkan dengan risiko jatuh yang lebih tinggi dan karena itu lebih berisiko mengalami patah tulang. Dan kelemahan otot tersebut dapat menyebabkan pasien-pasien tersebut semakin harus bergantung pada orang lain untuk aktivitas sehari-harinya. Hal tersebut dapat menyebabkan pasien merasa tidak berdaya dan berisiko mengalami depresi.

Penyebab dari sarkopenia sendiri biasanya dikaitkan pada faktor usia, namun penyebab detailnya masih dipelajari lebih lanjut. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya sarkopenia termasuk kurangnya aktivitas, obesitas, resistensi insulin, penurunan hormon androgen, kurangnya asupan protein dan terganggunya respon pembentukan otot terhadap asupan protein dan olahraga beban.

Selain itu, sarkopenia dikaitkan atau bisa jadi disebabkan oleh beberapa penyakit kronik yang menganggu sistem muskuloskeletal dan aktivitas fisik. Penyakit kronik tersebut meliputi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), gagal jantung, gagal ginjal kronik (GGK), diabetes melitus (DM), virus HIV dan kanker.

BACA JUGA:  Peringati HUT Ke-63, RSUP Prof Ngoerah Gelar Donor Darah dan Terapi Prana

Pada populasi umum, sarkopenia diperkirakan terjadi pada sekitar 5 – 13% populasi usia 60 ke atas, dan angka tersebut meningkat menjadi 11 – 50% pada pasien usia 80 tahun ke atas. Sarkopenia paling sering terjadi pada pasien lansia dan tidak memandang jenis kelamin. Dan sesuai dengan pernyataan di atas, prevalensi sarkopenia lebih tinggi pada pasien yang mengidap penyakit kronik seperti PPOK, gagal jantung, GGK, DM, HIV dan kanker. 

Jika diwawancara, pasien dengan sarkopenia biasanya lansia, tidak banyak beraktivitas dan bisa jadi memiliki berbagai kecacatan ataupun penyakit penyerta. Pasien juga merasakan penurunan fungsi tubuh dan kualitas hidup. Riwayat pasien yang konsisten dengan sarkopenia biasanya mendeskripsikan keadaan penurunan massa otot, kekuatan otot dan fungsi otot yang progresif yang menyebabkan pasien semakin lama semakin sulit menjalani kehidupan sehari-harinya.

Evaluasi dari pasien sarkopenia biasanya mencakup beberapa modalitas dan alat skrining, ada yang praktis ada yang tidak. Evaluasi dimulai dari kuesioner skrining sampai dengan pencitraan radiologis untuk mengukur luas potong lintang massa otot.

Biasanya pasien sarkopenia akan dilakukan pengisian kuisioner Strength, assistance with walking, rising from a chair, climbing stairs, and falls (SARC-F). Kuisioner SARC-F merupakan alat skrining yang bisa dipakai dengan cepat untuk menemukan pasien-pasien yang mungkin mengalami sarkopenia.

Kuisioner ini menanyakan pasien tanda-tanda dari sarkopenia, bagaimana kekuatan otot dalam mengangkat beban 5 kg, apakah perlu dibantu saat berjalan, apakah sanggup beranjak dari kursi, sulitkah saat menaiki tangga, dan apa pernah terjatuh dalam setahun ini. Setiap dari pertanyaan ini memiliki skor minimal 0 dan maksimal 2, dan skor ≥4 menunjukkan bahwa pasien perlu pemeriksaan lanjutan yang lebih komprehensif.

BACA JUGA:  Herbal Semakin Digemari Masyarakat

Untuk menilai kekuatan otot biasanya memakai tes cengkraman tangan. Kekuatan cengkraman berkorelasi dengan kekuatan pada otot-otot lainnya sehingga dipakai sebagai perwakilan untuk menilai kekuatan otot pada pasien yang dicurigai mengalami sarkopenia. Pengukuran kekuatan otot dan interpretasi dari hasil tersebut menggunakan suatu dinamometer yang telah dikalibrasi.

Sampai saat ini, belum ada konsensus yang menyatakan alat yang paling baik dalam mengukur massa otot. Setiap alat memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing, dan seringkali keakuratan suatu alat diiringi dengan harga yang mahal atau pemeriksaan yang tidak fleksibel.

Pengukuran massa otot tubuh biasanya dilakukan dengan alat Magnetic resonance imaging (MRI), Computed tomography (CT), Dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA), atau Bioelectrical impedance analysis (BIA).

Pengukuran performa fisik dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti, kecepatan berjalan. Biasanya tes yang dipakai adalah tes berjalan 4 meter. Dimana pasien berjalan dengan kecepatan yang biasa dia pakai dalam kehidupan sehari-hari sejauh 4 meter.

Kemudian pemeriksa mengukur waktu yang dipakai pasien tersebut untuk berjalan 4 meter. Kecepatan ≤0.8 meter/detik dapat menandakan penurunan performa fisik. Selain itu biasanya tes lain yang dipakai untuk mengukur performa fisik adalah Short physical performance battery (SPPB), Timed-up and go test (TUG) dan tes berjalan 400 meter.

Untuk pencegahan dan tatalaksana dari sarkopenia kuncinya adalah aktivitas fisik dan asupan makanan. Aktivitas fisik, terutama resistance training, seperti angkat beban, push-up, sit-up dan sejenisnya, merupakan cara untuk mencegah dan memperbaiki kondisi sarkopenia.

Aktivitas fisik tersebut juga harus diiringi dengan peningkatan asupan protein lewat suplementasi atau makanan. 20-35 gram protein setiap makan dianjurkan, karena jumlah demikian mengandung asam amino yang diperkirakan mencukupi untuk memaksimalkan pembentukan dan pemulihan otot, sehingga membantu meminimalisir penyusutan otot terkait usia.

BACA JUGA:  Cegah Penularan Corona Kepada Tenaga Kesehatan, RS Diminta Lebih Ketat Terapkan SOP Covid-19

Pasien sarkopenia perlu dimotivasi terus oleh orang yang merawatnya, untuk terus beraktivitas dan terus mengonsumsi makanan yang memadai. Diharapkan dengan aktivitas dan asupan yang konsisten, sarkopenia dapat pelan-pelan teratasi.

Dampak dari sarkopenia biasanya tergantung pada usia, penyakit penyerta, frekuensi jatuh dan apakah terjadi patah tulang. Pasien dengan sarkopenia yang menjalani prosedur pembedahan memiliki hasil akhir yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien tanpa sarkopenia.

Hal tersebut mencakup peningkatan risiko komplikasi post-operasi, risiko jatuh, waktu rawat inap yang lebih lama, risiko fraktur, serta tingkat morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. Selain itu, sarkopenia juga dikaitkan dengan peningkatan toksisitas terkait dosis dari obat pada pasien-pasien yang perlu diberikan obat-obatan tertentu, seperti obat kemoterapi.

Sebagai penutup, sarkopenia merupakan salah satu penyakit yang membuat penurunan kualitas hidup yang signifikan pada pasien yang mengalaminya. Selain itu, sarkopenia juga menghasilkan beban finansial yang tinggi pada pasien, serta penurunan kualitas hidup pada penderitanya.

Dengan tulisan ini diharapkan mereka yang merawat para lansia dapat mencurigai sarkopenia sejak dini dan mulai memeriksakan serta menatalaksananya untuk meningkatkan kualitas hidup sang pasien.***

(Penulis: dr. Irianto)

 

 

 

Scroll to Top