SAKRAL-Seorang pragina mengenakan gelungan sakral Ida Ratu Betara Bagus Panji.
AMLAPURA – fajarbali.com | Desa Pesedahan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, menyimpan berbagai tradisi seni kuno yang menarik untuk dikupas. Salah satunya, kesenian gambuh.
Gambuh di desa tetangga Tenganan Pagringsingan ini bukan sembarang gambuh. Gambuh ini disakralkan terutama Gelungan (mahkota) Ratu Betara Bagus Panji.
Gelungan Ratu Betara Bagus Panji disungsung oleh pasemetonan Pasek Gelgel lan Arya Tangkas Kori Agung Desa Pesedahan. Saat piodalan, Buda Wage Klawu, wajib hukumnya mementaskan tari gambuh.
I Nyoman Sumadi, tokoh masyarakat Pesedahan, mengaku tidak mengetahui secara pasti usia dan sejarah gelungan yang di-“sungsung” warganya tersebut. Pun demikian para tetua. Mereka kompak mengaku sudah mewarisi turun temurun.
Sumadi yang juga anggota DPRD Kabupaten Karangasem ini, menambahkan, seni gambuh di desanya sempat punah akibat tidak ada kaderisasi. Pragina dan penabuh telah sepuh dan meninggal.
Tari gambuh Pesedahan ini terakhir pentas sekitar 1983 atau 40 tahun silam. “Karena tidak ada personel, saat piodalan hanya Gelung Ratu Betara Bagus Panji saja yang diusung atau mepurwadaksina sebagai simbol nyolahang atau menarikan Gelungan beliau,” jelas Sumadi di sela piodalan pura itu, Rabu (3/5/2023) bertepatan rahina Buda Wage Klawu.
Pementasan tari gambuh berjudul “Sarpa Yadnya”
Era 1970-an, saat pariwisata Bali mulai muncul, kata Sumadi, Gambuh Pesedahan rutin tampil di hotel dan tempat lain untuk menghibur wisatawan. Termasuk pentas ke Puri Karangasem. Penari juga memakai gelungan asli yang disakralkan tersebut.
“Mungkin Beliau (Ratu Betara Bagus Panji) kurang berkenan gelungan beliau dibawa kemana-mana. Hingga permata di gelungan beliau lenyap “melecat” secara misterius sewaktu pentas di luar. Hingga kami rancang menduplikasi gelungan khusus untuk pentas hiburan. Gelung sakral yang asli biarkan “malinggih” di palinggihnya,” katanya.
Sebelumnya, Sumadi dan tokoh masyarakat telah melakukan berbagai upaya merekonstruksi gambuh Pesedahan. Tahun 2009, pihaknya bekerja sama dengan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, namun belum berhasil karena kurangnya narasumber.
Tak menyerah, upaya kolaborasi dengan berbagai pihak tetap dilakukan. Dan, akhirnya pada 2018 berhasil terekonstruksi dengan melibatkan tokoh-tokoh pembina gambuh dari Desa Budakeling, Karangasem.
Tari gambuh termasuk Gelungan Sakral Ratu Betara Bagus Panji sempat masolah pada Usaba Sambah desa setempat pascarekonstruksi. “Sayangnya keburu dihantam Pandemi Covid-19 di mana terjadi pembatasan kegiatan masyarakat,” imbuh Sumadi.
I Nyoman Sumadi.
Kini, setelah endemi, tari gambuh akan rutin disajikan kembali terutama saat Buda Wage Klawu di Pura Penataran Pasek Gelgel dan Arya Tangkas Kori Agung, Desa Pesedahan.
Ia pun telah melakukan upaya regenerasi dengan mendirikan sanggar seni. “Gambuh ini adalah warisan leluhur kami yang sangat tak ternilai. Kami wajib melestarikan,” kata Sumadi.
Pada kesempatan yang sama, tim rekonstruksi Ida Ayu Karang Adnyani Dewi, mengaku kendala yang dihadapi saat rekonstruksi karena rentang waktu vakum (40 tahun) sangat panjang.
“Kami susah payah bagaimana mengawali semua gerakan, peran demi peran, penabuh, pokoknya semua aspek sehingga memakan waktu tiga bulan. Hasil rekonstruksi pun tidak 100 persen sama dengan yang dulu,” jelas Ida Ayu Adnyani.
Menemukan bibit penari dan penabuh gambuh juga menjadi kendala tersendiri. Proses ini dimulai lagi dari nol. Orang yang sudah punya dasar tari, terutama topeng direkrut sebagai pragina. Meski tidak menjadi jaminan cepat mahir memerankan tokoh-tokoh utama dalam tari gambuh. Tapi paling tidak “skill” ngagem sangat bermanfaat.
Karena gambuh termasuk kuno dan sakral, apalagi gelungannya di-“sungsung” gerakan penari bisa tidak sesuai koreografi latihan. Tapi tanpa disadari mengikuti kehendak Hyang Taksu atau Ida Sehuhunan.
Terkait tema cerita yang ditampilkan pada piodalan kali ini, Ida Ayu Adnyani mengungkapkan mengangkat “Sarpa Yadnya” dikutip dari wiracarita Mahabarata.
Diceritakan Raja Janamejaya, putra Prabu Parikesit dari Wangsa Kuru bertahta di Kerjakan Hastina Pura. Janamejaya bermaksud balas dendam atas kematian ayahnya yang dibunuh oleh Naga Taksaka, sang raja naga yang diam di kerjaan Saptapatala.
“Atas saran dari bagawan Utangka, Raja Janamejaya membuat upacara Yadnya Sarpa Homa Kunda,” terangnya.
Dengan kekuatan doa maharsi, seluruh wangsa ular secara gaib tersedot jatuh ke kunda dan mati. Naga Taksaka hampir saja jatuh namun diselamatkan oleh Dewa Indra dan disuruh kembali ke suarga loka.
Sang Astika, brahmana muda maha sakti yang masih keturunan naga diutus untuk menasihati Janamejaya agar menghentikan Yadnya Sarpa. Sebab, jika naga Taksaka terbunuh, suarga loka akan hancur, jika naga Basuki terbunuh, lautan mengering dan jika naga Anantabogaa terbunuh, bumi akan bergetar lalu hancur.
“Janamejaya menyadari kesalahannya. Dia nurut. Para naga lalu kembali ke suarga,” urainya sembari menambahkan pesan moral di balik adalah menjaga nilai Tri Hita Karana dalam kehidupan. Selama pementasan, sesekali penonton tampak terbahak karena diselingi aksi kocak pragina.
I Ketut Karsika, Kelihan Dadia Pasek Gelgel lan Tangkas Kori Agung Pesedahan, menambahkan, selama vakum “nyolahang” gambuh, sejumlah warganya mengalami “kabrebehan” atau gangguan secara niskala.
Ke depan, warga berharap kehidupan menjadi lebih baik lagi seiring komitmen warganya melestarikan gambuh. Sebagaimana kehendak Ida Ratu Betara Bagus Panji.
Sebagai tambahan informasi, mengutip pernyataan budayawan Bali, Prof. Dr. I Made Bandem, MA., gambuh merupakan seni yang paling tua. Gambuh ialah tarian yang terkadang lucu dan keras, terkadang kasar dan sengit, terkadang dilakonkan penari lanjut usia dengan keanggunan yang menghanyutkan, tapi terkendali.
Namun, di balik itu, ternyata Gambuh juga menyimpan hal menarik lain. Salah satunya Gambuh merupakan sumber dari tari Bali. “Gambuh merupakan dramaturgi yang paling tua dan dianggap sebagai sumber tari Bali,” jelas Bandem dalam sebuah kesempatan.
Kapan Gambuh mulai ada di Bali? Sulit untuk diketahui tepatnya. Namun, dapat dikirakan, Gambuh sudah ada di Bali pada abad XV atau abad sesudah itu.
Bila dihubungkan dengan peristiwa sejarah di kala Majapahit runtuh pada pertengahan abad XV ketika khazanah sastra Jawa termasuk cerita Panji diboyong ke Bali, kesenian Gambuh diperkirakan muncul di Bali sekitar abad XV.
Menurut Bandem, sebelum adanya Gambuh, Bali tidak memiliki tarian. Sebab tari sebelum gambuh digolongkan dalam tari sakral yang ditampilkan di tempat ibadah sebagai ritual keagamaan. Tidak ada persiapan latihan secara khusus untuk sebuah pementasan.
“Itu ada trance atau ekstasi. Di situ tidak ada koreografi yang pasti seperti koreografi gambuh. Jadi semuanya improvisasi,” jelasnya.
Gambuh merupakan seni pentas yang berbentuk total teater. Meskipun unsur seni tari dominan, terdapat juga unsur-unsur seni lainnya, seperti seni tabuh, seni sastra, seni dialog, seni rupa, dan seni rias. Semua unsur itu berpadu secara harmonis dan indah. (Gde/dbs)