Mohon Agar Simakrama Gubernur dan PB3AS Tetap Dipertahankan

Sosok spiritual pencetus meditasi kata Wayan Wisnaya mengapresiasi kebijakan Pemerintah Provinsi Bali telah memberi ruang demokrasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat Bali dengan membuka ruang publik yaitu Simakrama Gubernur dan Podium Bali Bebas Bicara Apa Saja (PB3AS).

DENPASAR-fajarbali.com | Kedua program tersebut menurutnya sebagai cermin langkah berani dan bernurani serta kecerdasan sosok Gubernur Bali Mande Mangku Pastika. “Simakrama adalah salah satu kearifan lokal Bali yang mumpuni, dan kebebasan berbicara merupakan kearifan universal yang hakiki bagi umat manusia,” kata pria yang biasa disapa Jro Penjor ini, Minggu (7/1/2018).

Menurutnya, seiring waktu tidak bisa dipungkiri bahwa kedua ruang publik tersebut pasti memberi nilai tambah atas pencapaian prestasi gemilang Pemprov Bali di tingkat nasional sebagai provinsi dengan indeks demokrasi tertinggi, khususnya kategori kebebasan sipil yang penghargaannya diserahterimakan di Jakarta, (5/12) tahun lalu.

Prihal penghargaan tertinggi ini, lanjutnya masyarakat Bali tidak banyak yang tahu. Semestinya masyarakat Bali, khususnya para penggiat demokrasi patut mensyukurinya supaya proses demokrasi di Bali kian baik, benar dan sempurna bila perlu jadi ikon demokrasinya Indonesia sehingga memberi manfaat sehat bagi masyarakat.

“Kebebasan sipil yang paling hakiki bagi umat manusia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, salah satunya adalah kebebasan berkata-kata atau kebebasan berbicara,” katanya. Dalam kebebasan inspiratif  inilah kedua wujud kearifan di atas, menunjukkan fungsinya sehingga rakyat atau masyarakat bisa menyampaikan unek-uneknya, dan pejabat Pemprov Bali bisa menampung dan menyerap aspirasi secara langsung baik berupa apresiasi, kritik maupun solusi terhadap berbagai fenomena atau masalah tentang kebijakan pembangunan pemerintah untuk rakyatnya. “Inilah salah satu esensi dari Demokrasi,” lanjutnya.

Disamping itu, katanya, dua ruang demokrasi tersebut juga mengedukasi masyarakat Bali untuk mau dan mampu belajar serta berani tampil berbicara di podium yaitu di ruang dan di hadapan publik untuk mengurai istilah koh ngomong (malas bicara) dalam melihat dan menghadapi masalah pembangunan Bali kekinian yang kian rumit dan kompleks, karena tetua Bali sudah memberi nasehat lokalisme: nak munyi  ane mragatang paundukan yang berarti bicara dari hati ke hatilah yang akan menyelesaikan masalah tanpa masalah.

Oleh karena itu, dia memohon kepada gubernur Bali agar dua kran demokrasi tersebut tetap dijaga, dirawat dan dibuka oleh pemimpin Bali kedepan sehingga penghargaan tidak sekadar kertas tetapi bisa membuat Bali dalam bingkai ‘Sadar & Cerdas Demokrasi’ di mata nasional dan internasional.

“Dalam konteks meditasi kata arti harfiah dari demokrasi adalah ‘DE’ = dengan, ‘MO’ = moral, ‘K’ = kita, ‘RA’ = raih, ‘SI’ = prestasi, dan prestasi tertinggi dari penggiat dan proses  demokrasi adalah kesejahteraan rakyat,” pungkasnya. (dj)