DENPASAR-fajarbali.com | Gerakan Bali bersih, "zero waste" atau bebas dari sampah kini marak digaungkan kembali. Persoalan ini seperti lagu lama yang diaransemen ulang biar terdengar lebih merdu.
Gubernur Bali Wayan Koster pun telah menelurkan sejumlah produk kebijakan untuk mendukung "Bali Bersih" yang secara garis besar, mencakup larangan penggunaan sampah plastik sekali pakai, pengelolaan sampah berbasis sumber, dan instruksi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait pengelolaan sampah.
Beberapa peraturan utama yang dikeluarkan oleh Pemprov Bali terkait sampah adalah; Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai Peraturan ini melarang penggunaan kantong plastik, styrofoam, dan sedotan plastik sekali pakai untuk mengurangi sampah plastik.
Kedua, Pergub Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. Peraturan ini mengatur tentang pengelolaan sampah yang dimulai dari sumbernya, dengan prinsip reduce, reuse, dan recycle.
Ketiga, Keputusan Gubernur Bali Nomor 381/03-P/HK/2021 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber di Desa/Kelurahan dan Desa Adat.
Pedoman ini memberikan panduan teknis bagi desa/kelurahan dan desa adat dalam mengelola sampah berbasis sumber.
Lalu, Instruksi Gubernur Bali Nomor 8324 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. Instruksi ini menegaskan kembali pentingnya pengelolaan sampah berbasis sumber dan meminta Bupati/Walikota se-Bali serta Bandesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali untuk menyosialisasikan dan memfasilitasi pelaksanaan Pergub Nomor 47 Tahun 2019 dan Kepgub Nomor 381/03-P/HK/2021.
Disusul imbauan tentang penggunaan tumbler. Pemerintah Provinsi Bali juga mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan pegawai dan peserta diklat di lingkungan Pemprov Bali untuk membawa tumbler pribadi dan mengurangi penggunaan sampah plastik sekali pakai.
Terbaru, Koster menelurkan Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 adalah tentang "Gerakan Bali Bersih Sampah". Surat edaran ini diterbitkan pada tanggal 2 April 2025 dan mengatur tentang pengelolaan sampah berbasis sumber dan pembatasan penggunaan plastik sekali pakai di Bali.
Tujuan dari peraturan-peraturan tersebut, yakni mewujudkan budaya bersih dan sehat, meningkatkan kualitas lingkungan hidup, meningkatkan kesehatan masyarakat, menjadikan sampah memiliki nilai ekonomis, meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk produsen, desa adat, dan desa/kelurahan dalam pengelolaan sampah. Surat edaran ini juga melarang penjualan air minum dalam kemasan (AMDK) di bawah satu liter.
Akademisi dari Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar Nyoman Subanda menyambut baik produk kebijakan yang diberlakukan Gubernur Bali, karena kebersihan lingkungan merupakan cita-cita bersama.
Namun, Subanda yang juga Wakil Rektor III Undiknas bidang Kemahasiswaan ini menegaskan, penanganan masalah sampah itu tidak bisa hanya mengandalkan peran pemerintah saja.
Tetapi pemerintah harus bermitra, berkolaborasi, bersinergi dengan semua komponen masyarakat termasuk pengusaha, masyarakat itu sendiri termasuk otoritas tradisional seperti desa adat, subak dan sebagainya.
"Kalau bisa berkaca dari negara-negara maju terutama dalam pengelolaan sampah yang baik, yang pertama ternyata, satu, pemerintahnya itu tegas, aturannya jelas, sanksinya pasti, Standar Operational Procedure atau SOP-nya pasti," jelas Subanda dalam diskusi Workshop Jurnalistik Bali Bebas Sampah, bersama awak media di Denpasar, belum lama ini.
Ia mencontohkan di Jepang. Urusan sampah sangat mengedepankan kedisiplinanan. Kalau warga telat buang sampah, sampah itu harus dikembalikan lagi ke rumah yang bersangkutan.
"Kalau di Jepang waktu buang sampah sampai dengan jam dan detik itu jelas. Jadi sikap dan perilaku masyarakat harus diedukasi lebih awal. Baru penegakan regulasi atau sanksi yang tegas," ungkap Subanda.
Sehingga ia berpandangan, sosialisasi bukan soal metode pembuangan sampah saja tetapi juga edukasi menyangkut perilaku masyarakat dalam rangka untuk pembentukan karakter atau karakter building itu jadi penting.
"Dalam hal ini boleh lah kita meniru negara-negara maju seperti Jepang, Korea, Jerman dan Swedia bagaimana melakukan hal semacam itu,” kata Subanda.
Menurutnya yang patut ditiru lagi dari negara maju soal daur ulang sampahnya yang sangat tinggi. Misalnya Jepang sampai dengan 80 persen, Jerman sampai 60 persen dan Swedia hanya 1 persen yang ke tempat pembuangan akhir (TPA) .
Artinya, jika masih mengandalkan bertumpu kepada TPA, maka itu akan mustahil, sangat lama dan agak susah tercapai tujuan Bali Bebas Sampah.
"Sebenarnya kita bisa mengimbau dan mengedukasi itu tidak hanya soal mengajak saja tetapi sanksi juga bisa diterapkan," tegasnya.
Hal ini didukung oleh situasi yang mana Kejaksaan Tinggi sudah bersinergi dengan Desa Adat dalam penegakan hukum.
"Kenapa terkait penanganan sampah tidak dilakukan penegakan hukum, atau bisa juga berlakukan hukum-hukum adat, sehingga semua masyarakat itu takut dan enggan berperilaku yang tidak baik terhadap sampah, sehingga mereka menjadi tertib," ujarnya.
“Negara itu harus tegas, negara harus berani. Dan juga yang tidak kalah penting adalah memberikan insentif atau dana yang besar khusus untuk sampah. Dan Bali ini katanya sudah darurat sampah, Bali harus bersih, Bali itu adalah tujuan pariwisata dan kebersihan menjadi hal prioritas kita dukung,” imbuhnya.
Lebih lanjut, kata dia, kalau meniru negara-negara maju, anggaran pengelolaan sampah sangat tinggi, bahkan bisa sampai 45 persen dari APBD dan APBN diarahkan ke penanganan darurat sampah.
Daur ulang juga masih sangat rendah, saat ini di angka hanya 20 persen, kalau bisa meniru negara maju daur ulang harus besar dan sampah yang ke TPA itu sekecil mungkin jangan sampai 20 persen.
"Kita dukung kebijakan pemerintah, kita dukung gerakan ini tetapi harus diikuti dengan sanksi-sanksi yang tegas dan bagi pihak pemerintah kalau memang darurat biayanya juga harus besar," pungkasnya.
Akar Masalahnya adalah Perilaku
Dikonfirmasi secara terpisah, tokoh masyarakat Bali, Anak Agung Susruta Ngurah Putra, memberikan pandangan terkait Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025.
Agung Susruta menilai, kebijakan yang melarang produksi dan distribusi air minum dalam kemasan plastik berukuran di bawah satu liter ini dinilai tidak berdasarkan data yang akurat dan berpotensi merugikan ekonomi rakyat kecil serta melemahkan industri daur ulang.
Secara tegas ia menilai kebijakan ini justru menyasar pihak yang salah. Padahal, dia mengatakan bahwa SE ini memiliki tujuan yang baik yakni mengajak peran serta masyarakat untuk mengurangi sampah plastik, namun tidak pada poin pelarangan produksi dan distubusi air kemasan di bawah 1 liter.
"Tujuannya memang bagus, untuk mendorong pengelolaan sampah yang baik. Tapi kenapa justru botol plastik jadi korban? Padahal, itu punya nilai ekonomi dan menjadi tulang punggung komunitas pemulung serta pelaku daur ulang," kata Agung Susruta, beberapa waktu lalu.
Agung Susruta menyoroti bahwa yang menjadi masalah utama bukanlah plastik itu sendiri, melainkan perilaku manusia dalam membuang dan memilah sampah.
Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus pada mendisiplinkan masyarakat, bukan serta-merta melarang produk yang sebenarnya sudah mempunyai sistem ekonomi sirkular yang berjalan.
"Botol PET itu dipungut karena bernilai. Tapi sampah multilayer seperti sachet? Itu yang sulit dan tidak punya nilai ekonomi," tegasnya.
Mantan anggota DPRD Provinsi Bali itu juga mengingatkan bahwa dalam SE itu, larangan tidak hanya berlaku untuk air minum kemasan (AMDK) tetapi semua minuman berkemasan plastik, termasuk teh, kopi, yogurt, hingga minuman UMKM yang banyak dijual dalam botol kecil.
Dia berkelakar, minuman-minuman tersebut justru malah memberikan penyakit bagi masyarakat.
"Kalau semua minuman botol dilarang, mau minum kopi harus 1 liter? Atau yakult 1 liter? Bisa mencret atau asam lambung kita semua," sindirnya.
Menurutnya, Gubernur Wayan Koster mengeluarkan kebijakan tidak berpijak pada riset yang memadai.
Data dari organisasi lingkungan independen seperti Sungai Watch menunjukkan bahwa botol PET menyumbang sekitar 4,4 persen dari sampah plastik, jauh di bawah sachet yang mencapai 5,5 persen, kantong plastik 15,2 persen, dan plastik bening 16,2 persen.
“Kalau memang berdasarkan data, harusnya sachet yang lebih dulu dilarang. Tapi kenapa yang dikorbankan botol plastik yang justru lebih mudah didaur ulang?, " tegasnya.