NEGARA-fajarbali.com | Tari joged jaruh yang selama ini telah merusak citra tari joged Bumbung sesungguhnya, perlahan sudah mulai menunjukkan dampak negatif.
Salah satunya perwakilan Kabupaten Jembrana yang ditolak mempersembahkan tari joged di Pesona Indonesia, yang bakal diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada minggu kedua bulan Oktober 2018.
Alasannya, karena joged tersebut dipandang sebagai tarian seksual yang mengarah ke pornoaksi. Hal itu diungkapkan oleh I Putu N Sutardi SSKar, Kabid Kebudayaan di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jembrana, saat acara pembinaan dan pemantauan Joged Bumbung oleh tim dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, di Kantor Pemkab setempat, Kamis (15/2/2018).
“Rencananya kami ada pementasan di TMII pada minggu kedua di bulan Oktober. Tapi proposal pementasan sudah harus dibuat setahun sebelumnya. Nah, ketika itu kami mencantumkan salah satu repertoar yang kami pentaskan salah satunya joged. Alat musik Jegog biasa pada bagian akhir pementasan biasanya diisi dengan joged,” ungkapnya.
Sedih bercampur marah, dalam diri Sutardi. Sujatinya ia ingin menunjukkan bagaimana joged yang sebenarnya sebagai tari pergaulan yang adiluhung. Namun tayangan di youtube terlanjur membentuk stigma buruk di mata panitia dan juga beberapa duta besar yang direncanakan datang pada kegiatan itu. Alhasil, pihaknya mencari repertoar yang lain untuk dipentaskan yakni fragmentari berjudul ‘Petung Agung’ yang mencoba mengangkat keagungan bambu.
“Saat persiapan teknis, langsung ditolak. Pokoknya Joged, No! Karena tayangan di youtube itu dah. Bahkan beberapa duta besar yang menyatakan akan hadir di acara itu katanya menolak untuk datang jika joged tetap dipentaskan. Ini artinya sangat luas sudah mempengaruhi secara umum tentang image kebudayaan kita,” ceritanya, sedih.
Pihaknya, sujatinya ingin mendobrak stigma itu. Dan ingin sekali diberikan kesempatan untuk menunjukkan bagaimana joged yang benar. “Sebetulnya bukan seperti itu lho Joged Bali, yang ada di masyarakat kita. Kalau menurut saya itu bukan joged, melainkan sudah pornoaksi,” imbuhnya.
Padahal para penari joged dan sekaa joged di Jembrana sampai saat ini belum ada yang yang menampilkan joged jaruh. Memang diakui, ada beberapa informasi tentang pentas tari joged jaruh yang dipentaskan di wilayah Bumi Makepung itu, namun penari tersebut bukan asli dari Jembrana.
“Yang aktif sampai sekarang ada 15 sekaa, tapi dalam data kami ada lebih dari 40 sekaa. Sedangkan penari joged ada 18 orang. Pembinaan-pembinaan yang sudah kita lakukan, seperti pembinaan seperti event PKB, Bali Mandara Mahalango, lomba joged yang tahun 2017 dapat juara 1. Selain itu, pada perayaan HUT Kota kita kembangan menjadi joged-joged inovatif,” tambahnya.
Di sisi lain, menurut perwakilan MUDP Provinsi Bali, Prof Dr I Wayan Suarjaya, joged jaruh tak ubahnya seperti virus kanker. Kanker jika tidak diobati maka akan membahayakan diri sendiri. Maka dari itu, pihaknya menekankan yang harus dilakukan oleh masyarakat adalah stop peneyabara video dan melaporkan konten yang tidak pantas. Sedangkan peran bendesa diharapkan sebagai ‘benteng’ dalam menjaga kebudayaan Bali.
“Saya minta dengan sangat bendesa untuk melarang pementasan joged jaruh. Mari sama-sama tingkatkan kewaspadaan kita. Di Jembrana belum tercemar, saya berharap Jembrana tetap menjaga ajegnya Bali. Sebab Jembrana benteng pertama dari pengaruh luar,” harapnya
Senada dengan Prof Suarjaya, budayawan Bali, Prof Dr I Wayan Dibia mengatakan, ini tidak saja hanya terjadi di tarian joged, melainkan dalam kehidupan kesenian, sudah banyak ada transfer aksi jaruh ke kesenian lain, seperti bondres dan kesenian lainnya yang umumnya menggunakan peran liku.
“Ini tidak kalah serunya bisa mencoreng warna budaya Bali, karena peran-peran itu juga melakukan aksi-aksi jaruh. Mengapa itu terjadi? Karena penari tersebut menganggap aman melakukan hal itu karena dirinya laki-laki. Namun sesungguhnya di mata publik mereka memerankan tokoh wanita. Ini juga harus kita waspadai bersama,” jelasnya.
Terkait pelaku joged jaruh yang berlindung di balik alasan ekonomi, Prof Dibia menekankan, agar itu tidak diusah dijalankan. Menurutnya, lebih baik mendapatkan rejeki sedikit dengan tetap menjaga citra joged, ketimbang bayaran besar namun akhirnya harus berurusan dengan hukum. Sebab hukum bagi pelaku joged jaruh, naik penari, sekaa, pengibing, pengunggah, dan panitia acara kini sudah tidak main-main. Hukuman antara 2,8 tahun hingga 10 tahun, plus denda Rp 1 miliar.
“Secara sederhana, sampunang ngigel yang melanggar. Jangan sampai mematikan joged yang ada, karena joged kini sudah dipukul rata. Kalau sampai joged jaruh menyebabkan joged pakem mati, ini kesalahan kita semua,” tegasnya.
Menurutnya, joged itu kesenian sensual, bukan seksual. “Kalau sensual itu, dia memperlihatkan keindahan. Tapi kalau seksual, itu mempertontonkan aksi-aksi tidak pantas. Lebih baik mencari merta (rezeki, red) walau jumlahnya lebih sedikit, daripada dapat bayaran besar tapi melanggar dan akhirnya harus berurusan dengan polisi,” tandasnya. Alt