Pengerajin Arak Tradisional Kalah Saing dengan Arak Oplosan,Berharap Dicarikan Solusi 

AMLAPURA - sandybrown-gazelle-543782.hostingersite.com | Asa para petani (penyadap) bahan baku arak maupun pengerajin arak tradisional sempat bernafas lega pasca terbitnya Peraturan Gubernur nomor 1/2020 tentang tata kelola minuman  fermentasi dan atau destilasi khas Bali. Namun apa daya, legalitas itu ternyata dimanfaatkan oleh oknum pembuat arak oplosan. Sudah tentu hal itu sangat merugikan petani penyadap, maupun pengerajin arak tradisional sendiri. Petani dan pengerajin arak pun berharap, pemerihtah mencarikan solusi agar petani dan pengerajin arak tidak tersisih. 

 

 

Salah seorang petani sekaligus pengerajin arak, Made Putra, asal Dusun Telengan, Desa Gegelang, Kecamatan Manggis, Karangasem, Minggu (21/6/2020), mengakui, saat ini arak buatan pengerajin kalah bersaing dengan arak oplosan yanv dicampur dengan air. Arak oplosan, katanya, memang jauh lebih murah dari pada arak asli buatan pengerajin. "Kita kalah saing dengan arak oplosan yang beredar di pasaran," ujarnya. 

 

Sedangkan, kata Putra, untuk arak asli kelas satu buatan pengerajin, harganya berkisar Rp 330 ribu per 10 liter. Itupun, untuk memperoleh 10 liter arak, memerlukan waktu sekitar 10 hari. Berbeda dengan arak apolosan, harganya sangat jauh lebih murah. "Karena proses buatnya juga lama,10 hari kadang dapat 10 liter arak," ujarnya lagi. 

 

Made Putra sangat berterimakasih kepada Gubernur Bali yang telah membuatkan aturan terhadap peredaran arak Bali ini. Apalagi, menjadi petani sekaligus pengerajin arak sudah dilakoni sejak puluhan tahun lalu. Namun, pihaknya juga berharap, pemerintah mencarikan solusi untuk menekan peredaran arak oplosan ini. "Mohon dicarikan solusi, jelas kami sangat dirugikan dengan beredarnya arak oplosan ini," pungkasnya.(bud).

 

Scroll to Top