HEADLINE
Oleh: A.A. Ngr. Eddy Supriyadinata Gorda
Di usianya yang sudah tidak lagi muda, tampaknya Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, terutama mengenai bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hari kelahiran Pancasila yang belum lama kita peringati seolah “gagal” menjadi momentum untuk kembali kepadanya. Layaknya ritual tahunan lainnya, berlalu begitu saja, tanpa ada pemaknaan.
Tantangan terbesar justru malah datang dari penerus Pancasila itu sendiri. Belakangan ramai pemberitaan menyampaikan bahwa Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri 2022 hanya menerima 24 persen pendaftar. Sekitar 200 peserta yang didiskualifikasi karena diduga mengggunakan jasa joki dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi digital. Alih-alih membuat mereka semakin meningkatkan kualitas diri, ketatnya persaingan justru menggoda mereka untuk berbuat curang. Dari sudut pandang manapun ini adalah persoalan yang serius dan merupakan bentuk penghianatan kepada Pancasila.
Belum lagi bicara maraknya kasus kekerasan atau ekstremisme atas nama agama. Bibit-bibit intoleransi di kalangan anak muda tumbuh semakin subur. Sebagai akibat dari sikap dan tindakan intoleran dalam kehidupan beragama. Kenyataan ini menjadi sinyal adanya krisis pembudayaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kebangsaan sekaligus ketidakmampuan lembaga pendidikan untuk menginterinternalisasi dengan nilai-nilai Pancasila secara afektif.
Menuding pendidikan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas krisis di atas tampaknya tidak berlebihan. Dikatakan demikian karena pendidikan merupakan gerbang utama yang dapat mentrasnformasi peserta didik menjadi insan yang berpengetahuan, berbudi pekerti luhur, dan berkarakter. Oleh karenanya, secara logis mudah dipahami, ketika hal tersebut tidak tercapai “there is something wrong” dalam penyelenggaraan pendidikan kita selama ini.
Problema utamanya adalah adanya ketimpangan pengembangan aspek kapabilitas dan keberfungsian. Keberhasilan pendidikan sebagai medium peningkatan kualitas hidup manusia tidak hanya diukur dari segi input sumber daya (kualitas guru, kualitas sarana dan prasarana, rasio guru dan siswa) dan outcomes (hasil sekolah dengan nilai ujian dan kualifikasi tertentu). Hal yang lebih penting adalah keberfungsiannya: apa yang seseorang bisa lakukan dan bisa menjadi secara efektif dalam kehidupan konkret. Kurikulum dan silabus pendidikan layaknya dirancang untuk menghasilkan peserta didik yang mampu membumikan Pancasila dalam setiap tindakan dan pengamalan pengetahuan yang didapat.
Tidakkah mitologi Mayadenawa memberikan kita cukup pembelajaran bahwa bukan hanya kebodohan, tetapi kepandaian juga bisa mengantarkan kita pada kesombongan dan gerbang kehancuran. Kepandaian yang didapatkan dari ilmu pengetahuan harus diimbangi dengan penguatan karakter Pancasila, agar kepandaian tersebut tetap dapat dikontrol dan berjalan di jalur yang dharma (benar).
Dalam konteks ini negara harusnya hadir dan serius meningkatkan kualitas pendidikan melalui penghayatan nilai-nilai Pancasila. Jika kita gunakan metafora, pendidikan tidak ubahnya seperti kita merawat bonsai. Bonsai yang unggul harus mampu mencerminkan kualitas estetika melalui keseimbangan, harmoni, dan kesederhanaan.
Desain keseluruhan tubuhnya membentuk segitiga sama kaki melambangkan kekuatan dan stabilitas. Elemen ini merupakan simbol gerakan, kebebasan, dan kontinuitas. Begitu pula hendaknya generasi muda Indonesia yang senantiasa terus bergerak untuk membangun bangsa, bebas dalam berkreasi, dan secara berkelanjutan terus mau belajar untuk meningkatkan kualitas diri.
Harmoni (dari bentuk dan tekstur) bonsai mengilustrasikan bahwa generasi muda Indonesia hendaknya senantiasa mengutamakan harmonisasi, menghindari konflik. Taat akan hukum, aturan, adat istiadat, dan tata krama yang menekankan perlunya mencegah konflik yang berdampak negatif sebanyak mungkin.
Kesederhanaan desain pohon serta wadahnya mengisyaratkan bahwa hendaknya kita memandang sesuatu secara sederhana, baik dalam gaya hidup, maupun saat memandang masalah.
Untuk mewujudkan bonsai yang unggul seperti di atas tentu tidak mudah. Kita harus mulai dari merawat akarnya. Disinilah peran penting pendidikan untuk “memperkuat” dan “menyuburkan” akarnya dan akar tersebut adalah karakter Pancasila.
Penguatan karakter Pancasila juga tidak melulu harus melalui diklat atu seminar. Penghayatan akan nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini dijalankan bisa menjadi solusi yang lebih efektif. Bukankah lima prinsip yang ada dalam Pancasila mengakomodasi spririt kemanusiaan dan keberagaman di Indonesia? Perayaan Galungan dan Kuningan misalnya yang selalu mengingatkan kita untuk selalu kembali ke jalan ketuhanan (dharma) telah membebaskan kita semua dari kebodohan dan selalu bersyukur serta hidup dalam keharmonisan.
Karakter yang kuat tidak akan membuat generasi muda Indonesia mudah tercerabut dari identitasnya sebagai seorang yang “Pancasila”. Karakter Pancasila akan mengarahkan segala pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang dimiliki untuk mencapai kemandirian dan kemakmuran diri, bangsa, dan negara.
Berdasarkan pengalaman sebagai praktisi pendidikan, pada dasarnya masyarakat menyadari bahwa sebenarnya memang ada sesuatu yang keliru dengan pendidikan kita. Sehingga meskipun setiap tahunnya angka partisipasi pendidikan rata-rata meningkat, tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya yang dihasilkan. Ironisnya, nyaris semua orang bingung mengatasi berbagai masalah yang ada. Perubahan regulasi pendidikan secara konstan terus terjadi, namun hasil yang diinginkan tidak kunjung tampak.
Perubahan sistem pendidikan dengan kembali ke “akar”, memberi perhatian lebih pada perbaikan dimensi tata nilai mental-spiritual-karakter (mental-kultural) yang berorientasi pada pengamalan nilai-nilai Pancasila barangkali bisa menjadi salah satu jawaban atas segala permasalahan yang ada. Ke depan jalan pendidikan kita semakin terjal. Tantangan internasionalisasi akan semakin sengit. Jika kita tidak mampu untuk menyelesaikan masalah di “dalam” terlebih dahulu pertaruhan pembangunan dan bonus demografi menjadi taruhannya.
BANGLI – fajarbali.com | Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI) atau milenial mengenal Mahadewa University menggelar bakti sosial (baksos) di Desa Apuan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Pembukaan baksos digelar di Balai Banjar Bangun Lemah Kawan, Apuan, Jumat (24/6), lalu.
Bisa dikatakan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia layaknya seperti “roler coaster” senantiasa mengalami naik dan turun. Tidak hanya dalam bidang olahraga saja (sepak bola dan bulu tangkis misalnya) akan tetapi tensi politik juga sering memicu ketegangan diantara kedua negara.
Baru-baru ini, Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad menyampaikan pernyataan yang bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak elok diucapkan oleh seorang mantan pejabat yang pernah disegani di Indonesia. Di dalam pernyataannya tersebut Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad menyatakan bahwa Kepulauan Riau dan Singapura pernah menjadi bagian dari Johor, sehingga seharusnya dikembalikan ke asalnya, yaitu Malaysia. Tentu hal ini membuat pemerintah dan masyarakat Indonesia kecewa terhadap pernyataan tersebut dan hal ini dapat memicu hubungan diplomatik kedua negara akan memanas.
Jika melihat sejarahnya Indonesia memiliki serangkaian cerita perseteruan dengan Malaysia, dari istilah ganyang Malaysia sampai pengeklaiman terhadap beberapa kesenian dari Indonesia yang dilakukan oleh Malaysia dan kemudian kejadian sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan yang “diperebutkan” oleh kedua negara yang dimana pada saat itu dimenangkan oleh Malaysia dengan berdasarkan putusan Mahkamah Internasional (IJC) sempat juga memicu ketegangan politik kedua negara.
Perseteruan Indonesia dan Malaysia tidak akan pernah berhenti selama kedua negara bersaing untuk menunjukkan eksistensi di Asia Tenggara maupun di Dunia. Akan tetapi apa yang disampaikan dan dinyatakan oleh Mantan Perdana Menteri Malaysia tersebut tentu hal itu sangat di sayangkan. Di saat kedua negara sedang mesra dan hubungan diplomatiknya baik-baik saja, dengan munculnya kejadian tersebut membuat masyarakat Indonesia terluka. Dimana yang notabena mantan perdana menteri Malaysia tersebut sangat dihormati dan dicintai di Indonesia.
Melihat sejarah hukum internasional dan apa yang dinyatakan oleh pakar sejarah Indonesia yaitu Asvi Warman Adam mengatakan bahwa Kepulauan Riau sejak masa kolonial sudah termasuk dalam wilayah Hindia Belanda.
Dengan begitu, maka Kepulauan Riau termasuk dalam wilayah Indonesia, hal ini sesuai dengan prinsip di dalam hukum internaisonal yaitu “uti possidetis juris” dan berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 2002 Provinsi Kepulauan Riau merupakan provinsi ke-32 di Indonesia yang mencakup Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kepulauan Anambas dan Kabupaten Lingga.
Atas dasar hal diatas, tentunya Mahathir Mohamad berpikir kembali terhadap pernyataan yang beliau keluarkan. Dan Bangsa Indonesia wajib hukumnya untuk mempertanyakan apa yang dimaksud terhadap pernyataan yang dikeluarkan oleh Mantan Perdana Menteri Malaysia tersebut untuk meredakan situasi yang ada di dalam negeri. Untuk masyarakat Indonesia tentu jangan sampai terprovokasi atas isu ini sebab hubungan diplomatik kita dengan Malaysia telah terjalin panjang dan penuh liku tentu kita harus mengedepankan diplomasi untuk meredakan situasi ini supaya tidak berbuntut panjang.
*Penulis adalah Ketua Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan, FHIS Undiksha Singaraja.
SEMARAPURA – fajarbali.com | Serati atau tukang membuat banten (sesajen) merupakan salah satu profesi vital bagi umat Hindu Bali. Oleh karena itu, tim pengabdi dari Prodi Sarjana Terapan dan Prodi Diploma Tiga Teknologi Laboratorium Medis Politeknik Kesehatan Kemenkes Denpasar atau Polkesden menyasar Sekeha Serati Banten Desa Pakraman Cucukan, Desa Selat, Kabupaten Klungkung. Tujuannya, agar para serati tersebut tetap sehat dan terhindar dari gangguan penyakit tidak menular (PTM).
DENPASAR – fajarbali.com | Nominal Sumbangan Pembinaan Pendidikan atau SPP kerap menjadi pertimbangan utama sebagian besar orangtua pelajar sebelum menentukan sekolah bagi buah hatinya. Sekolah swasta lekat dengan cap “SPP mahal” karena tidak sepenuhnya disubsidi pemerintah layaknya sekolah negeri.